Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz Sip
Ahmad Wansa Al faiz Sip Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Neraca Keseimbangan : Mencari Titik Equilibrium - Pelanggaan HAM

25 Oktober 2024   05:44 Diperbarui: 25 Oktober 2024   08:01 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gramedia Digital - Prof. Muladi.

Mencari Titik Equilibrium: Keseimbangan TSM dalam Pelanggaran HAM dan Tanggung Jawab Negara.

Prolog: Memahami Dualitas TSM.

Dalam diskursus hak asasi manusia, TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif) seringkali dipandang sebagai parameter untuk mengukur tingkat keparahan suatu pelanggaran. Namun, perspektif ini perlu diperluas. TSM sesungguhnya memiliki dualitas yang menarik - ia tidak hanya menjadi ukuran sebuah pelanggaran, tetapi juga harus menjadi standar minimal bagi upaya pemulihan oleh negara.

I. Dialektika TSM: Antara Pelanggaran dan Pemulihan.
 Memahami Karakteristik TSM dalam Pelanggaran.

Profesor Bassiouni (2014) dalam karyanya "International Criminal Law" menggambarkan bahwa pelanggaran HAM yang bersifat TSM seperti sebuah mesin yang beroperasi dengan presisi mengerikan. Terstruktur dalam hierarkinya, sistematis dalam pelaksanaannya, dan masif dalam dampaknya. Seperti sebuah orkestra kejahatan, setiap bagian memainkan perannya dalam menciptakan simfoni kekerasan yang terorganisir.

Dalam konteks ini, de Greiff (2012) menganalogikan TSM sebagai tiga pilar yang saling menopang:
- Terstruktur: seperti rangka bangunan yang kokoh
- Sistematis: seperti aliran darah yang mengalir teratur
- Masif: seperti badai yang melanda area luas

Refleksi Tanggung Jawab Negara.

Di sisi lain spektrum, Van Boven (2009) berargumen bahwa tanggung jawab negara dalam rehabilitasi harus mencerminkan karakteristik TSM yang setara. Jika pelanggaran HAM adalah sebuah penyakit yang menyerang secara terstruktur, sistematis, dan masif, maka pengobatannya pun harus memiliki kualitas yang sama.

Neraca Keseimbangan Tanggung Jawab Hukum: Sebuah Analisis Komprehensif.

Neraca Keseimbangan Tanggung Jawab Hukum merupakan konsep fundamental dalam sistem peradilan modern yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam penerapan hukum. Konsep ini melibatkan berbagai aspek yang saling terkait dan seringkali bertentangan, yang harus dipertimbangkan secara hati-hati untuk mencapai hasil yang adil dan efektif. Esai ini akan mengeksplorasi berbagai dimensi dari Neraca Keseimbangan Tanggung Jawab Hukum, menganalisis implikasinya, dan membahas tantangan dalam penerapannya.

Dimensi Utama Neraca Keseimbangan Tanggung Jawab Hukum.

1. Proporsionalitas dan Kesetaraan

Salah satu aspek penting dari Neraca Keseimbangan Tanggung Jawab Hukum adalah prinsip proporsionalitas. Menurut Ashworth dan Horder (2013), proporsionalitas mengharuskan hukuman atau sanksi sesuai dengan tingkat kesalahan atau pelanggaran. Ini berarti menghindari hukuman yang terlalu berat atau terlalu ringan, yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Berkaitan erat dengan proporsionalitas adalah prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Seperti yang dinyatakan oleh Dworkin (1986), kesetaraan di hadapan hukum mengharuskan semua individu, terlepas dari status sosial atau ekonomi, diperlakukan sama di mata hukum. Ini merupakan fondasi penting untuk menjaga integritas sistem hukum dan mencegah diskriminasi.


2. Hak dan Kewajiban.

Menyeimbangkan hak individu dengan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat adalah aspek krusial lainnya. Rawls (1971) dalam teori keadilannya menekankan pentingnya menyeimbangkan kebebasan individu dengan tanggung jawab sosial. Dalam konteks hukum, ini berarti memastikan bahwa penegakan hak tidak mengabaikan kewajiban, dan sebaliknya.


3. Kepastian Hukum vs Fleksibilitas.

Hart (1961) dalam karyanya "The Concept of Law" membahas tentang pentingnya kepastian hukum. Namun, sistem hukum juga perlu memiliki fleksibilitas untuk mengakomodasi situasi yang unik. Menyeimbangkan kedua aspek ini merupakan tantangan yang terus-menerus dalam sistem peradilan.

4. Retributif vs Restoratif.

Teori hukum pidana tradisional cenderung berfokus pada aspek retributif, namun ada pergeseran menuju pendekatan yang lebih restoratif. Braithwaite (1989) mempromosikan konsep keadilan restoratif yang bertujuan untuk memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, bukan hanya menghukum.

Paradigma & Tantangan dan Implikasi.

Penerapan Neraca Keseimbangan Tanggung Jawab Hukum menghadapi berbagai tantangan. Pertama, ada ketegangan antara kebutuhan untuk efisiensi sistem peradilan dan jaminan proses yang adil dan menyeluruh. Seperti yang dibahas oleh Posner (2014), efisiensi ekonomi seringkali bertentangan dengan pertimbangan keadilan.

Kedua, globalisasi dan kemajuan teknologi menciptakan tantangan baru dalam menyeimbangkan hukum nasional dengan hukum internasional. Slaughter (2004) menyoroti pentingnya jaringan transnasional dalam tata kelola global, yang mempengaruhi cara kita memahami tanggung jawab hukum lintas batas.

Ketiga, keragaman budaya dan nilai-nilai sosial yang berbeda dapat mempengaruhi interpretasi dan penerapan hukum. Menurut Cotterrell (2006), pemahaman sosiologis tentang hukum sangat penting untuk mengatasi perbedaan ini dan mencapai keseimbangan yang efektif.

Strategi untuk Mencapai Keseimbangan.

1. Pendekatan Holistik
   Menurut Tyler (2006), legitimasi sistem hukum bergantung pada persepsi keadilan prosedural. Oleh karena itu, pendekatan holistik yang mempertimbangkan tidak hanya hasil, tetapi juga proses, sangat penting.

2. Reformasi Berkelanjutan
   Nonet dan Selznick (1978) mengusulkan konsep "hukum responsif" yang terus beradaptasi dengan perubahan sosial. Ini menekankan pentingnya reformasi hukum yang berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan.

3. Partisipasi Publik
   Habermas (1996) menekankan pentingnya diskursus publik dalam pembentukan hukum. Meningkatkan partisipasi publik dalam proses hukum dapat membantu mencapai keseimbangan yang lebih baik.

4. Pendidikan Hukum
   Menurut Kennedy (1982), pendidikan hukum memainkan peran krusial dalam membentuk pemahaman tentang keadilan dan tanggung jawab hukum. Reformasi pendidikan hukum dapat membantu menciptakan praktisi hukum yang lebih sadar akan kompleksitas keseimbangan ini.

Neraca Keseimbangan Tanggung Jawab Hukum adalah konsep yang kompleks dan dinamis. Mencapai keseimbangan yang ideal membutuhkan pemahaman mendalam tentang berbagai faktor yang saling terkait, dari prinsip-prinsip hukum fundamental hingga realitas sosial-ekonomi yang terus berubah. Meskipun tantangannya signifikan, upaya untuk menyempurnakan keseimbangan ini sangat penting untuk memastikan sistem hukum yang adil, efektif, dan dihormati.

Dengan terus mengevaluasi dan menyesuaikan pendekatan kita terhadap tanggung jawab hukum, kita dapat berharap untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih baik mencerminkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan yang kita junjung tinggi sebagai masyarakat.

II. Anatomi Keseimbangan TSM.
 A. Dimensi Struktural: Mencari Kesetaraan Organisasi.

Shelton (2015) mengemukakan bahwa dimensi struktural dalam rehabilitasi harus sekuat struktur yang memungkinkan terjadinya pelanggaran. Ini seperti membangun benteng pertahanan yang sama kokohnya dengan benteng penyerang. Beberapa elemen kunci meliputi:

1. **Arsitektur Kelembagaan**, Struktur yang jelas dan responsif, Hierarki tanggung jawab yang terukur, Mekanisme koordinasi yang efektif. 2. **Kerangka Regulasi**, Payung hukum yang komprehensif, Standar operasional yang detail, Sistem monitoring yang terintegrasi.

B. Dimensi Sistematis: Orkestrasi Pemulihan

Mengutip Roht-Arriaza (2004), pendekatan sistematis dalam rehabilitasi harus mencerminkan keteraturan yang setara dengan sistematis pelanggaran. Ini seperti menciptakan sistem imun yang sama kuatnya dengan virus yang menyerang. Elemen-elemen krusial meliputi:

1. **Metodologi Pemulihan**, Program yang terencana dan berkelanjutan, Prosedur yang terstandar, Evaluasi yang berkala
2. **Pola Implementasi** Tahapan yang terukur, Indikator yang jelas, Dokumentasi yang sistematis.

C. Dimensi Masif: Amplitudo Rehabilitasi


Profesor Muladi (2019) menekankan bahwa skala rehabilitasi harus proporsional dengan skala pelanggaran. Ini seperti memberikan pertolongan yang setimpal dengan besarnya bencana. Aspek-aspek penting meliputi:
1. **Cakupan Program** Jangkauan geografis yang luas, Diversifikasi bentuk bantuan, Durasi program yang memadai.
2. **Dampak Rehabilitasi** Jumlah penerima manfaat, Kedalaman dampak, Keberlanjutan program.

III. Menuju Equilibrium: Tantangan dan Strategi
A. Identifikasi Kesenjangan.

Dalam mencapai keseimbangan TSM, beberapa tantangan utama yang diidentifikasi oleh para ahli meliputi:
1. **Kesenjangan Struktural** Keterbatasan kelembagaan, Hambatan birokrasi, Konflik kepentingan.
2. **Kesenjangan Sistematis** Inkonsistensi program, Ketidakselarasan prosedur, Fragmentasi pendekatan.
3. **Kesenjangan Masif** Keterbatasan sumber daya, Cakupan yang tidak memadai, Dampak yang tidak optimal.

B. Strategi Pencapaian Equilibrium.

Para ahli seperti Bassiouni dan de Greiff merekomendasikan beberapa strategi kunci:

1. **Penguatan Struktural** 
Reformasi kelembagaan, Harmonisasi regulasi, Peningkatan kapasitas.
2. **Optimalisasi Sistematis** Standardisasi prosedur, Integrasi program, Monitoring berkala.
3. **Ekspansi Masif** Peningkatan anggaran, Perluasan cakupan, Penguatan dampak.

 IV. Epilog: Refleksi dan Proyeksi.

Keseimbangan TSM antara pelanggaran dan rehabilitasi bukanlah sekadar konsep teoretis. Ia adalah prinsip fundamental yang harus menjadi kompas dalam upaya pemulihan korban pelanggaran HAM. Seperti yang ditekankan oleh Van Boven, "Keadilan restoratif menuntut respons yang setimpal dengan kerusakan yang ditimbulkan."

Referensi:
Ashworth, A., & Horder, J. (2013). Principles of criminal law. Oxford University Press.

Braithwaite, J. (1989). Crime, shame and reintegration. Cambridge University Press.

Cotterrell, R. (2006). Law, culture and society: Legal ideas in the mirror of social theory. Ashgate Publishing.

Dworkin, R. (1986). Law's empire. Harvard University Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy. MIT Press.

Hart, H. L. A. (1961). The concept of law. Oxford University Press.

Kennedy, D. (1982). Legal education and the reproduction of hierarchy. Journal of Legal Education, 32(4), 591-615.

Nonet, P., & Selznick, P. (1978). Law
1. Bassiouni, M. C. (2014). *International Criminal Law: Sources, Subjects, and Contents*. Martinus Nijhoff Publishers.

2. de Greiff, P. (2012). *The Handbook of Reparations*. Oxford University Press.

3. Van Boven, T. (2009). *Victims' Rights to a Remedy and Reparation*. Cambridge University Press.

4. Shelton, D. (2015). *Remedies in International Human Rights Law*. Oxford University Press.

5. Roht-Arriaza, N. (2004). *Reparations Decisions and Dilemmas*. Hastings International and Comparative Law Review.

6. Muladi. (2019). *Pertanggungjawaban Negara dalam Pelanggaran HAM*. Refika Aditama.
Gramedia Digital - Prof. Muladi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun