Merekonstruksi Integritas: Tantangan dan Harapan Pendidikan Tinggi Indonesia.
Ibarat Pepatah : "Berburu Ke padang Datar Mendapat Rusa Belang Kaki," Berguru Kepalang Ajar," Bagai Bunga Kembang Tak Jadi".
Ironi Gelar Tinggi: Ketika Integritas Akademik Menjadi Taruhan".
Kita pernah mendengar pepatah yang dalam konteks belakangan ini, sangat tepat menggambarkan fenomena yang kini mendera dunia akademik Indonesia. "Berburu ke padang datar dapat rusa belang kaki, berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi" - sebuah alegori yang menusuk tentang proses pendidikan yang tidak tuntas, setengah-setengah, dan akhirnya menghasilkan buah yang tidak sempurna.
Dalam konteks kasus plagiasi disertasi Bahlil, pepatah ini menyiratkan beberapa lapisan makna yang dalam:
"Berburu ke padang datar" menggambarkan upaya mencari ilmu yang mengambil jalan pintas. Padang datar, berbeda dengan hutan belantara yang penuh tantangan, merepresentasikan pilihan jalur yang mudah dan instant. Ketika seseorang memilih untuk melakukan plagiasi, ia seperti pemburu yang memilih medan termudah, menghindari proses penelitian dan pemikiran yang seharusnya menantang dan mendalam.
"Mendapat rusa belang kaki" menyiratkan hasil yang cacat atau tidak sempurna. Gelar doktoral yang diperoleh dengan cara tidak berintegritas ibarat rusa yang belang kakinya - tampak menarik dari jauh namun memiliki cacat yang tak bisa disembunyikan. Kemiripan 13% dengan skripsi S1 menjadi "belang" yang mencoreng nilai gelar tersebut.
"Berguru kepalang ajar" menggambarkan proses pembelajaran yang tidak tuntas dan tidak sepenuh hati. Ini menyentil tidak hanya sang kandidat doktor, tetapi juga sistem pendidikan yang memungkinkan praktik-praktik tidak etis berlangsung. Ketika proses bimbingan dan pengawasan tidak dilakukan dengan optimal, ketika standar akademik diturunkan demi kepentingan tertentu, maka hasilnya adalah "kepalang ajar" - setengah matang dalam keilmuan.
"Bagai bunga kembang tak jadi" adalah metafora yang sangat tepat untuk menggambarkan nasib sebuah gelar akademik yang ternoda plagiarisme. Seperti bunga yang gagal mekar sempurna, gelar doktoral yang diperoleh dengan cara tidak berintegritas kehilangan esensi dan keindahannya. Ia mungkin masih ada secara fisik, tetapi kehilangan makna substantifnya sebagai pencapaian akademik tertinggi.
Pepatah ini juga membawa pesan peringatan bagi dunia akademik Indonesia. Ketika kita membiarkan praktik-praktik tidak etis berlangsung, ketika kita menoleransi "jalan pintas" dalam pencapaian akademik, kita sedang menanam benih-benih kegagalan dalam sistem pendidikan tinggi kita. Seperti bunga yang tidak jadi mekar, kredibilitas akademik kita pun terancam layu sebelum berkembang.
Fenomena ini seharusnya menjadi momentum introspeksi mendalam. Perguruan tinggi perlu mempertanyakan kembali: Apakah proses pendidikan doktoral kita sudah benar-benar mendalam dan bermakna? Apakah sistem pengawasan dan bimbingan kita sudah cukup ketat? Apakah kita sudah cukup tegas dalam menegakkan standar etika akademik?
Di tengah pusaran globalisasi dan tuntutan kemajuan, pendidikan tinggi Indonesia tidak boleh terjebak dalam paradigma "asal jadi". Setiap gelar akademik harus merepresentasikan proses pembelajaran yang tuntas, penelitian yang mendalam, dan integritas yang tak tergoyahkan. Hanya dengan demikian, bunga-bunga pengetahuan di taman akademik kita bisa mekar dengan sempurna, menebarkan keharuman martabat dan kredibilitas pendidikan tinggi Indonesia.
Merekonstruksi Integritas: Tantangan dan Harapan Pendidikan Tinggi Indonesia.
Di tengah era transformasi digital dan tuntutan global, pendidikan tinggi Indonesia tengah menghadapi ujian berat terkait integritas akademik. Kasus-kasus plagiasi yang melibatkan tokoh publik seperti yang terjadi pada disertasi Bahlil Lahadalia bukanlah sekadar insiden terisolasi, melainkan cermin yang memantulkan tantangan sistemik dalam ekosistem akademik kita.
Pendidikan tinggi Indonesia saat ini berada di persimpangan kritis. Di satu sisi, ada dorongan kuat untuk meningkatkan kuantitas pemegang gelar doktoral demi memenuhi kebutuhan pembangunan nasional. Di sisi lain, погоня akan gelar ini kadang mengabaikan aspek kualitas dan integritas akademik. Fenomena "gelar instan" dan praktik plagiasi menjadi ancaman serius bagi kredibilitas pendidikan tinggi nasional.
Kultur akademik kita masih menyimpan paradoks. Sementara teknologi deteksi plagiasi semakin canggih, kesadaran akan pentingnya orisinalitas karya ilmiah justru belum merata. Ada jarak yang menganga antara ketersediaan perangkat pengawasan dengan implementasinya di lapangan. Banyak institusi pendidikan tinggi yang masih menganggap pemeriksaan plagiasi sebagai formalitas, bukan sebagai bagian integral dari proses penjaminan mutu akademik.
Persoalan menjadi lebih kompleks ketika menyangkut tokoh publik atau pejabat negara. Ada kecenderungan untuk "mengamankan" proses pengawasan karya ilmiah demi pertimbangan non-akademik. Praktik semacam ini tidak hanya mencederai integritas akademik, tetapi juga menggerogoti kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi.
Namun, dari setiap krisis selalu ada peluang pembenahan. Momentum ini bisa menjadi titik balik untuk membangun standar etika akademik yang lebih kukuh. Beberapa langkah strategis yang perlu diambil:
Pertama, revolusi sistem pengawasan karya ilmiah. Diperlukan standardisasi proses pemeriksaan plagiasi yang ketat dan transparan di seluruh perguruan tinggi. Sistem ini harus didukung teknologi mutakhir dan prosedur yang jelas, tanpa memberikan ruang untuk intervensi non-akademik.
Kedua, penguatan budaya riset. Perguruan tinggi harus mengembangkan ekosistem yang mendorong originalitas pemikiran dan inovasi. Mahasiswa, termasuk di tingkat doktoral, perlu dibiasakan dengan proses penelitian yang mendalam dan sistematis, bukan sekadar memenuhi syarat administratif.
Ketiga, reformasi pembimbingan akademik. Peran promotor dan pembimbing harus diperkuat, tidak hanya dalam aspek substansi keilmuan, tetapi juga dalam menanamkan nilai-nilai integritas akademik. Mereka harus menjadi garda terdepan dalam mencegah praktik plagiasi.
Keempat, penguatan konsekuensi hukum. Sanksi terhadap pelanggaran etika akademik harus ditegakkan secara konsisten, tanpa pandang bulu. Pencabutan gelar akademik bagi pelaku plagiasi harus menjadi preseden yang menimbulkan efek jera.
Kelima, internasionalisasi standar akademik. Perguruan tinggi Indonesia perlu mengadopsi dan mengadaptasi standar internasional dalam penelitian dan publikasi ilmiah. Ini akan mendorong peningkatan kualitas sekaligus membangun reputasi global.
Masa depan pendidikan tinggi Indonesia akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita menyikapi tantangan integritas akademik hari ini. Setiap kasus plagiasi yang terungkap seharusnya menjadi momentum untuk introspeksi dan pembenahan sistemik, bukan sekadar sensasi sesaat yang kemudian dilupakan.
Membangun standar etika akademik yang kokoh membutuhkan komitmen jangka panjang dan kerja keras semua pemangku kepentingan. Ini bukan sekadar tentang menghukum pelanggar, tetapi lebih fundamental lagi: mentransformasi kultur akademik Indonesia menjadi lebih berintegritas, inovatif, dan bereputasi global.
Pendidikan tinggi kita harus bergerak melampaui paradigma "gelar sebagai tujuan" menuju "pengetahuan sebagai kontribusi". Hanya dengan demikian, Indonesia bisa melahirkan sarjana dan doktor yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga berintegritas dalam mengabdi kepada bangsa dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H