Michel Foucault (1977) dalam analisisnya tentang kekuasaan dan pengetahuan mengingatkan bahwa "kepentingan kolektif" seringkali merupakan konstruksi yang dipengaruhi oleh relasi kuasa. Oleh karena itu, penting untuk mempertanyakan:
1. Siapa yang mendefinisikan "kepentingan kolektif"?, 2. Bagaimana power relations mempengaruhi definisi tersebut?, 3. Sejauh mana individu harus mensubordinasikan kepentingan personalnya?
Sehingga dalam konteks membincangkan kekuasaan, subordinasi sebagai sumberdaya yang muncul dari lapisan kelompok dan personal siapakah, perlu menjadi sarana filterisasi dari skema penyelenggaraan kedaulatan negara & rakyat.
Relevansi dalam Konteks Kontemporer.
Dalam era digital dan globalisasi, batas antara ruang privat dan publik semakin kabur. Manuel Castells (2010) dalam teorinya tentang "network society" menunjukkan bahwa teknologi informasi telah menciptakan bentuk-bentuk baru interaksi sosial dan tanggung jawab kolektif. Implikasinya: 1. Kepentingan personal dan kolektif semakin terjalin dalam jaringan kompleks, 2. Diperlukan rekonseptualisasi tentang tanggung jawab publik, 3. Muncul bentuk-bentuk baru aktivisme dan partisipasi sosial.
Kutipan tersebut membuka diskursus penting tentang hubungan dialektis antara kepentingan personal dan kolektif. Alih-alih melihatnya sebagai dikotomi yang kaku, lebih produktif untuk memahaminya sebagai kontinuum yang dinamis di mana individu terus-menerus bernegosiasi antara otonomi personal dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks ini, "bukan milik diri sendiri" tidak harus diartikan sebagai penghilangan total otonomi individual, melainkan sebagai pengakuan atas interkonektivitas fundamental antara individu dan masyarakat. Tantangan ke depan adalah menemukan keseimbangan yang produktif antara kedua dimensi tersebut.
Resistensi Sosial dan Implikasi Sistemik.
Dalam konteks pertentangan antara kepentingan personal dan kolektif, resistensi sosial muncul sebagai konsekuensi yang tak terelakkan. James C. Scott (1985) dalam "Weapons of the Weak" mengidentifikasi bahwa resistensi sehari-hari (*everyday forms of resistance*) seringkali merupakan respons terhadap tekanan struktural yang dirasakan berlebihan oleh individu atau kelompok.
Manifestasi Resistensi dan Dampak Sistemik.
1. **Bentuk-bentuk Resistensi** - *Silent Resistance*: Penolakan diam-diam terhadap kebijakan publik, - *Cultural Resistance*: Pengembangan kontra-narasi dan praktik budaya alternatif, - *Institutional Resistance*: Pembentukan institusi tandingan atau parallel, - *Digital Resistance*: Penggunaan teknologi untuk melawan hegemoni kepentingan dominan. 2. **Dampak Meluas (*Ripple Effects*)** a) Pada Level Mikro: - Fragmentasi sosial dalam komunitas, - Munculnya kelompok-kelompok kepentingan yang saling bertentangan, - Erosi kepercayaan terhadap institusi publik. Dan, kemudian, b) Pada Level Meso. Dimana, "Destabilisasi struktur sosial" yang ada, yang memungkinkan, terjadinya, "Transformasi pola interaksi sosial" yang bersifat, akan, "Munculnya bentuk-bentuk organisasi alternatif". Sementara, c) Pada Level Makro.  Dimana, "Krisis legitimasi sistem pemerintahan" Menagrah, kepada, perubahan paradigma dalam kebijakan publik, sebagai, reformulasi kontrak sosial.
Dalam, hal ini, sebagai, "Rekomendasi Strategis" sebagai sarana penguji, hal di atas, ke dalam bentuk, "Penguatan Dialog Publik" dan, "Pengembangan forum-forum deliberatif" dan, "Fasilitasi komunikasi lintas kelompok" dan, "Penguatan mekanisme resolusi konflik.
Yang juga, terkait, "Reformasi Institusional" ke dalam, "Pengembangan struktur governance yang lebih responsif" dan, "Penguatan mekanisme akuntabilitas publik" dan, "Integrasi kepentingan marginal dalam pengambilan keputusan. Yang terhubung dalam skema, menyangkut, keberadaan, "Inovasi Sosial" dan, "Pengembangan model-model kolaborasi baru, dan, "Eksperimentasi dengan bentuk-bentuk organisasi alternatif" dan, "Pemanfaatan teknologi untuk partisipasi publik" dalam konteks, manifestasi kemungkinan resistensi dalam hal yang membutuhkan pengujian, sebagai suatu konstelasi kondisi yang teruji sebagai kinerja negara, dan kapasitas kebijakan.
Epilog: Menuju Sintesis Baru.
Resistensi sosial, dalam manifestasinya yang beragam, dapat dipandang sebagai katalis perubahan sosial yang penting. Mengutip Antonio Gramsci (1971), setiap krisis mengandung potensi transformatif. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengelola tegangan antara kepentingan personal dan kolektif sehingga resistensi dapat diarahkan menjadi energi pembaruan yang konstruktif.
Dalam konteks ini, pemahaman bahwa "kita bukan milik diri sendiri" perlu dimaknai ulang bukan sebagai negasi total atas individualitas, melainkan sebagai pengakuan akan keterhubungan mendalam antara nasib individual dan kolektif. Hanya dengan pemahaman dialektis seperti ini, resistensi sosial dapat ditransformasikan dari potensi destruktif menjadi daya dorong bagi pembaruan sosial yang bermakna.
Ibu Pertiwi: Manifestasi Kedaulatan Kolektif dan Negasi Kepemilikan Personal.
Konsep "Ibu Pertiwi" dalam konteks Indonesia merupakan manifestasi filosofis yang mendalam tentang hubungan antara tanah, bangsa, dan rakyat. Metafora "ibu" dalam konteks ini bukan sekadar personifikasi teritorial, melainkan representasi kompleks dari ikatan spiritual, kultural, dan politik yang mengikat segenap elemen bangsa dalam satu kesatuan organik.