Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kedudukan Histografi Dalam Bidang Hukum.

24 Desember 2024   21:30 Diperbarui: 24 Desember 2024   21:32 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertimbangan Sejarah Dalam Presfektif Hermeneutik  Wihelm Diltthey (Sumber Gambar. Masjid Jendral Sudirman).

Peradaban Romawi memberikan kontribusi signifikan melalui Corpus Juris Civilis yang dikodifikasi oleh Kaisar Justinian (527-565 M). Sistem hukum Romawi memperkenalkan konsep-konsep penting seperti hak kepemilikan pribadi, kontrak, dan prosedur peradilan yang masih relevan hingga saat ini. Menurut Peter Stein dalam "Roman Law in European History" (1999), warisan hukum Romawi menjadi dasar bagi sistem Civil Law yang diadopsi banyak negara modern.

Memasuki Abad Pertengahan, hukum di Eropa sangat dipengaruhi oleh Gereja Katolik dan sistem feodal. Harold Berman dalam "Law and Revolution" (1983) menjelaskan bagaimana hukum Kanonik berkembang parallel dengan hukum sekuler, menciptakan dualisme legal yang karakteristik pada era ini. Sistem Common Law di Inggris mulai berkembang di bawah Raja Henry II, memperkenalkan konsep precedent dan trial by jury.

Era Modern ditandai dengan kodifikasi hukum secara sistematis. Code Napoleon (1804) menjadi model bagi kodifikasi hukum di berbagai negara. John Henry Merryman dalam "The Civil Law Tradition" (1969) menganalisis bagaimana tradisi Civil Law berkembang dan menyebar ke berbagai belahan dunia melalui kolonialisme dan modernisasi.

Dalam konteks Indonesia, sejarah hukum mencerminkan kompleksitas interaksi antara hukum adat, hukum Islam, dan hukum kolonial Belanda. Daniel S. Lev dalam "Islamic Courts in Indonesia" (1972) menggambarkan bagaimana pluralisme hukum ini membentuk sistem hukum nasional Indonesia modern.

Pendekatan historiografi membantu mengidentifikasi pola-pola perubahan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Lawrence M. Friedman dalam "A History of American Law" (2005) mengidentifikasi tiga elemen sistem hukum: struktur, substansi, dan kultur hukum, yang semuanya berevolusi seiring waktu sebagai respons terhadap perubahan sosial.

Pemahaman historis tentang hukum juga penting untuk pengembangan hukum masa depan. Alan Watson dalam "Legal Transplants" (1974) menunjukkan bagaimana sistem hukum sering "meminjam" konsep dan institusi dari sistem lain, proses yang terus berlanjut dalam era globalisasi.

Kajian historiografi hukum tidak hanya memberikan pemahaman tentang asal-usul norma dan institusi hukum, tetapi juga membantu mengantisipasi arah perkembangannya di masa depan. Sebagaimana dinyatakan oleh Sir Henry Maine dalam "Ancient Law" (1861), evolusi hukum mencerminkan pergerakan masyarakat dari status ke kontrak, dari komunal ke individual, sebuah observasi yang masih relevan dalam memahami dinamika hukum kontemporer.

REFLEKSI KRITIS "JAS MERAH": TAFSIR SEJARAH DAN POLARISASI POLITIK INDONESIA 1945.

Asal-usul ungkapan
Asal-usul ungkapan "Jas Merah" (Sumber Gambar. Antara Sumbar).
Slogan "Jas Merah" (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno merupakan manifestasi kompleks dari tafsir sejarah dan dinamika politik Indonesia pasca kemerdekaan. Slogan ini tidak hanya berfungsi sebagai pengingat sejarah, tetapi juga menjadi instrumen politik yang mencerminkan pertarungan narasi dan kepentingan.

Dalam perspektif historiografi kritis, Benedict Anderson dalam "Imagined Communities" (1983) menjelaskan bagaimana konstruksi identitas nasional seringkali melibatkan seleksi dan penekanan terhadap memori kolektif tertentu. "Jas Merah" menjadi contoh nyata bagaimana sejarah digunakan sebagai alat pembentuk kesadaran nasional yang seragam.

Polarisasi kepentingan politik terlihat jelas dalam interpretasi dan penggunaan slogan ini. Katharine McGregor dalam "History in Uniform" (2007) menganalisis bagaimana narasi resmi negara cenderung menekankan peran militer dan perjuangan bersenjata, sementara mengabaikan atau meminimalkan kontribusi diplomasi dan negosiasi. Hal ini mencerminkan dominasi perspektif kelompok nasionalis-revolusioner dalam historiografi Indonesia.

Adrian Vickers dalam "A History of Modern Indonesia" (2005) menunjukkan bahwa simplifikasi sejarah melalui slogan seperti "Jas Merah" seringkali mengaburkan kompleksitas peristiwa sebenarnya. Konflik internal, perbedaan ideologi, dan dinamika lokal yang mewarnai perjuangan kemerdekaan cenderung terabaikan demi mempertahankan narasi kesatuan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun