Mohon tunggu...
El Sabath
El Sabath Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

"Akar sosial adalah masyarakat dan kajemukan, dan "Fenomena Sosial Di dasarkan pada gambaran nilai normatif Individu, terhadap ruang interaktif relasi sosial, hal yang mendasar adalah sosial sebagai fenomena individu yang tidak terlepas dari sumberdaya, yang relatif dan filosofis, dan apakah ranah sosial adalah sesuatu yang sesuai makna filosofis, atau justru gambaran dari kehampaan semata, yang tidak dapat di ukur sikap atau ruang lingkup sosialkah, yang berarti suatu ilutrasi pamplet kekacauan revolusi massa, atau komunisme historis dalam sejarah pergerakan politik?"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Resisten Sosial?" Wacana Kolektif Publik Versus Wacana Kolektif Privat

30 Oktober 2024   13:02 Diperbarui: 30 Oktober 2024   13:06 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - kedua - "Buruknya birokrasi dalam pelayanan publik" - Kompasiana.

"Resisten Sosial ?" Wacana Kolektif Publik Versus Wacana Kolektif Privat".

Ilustrasi - Depositphotos - Privat Vs Publik. Ilustrasi Resistensi Sosial.

Ilustrasi - kedua -
Ilustrasi - kedua - "Buruknya birokrasi dalam pelayanan publik" - Kompasiana.

Ilustrasi - kedua - "Buruknya birokrasi dalam pelayanan publik" - Kompasiana.

Resistensi sosial dalam konteks politik merupakan fenomena kompleks yang melibatkan berbagai dimensi dan dinamika. Pemahaman mendalam tentang interaksi antara narasi, kepentingan, dan praktik resistensi sangat penting untuk memahami transformasi sosial-politik kontemporer. Analisis ini menunjukkan bahwa resistensi tidak hanya tentang penolakan, tetapi juga tentang pembentukan alternatif dan rekonstruksi tatanan sosial. Dalam konteks ini, pemahaman tentang dinamika resistensi menjadi kunci untuk memahami dan mengelola perubahan sosial-politik yang berkelanjutan. Resistensi sosial merupakan fenomena yang melekat dalam dinamika politik modern, di mana masyarakat secara aktif atau pasif menunjukkan penolakan terhadap kebijakan, struktur, atau sistem yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan kolektif. Analisis ini akan menguraikan kompleksitas resistensi sosial dalam konteks politik kontemporer.

Dialektika Kepentingan Personal dan Kolektif: Sebuah Analisis Kritis tentang Tanggung Jawab Publik.

Kutipan "kalau kepentingan personal kalian itu, bersamaan dengan tanggung jawab kepentingan kolektif publik, maka kalian bukan milik diri kalian sendiri" membuka diskursus menarik tentang dialektika antara kepentingan individu dan kepentingan publik dalam konteks tanggung jawab sosial. Pernyataan ini menghadirkan paradigma kritis tentang posisi individu dalam ruang publik dan batasan-batasan otonomi personal ketika berhadapan dengan kepentingan kolektif.

Teoretisasi Ruang Publik dan Privat.

Dalam pemikiran Jrgen Habermas (1989) tentang ruang publik (*public sphere*), terdapat konsepsi bahwa ruang publik merupakan arena di mana warga negara berkumpul untuk membentuk opini publik dan mendiskusikan kepentingan bersama. Habermas menekankan bahwa ruang publik yang ideal harus bersifat inklusif dan bebas dari dominasi. Namun, ketika kepentingan personal bertemu dengan tanggung jawab publik, muncul pertanyaan tentang sejauh mana individu harus "melepaskan" otonominya.

Hannah Arendt (1958) dalam karyanya "The Human Condition" lebih jauh menguraikan tentang *vita activa* -- kehidupan aktif manusia yang terdiri dari tiga dimensi fundamental: labor (kerja), work (karya), dan action (tindakan). Dalam pandangannya, ruang publik adalah tempat di mana individu dapat menampilkan individualitasnya sekaligus berpartisipasi dalam kehidupan politik bersama.

Dilema Kepemilikan Diri dalam Konteks Sosial.

Pernyataan bahwa seseorang "bukan milik diri sendiri" ketika kepentingan personalnya bersinggungan dengan kepentingan publik menghadirkan paradoks filosofis yang menarik. Pierre Bourdieu (1990) dalam teori habitusnya menjelaskan bahwa individu tidak pernah sepenuhnya otonom atau sepenuhnya terdeterminasi oleh struktur sosial. Terdapat dialektika terus-menerus antara agen (individu) dan struktur (masyarakat).

Beberapa implikasi penting dari perspektif ini:

1. **Tanggung Jawab Sosial**

   - Individu sebagai bagian dari masyarakat memiliki kewajiban moral untuk mempertimbangkan dampak tindakannya terhadap kepentingan bersama
   - Konsep "kepemilikan diri" harus dipahami dalam konteks interkonektivitas sosial
2. **Batas-batas Otonomi**
   - Otonomi individual tidak bersifat absolut tetapi relatif terhadap konteks sosial
   - Terdapat negosiasi terus-menerus antara kebebasan personal dan tanggung jawab kolektif.

Perspektif Kritis tentang Kepentingan Kolektif.

Michel Foucault (1977) dalam analisisnya tentang kekuasaan dan pengetahuan mengingatkan bahwa "kepentingan kolektif" seringkali merupakan konstruksi yang dipengaruhi oleh relasi kuasa. Oleh karena itu, penting untuk mempertanyakan:
1. Siapa yang mendefinisikan "kepentingan kolektif"?, 2. Bagaimana power relations mempengaruhi definisi tersebut?, 3. Sejauh mana individu harus mensubordinasikan kepentingan personalnya?

Sehingga dalam konteks membincangkan kekuasaan, subordinasi sebagai sumberdaya yang muncul dari lapisan kelompok dan personal siapakah, perlu menjadi sarana filterisasi dari skema penyelenggaraan kedaulatan negara & rakyat.

Relevansi dalam Konteks Kontemporer.

Dalam era digital dan globalisasi, batas antara ruang privat dan publik semakin kabur. Manuel Castells (2010) dalam teorinya tentang "network society" menunjukkan bahwa teknologi informasi telah menciptakan bentuk-bentuk baru interaksi sosial dan tanggung jawab kolektif. Implikasinya: 1. Kepentingan personal dan kolektif semakin terjalin dalam jaringan kompleks, 2. Diperlukan rekonseptualisasi tentang tanggung jawab publik, 3. Muncul bentuk-bentuk baru aktivisme dan partisipasi sosial.

Kutipan tersebut membuka diskursus penting tentang hubungan dialektis antara kepentingan personal dan kolektif. Alih-alih melihatnya sebagai dikotomi yang kaku, lebih produktif untuk memahaminya sebagai kontinuum yang dinamis di mana individu terus-menerus bernegosiasi antara otonomi personal dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks ini, "bukan milik diri sendiri" tidak harus diartikan sebagai penghilangan total otonomi individual, melainkan sebagai pengakuan atas interkonektivitas fundamental antara individu dan masyarakat. Tantangan ke depan adalah menemukan keseimbangan yang produktif antara kedua dimensi tersebut.

Resistensi Sosial dan Implikasi Sistemik.

Dalam konteks pertentangan antara kepentingan personal dan kolektif, resistensi sosial muncul sebagai konsekuensi yang tak terelakkan. James C. Scott (1985) dalam "Weapons of the Weak" mengidentifikasi bahwa resistensi sehari-hari (*everyday forms of resistance*) seringkali merupakan respons terhadap tekanan struktural yang dirasakan berlebihan oleh individu atau kelompok.

Manifestasi Resistensi dan Dampak Sistemik.

1. **Bentuk-bentuk Resistensi** - *Silent Resistance*: Penolakan diam-diam terhadap kebijakan publik, - *Cultural Resistance*: Pengembangan kontra-narasi dan praktik budaya alternatif, - *Institutional Resistance*: Pembentukan institusi tandingan atau parallel, - *Digital Resistance*: Penggunaan teknologi untuk melawan hegemoni kepentingan dominan. 2. **Dampak Meluas (*Ripple Effects*)** a) Pada Level Mikro: - Fragmentasi sosial dalam komunitas, - Munculnya kelompok-kelompok kepentingan yang saling bertentangan, - Erosi kepercayaan terhadap institusi publik. Dan, kemudian, b) Pada Level Meso. Dimana, "Destabilisasi struktur sosial" yang ada, yang memungkinkan, terjadinya, "Transformasi pola interaksi sosial" yang bersifat, akan, "Munculnya bentuk-bentuk organisasi alternatif". Sementara, c) Pada Level Makro.  Dimana, "Krisis legitimasi sistem pemerintahan" Menagrah, kepada, perubahan paradigma dalam kebijakan publik, sebagai, reformulasi kontrak sosial.
Dalam, hal ini, sebagai, "Rekomendasi Strategis" sebagai sarana penguji, hal di atas, ke dalam bentuk, "Penguatan Dialog Publik" dan, "Pengembangan forum-forum deliberatif" dan, "Fasilitasi komunikasi lintas kelompok" dan, "Penguatan mekanisme resolusi konflik.
Yang juga, terkait, "Reformasi Institusional" ke dalam, "Pengembangan struktur governance yang lebih responsif" dan, "Penguatan mekanisme akuntabilitas publik" dan, "Integrasi kepentingan marginal dalam pengambilan keputusan. Yang terhubung dalam skema, menyangkut, keberadaan, "Inovasi Sosial" dan, "Pengembangan model-model kolaborasi baru, dan, "Eksperimentasi dengan bentuk-bentuk organisasi alternatif" dan, "Pemanfaatan teknologi untuk partisipasi publik" dalam konteks, manifestasi kemungkinan resistensi dalam hal yang membutuhkan pengujian, sebagai suatu konstelasi kondisi yang teruji sebagai kinerja negara, dan kapasitas kebijakan.

Epilog: Menuju Sintesis Baru.

Resistensi sosial, dalam manifestasinya yang beragam, dapat dipandang sebagai katalis perubahan sosial yang penting. Mengutip Antonio Gramsci (1971), setiap krisis mengandung potensi transformatif. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengelola tegangan antara kepentingan personal dan kolektif sehingga resistensi dapat diarahkan menjadi energi pembaruan yang konstruktif.

Dalam konteks ini, pemahaman bahwa "kita bukan milik diri sendiri" perlu dimaknai ulang bukan sebagai negasi total atas individualitas, melainkan sebagai pengakuan akan keterhubungan mendalam antara nasib individual dan kolektif. Hanya dengan pemahaman dialektis seperti ini, resistensi sosial dapat ditransformasikan dari potensi destruktif menjadi daya dorong bagi pembaruan sosial yang bermakna.

Ibu Pertiwi: Manifestasi Kedaulatan Kolektif dan Negasi Kepemilikan Personal.

Konsep "Ibu Pertiwi" dalam konteks Indonesia merupakan manifestasi filosofis yang mendalam tentang hubungan antara tanah, bangsa, dan rakyat. Metafora "ibu" dalam konteks ini bukan sekadar personifikasi teritorial, melainkan representasi kompleks dari ikatan spiritual, kultural, dan politik yang mengikat segenap elemen bangsa dalam satu kesatuan organik.

Genealogi Konsep Ibu Pertiwi.

Akar Filosofis dan Kultural.
Makna, yang salah satu diantaranya, adalah, sebagai kapasitas, "Tradisi Nusantara" yakni, diantaranya, nilai konsepsional, menegenai, Dewi Sri dan kesuburan tanah yang terkait pandangan akan, pemahaman indigenous tentang kesatuan manusia-alam, juga nilai dan pandangan falsafah yang filosofis "memayu hayuning bawana" (menjaga keharmonisan dunia). Yang tidak lain, adalah, "dimensi dan semangat, spiritualitas," dalam hal, "Tanah sebagai entitas sakral", dan, "Hubungan kosmologis manusia-tanah-semesta", dan, "Konsep "sangkan paraning dumadi" (asal dan tujuan kehidupan)".

Negasi Kepemilikan Personal.

Di Dalam, Dimensi Filosofis.
Yang perlu disadari sebagai bagian ialah, Transcendental Ownership, yang secara filosofis, mengartikan, Tanah air sebagai entitas yang melampaui kepemilikan individual, dan juga, "Konsep "titipan" dan "amanah" dalam pengelolaan tanah," atau juga, "Prinsip berkelanjutan lintas generasi". Hal ini tanpa terlepas, korelasinya, dalam dimensi, "Kolektivitas Yang Sakral." Bahwa, "Tanah air sebagai wadah bersama" yang "Negasi absolutisme kepemilikan pribadi" sebagaimana, "Konsep "ruang bersama" dalam tradisi Nusantara.

 Sebuah - Epilog Dalam Menyoal, Kolektifitas & Dimensi Sosial.

Pemahaman bahwa Indonesia "bukan milik personal" harus diterjemahkan dalam kebijakan konkret dan praktik sehari-hari. Ini bukan sekadar slogan, melainkan prinsip fundamental yang harus mendasari setiap aspek pengelolaan negara dan sumber daya nasional.

Negara sebagai Pelindung: Manifestasi Tanggung Jawab Konstitusional terhadap Anak Yatim dan Fakir Miskin.

Melihat Kembali, Sarana, & Landasan Konstitusional Dalam Amanat UUD 1945.

Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Ketentuan ini merupakan manifestasi dari sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Frase, Metafora bahwa, negara sebagai "ibu-bapak" bagi anak yatim dan fakir miskin merupakan suatu manifestasi, logis dari nilai puitik bahasa, dalam membincangkan korelasi, "tanggung jawab konstitusional yang fundamental".  Terutama, dalam, hal, dan perihal, implementasi- sebagai eksistensi negara secara esensi baik, nilai atau realitas dalam kebijakan nasional dan tolak ukurnya yang membutuhkan, seperti, "Komitmen politik yang kuat" dan, "Sistem yang efektif dan efisien" dan, "Partisipasi seluruh elemen masyarakat" serta, "Pendekatan holistik dan berkelanjutan".

Epilog ke-dua.

Bahwa, Perwujudan amanat konstitusi ini bukan sekadar kewajiban legal, tetapi merupakan manifestasi kemanusiaan dan keadilan sosial yang menjadi fondasi negara Indonesia. Keberhasilan dalam melindungi dan memberdayakan anak yatim dan fakir miskin menjadi ukuran keberhasilan negara dalam menjalankan fungsi pengayomannya. Dan, tolak ukur, bagi eksistensinya dan esensinya, di mata dunia Internasional, dan rakyatnya sendiri.

 Referensi.

- Asshiddiqie, J. (2010). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
- Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
- Mahfud MD. (2009). Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu
- Soemitro, R.H. (1990). Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri
- Wignjosoebroto, S. (2002). Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya
- Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism
- Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa
- Mulder, N. (1996). Inside Indonesian Society: Cultural Change in Java
- Shiva, V. (1988). Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India
- Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya

Referensi Tambahan.

- Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
- Scott, J. C. (1985). Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Yale University Press.
- Tilly, C. (1978). From Mobilization to Revolution. Addison-Wesley.
- Castells, M. (2015). Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age. Polity Press.

- Arendt, H. (1958). The Human Condition. University of Chicago Press.
- Bourdieu, P. (1990). The Logic of Practice. Stanford University Press.
- Castells, M. (2010). The Rise of the Network Society. Wiley-Blackwell.
- Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.
- Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. MIT Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun