Di tengah pusaran globalisasi dan tuntutan kemajuan, pendidikan tinggi Indonesia tidak boleh terjebak dalam paradigma "asal jadi". Setiap gelar akademik harus merepresentasikan proses pembelajaran yang tuntas, penelitian yang mendalam, dan integritas yang tak tergoyahkan. Hanya dengan demikian, bunga-bunga pengetahuan di taman akademik kita bisa mekar dengan sempurna, menebarkan keharuman martabat dan kredibilitas pendidikan tinggi Indonesia.
Merekonstruksi Integritas: Tantangan dan Harapan Pendidikan Tinggi Indonesia.
Di tengah era transformasi digital dan tuntutan global, pendidikan tinggi Indonesia tengah menghadapi ujian berat terkait integritas akademik. Kasus-kasus plagiasi yang melibatkan tokoh publik seperti yang terjadi pada disertasi Bahlil Lahadalia bukanlah sekadar insiden terisolasi, melainkan cermin yang memantulkan tantangan sistemik dalam ekosistem akademik kita.
Pendidikan tinggi Indonesia saat ini berada di persimpangan kritis. Di satu sisi, ada dorongan kuat untuk meningkatkan kuantitas pemegang gelar doktoral demi memenuhi kebutuhan pembangunan nasional. Di sisi lain, погоня akan gelar ini kadang mengabaikan aspek kualitas dan integritas akademik. Fenomena "gelar instan" dan praktik plagiasi menjadi ancaman serius bagi kredibilitas pendidikan tinggi nasional.
Kultur akademik kita masih menyimpan paradoks. Sementara teknologi deteksi plagiasi semakin canggih, kesadaran akan pentingnya orisinalitas karya ilmiah justru belum merata. Ada jarak yang menganga antara ketersediaan perangkat pengawasan dengan implementasinya di lapangan. Banyak institusi pendidikan tinggi yang masih menganggap pemeriksaan plagiasi sebagai formalitas, bukan sebagai bagian integral dari proses penjaminan mutu akademik.
Persoalan menjadi lebih kompleks ketika menyangkut tokoh publik atau pejabat negara. Ada kecenderungan untuk "mengamankan" proses pengawasan karya ilmiah demi pertimbangan non-akademik. Praktik semacam ini tidak hanya mencederai integritas akademik, tetapi juga menggerogoti kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi.
Namun, dari setiap krisis selalu ada peluang pembenahan. Momentum ini bisa menjadi titik balik untuk membangun standar etika akademik yang lebih kukuh. Beberapa langkah strategis yang perlu diambil:
Pertama, revolusi sistem pengawasan karya ilmiah. Diperlukan standardisasi proses pemeriksaan plagiasi yang ketat dan transparan di seluruh perguruan tinggi. Sistem ini harus didukung teknologi mutakhir dan prosedur yang jelas, tanpa memberikan ruang untuk intervensi non-akademik.
Kedua, penguatan budaya riset. Perguruan tinggi harus mengembangkan ekosistem yang mendorong originalitas pemikiran dan inovasi. Mahasiswa, termasuk di tingkat doktoral, perlu dibiasakan dengan proses penelitian yang mendalam dan sistematis, bukan sekadar memenuhi syarat administratif.
Ketiga, reformasi pembimbingan akademik. Peran promotor dan pembimbing harus diperkuat, tidak hanya dalam aspek substansi keilmuan, tetapi juga dalam menanamkan nilai-nilai integritas akademik. Mereka harus menjadi garda terdepan dalam mencegah praktik plagiasi.
Keempat, penguatan konsekuensi hukum. Sanksi terhadap pelanggaran etika akademik harus ditegakkan secara konsisten, tanpa pandang bulu. Pencabutan gelar akademik bagi pelaku plagiasi harus menjadi preseden yang menimbulkan efek jera.