TSM (Terstruktur, Sistematis, & Masif) Dalam Makna Pelanggaran HAM Berat: Menuju Rekonsiliasi & Rehabilitasi Korban.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) merupakan konsep penting dalam hukum HAM internasional dan nasional Indonesia. Konsep ini menjadi parameter utama dalam mengidentifikasi dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang memerlukan perhatian khusus dari negara dan masyarakat internasional.
Konseptualisasi TSM dalam Pelanggaran HAM Berat
Terstruktur.
Unsur "terstruktur" mengacu pada pelanggaran yang dilakukan dengan perencanaan dan organisasi yang rapi, melibatkan hierarki komando yang jelas, dan memiliki pola yang dapat diidentifikasi. Menurut Muladi (2004), elemen terstruktur dapat dilihat dari adanya kebijakan formal atau informal yang mendukung terjadinya pelanggaran tersebut.
Sistematis.
Sistematis merujuk pada pola yang konsisten dan berulang dalam pelaksanaan pelanggaran HAM. Bassiouni (1999) mendefinisikan sistematis sebagai "tindakan yang diorganisir secara metodis dan mengikuti pola tertentu berdasarkan kebijakan umum yang melibatkan sumber daya publik atau privat yang substantial."
Masif
Elemen "masif" berkaitan dengan skala dan dampak pelanggaran yang luas, baik dari segi jumlah korban maupun wilayah yang terdampak. Cassese (2013) menekankan bahwa masif tidak selalu berarti kuantitatif, tetapi juga dapat dilihat dari kualitas dan intensitas pelanggaran yang terjadi.
Implementasi Konsep TSM dalam Penanganan Kasus
Identifikasi Kasus
Dalam mengidentifikasi pelanggaran HAM berat yang bersifat TSM, beberapa indikator kunci yang digunakan meliputi: 1. Adanya keterlibatan aparatur negara, 2. Pola yang konsisten dalam pelaksanaan, 3. Dampak yang luas terhadap masyarakat, 4. Durasi waktu yang berkelanjutan.
Mekanisme Penanganan.
Penanganan kasus pelanggaran HAM berat yang bersifat TSM memerlukan pendekatan komprehensif yang meliputi: 1. Investigasi mendalam, 2. Proses hukum yang adil, 3. Perlindungan saksi dan korban, 4. Pemulihan hak-hak korban.
Menuju Rekonsiliasi dan Rehabilitasi.
Rekonsiliasi, Proses rekonsiliasi merupakan langkah crucial dalam penanganan pelanggaran HAM berat. Hayner (2011) menekankan pentingnya empat elemen dalam proses rekonsiliasi: 1. Pengungkapan kebenaran, 2. Pengakuan tanggungjawab, 3. Reparasi untuk korban,  4 . Reformasi institusional, Rehabilitasi Korban. Program rehabilitasi korban harus mencakup aspek-aspek berikut:, 1. Pemulihan fisik dan psikologis, 2. Kompensasi material, 3. Jaminan non-repetisi, 4. Pemulihan nama baik.
Rekomendasi
 Tantangan Utama, 1. Keterbatasan sumber daya dan anggaran, 2. Kompleksitas pembuktian, 3. Resistensi politik, 4. Keterbatasan waktu
Rekomendasi, 1. Penguatan kerangka hukum nasional, 2. Peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum, 3. Kerjasama internasional yang lebih erat, 4. Partisipasi aktif masyarakat sipil. Pemahaman yang mendalam tentang konsep TSM dalam pelanggaran HAM berat sangat penting untuk memastikan penanganan yang efektif dan komprehensif. Rekonsiliasi dan rehabilitasi korban merupakan aspek krusial yang memerlukan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan.
"Ketika Kemanusiaan Dipertaruhkan: Mencari Pemegang Tanggung Jawab Tertinggi dalam Pelanggaran HAM Berat".
Bayangkan sebuah rantai komando sebagai tangga yang menjulang tinggi. Di setiap anak tangga, berdiri para pemegang kewenangan dengan berbagai tingkat tanggung jawab. Namun, siapakah yang sebenarnya harus memikul tanggung jawab terbesar ketika terjadi pelanggaran HAM yang massif?
Jejak Tanggung Jawab: Dari Bawah hingga Puncak.
Dalam setiap pelanggaran HAM berat, selalu ada tangan-tangan yang bergerak di lapangan - para pelaksana langsung yang mungkin menembak, menyiksa, atau melakukan tindakan kekerasan lainnya. Namun, seperti gunung es, apa yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil dari masalah yang jauh lebih dalam dan kompleks.
Mari kita bayangkan sebuah skenario: Sekelompok aparat keamanan melakukan penembakan terhadap demonstran damai. Siapa yang harus bertanggung jawab? Tentu saja, penembak di lapangan harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Tapi bagaimana dengan komandan yang memberi perintah? Atau bahkan pejabat tinggi yang menciptakan kebijakan yang memungkinkan terjadinya kekerasan tersebut?
Doktrin Tanggung Jawab Komando: Menelusuri Jejak ke Atas.
Profesor Muladi, dalam bukunya tentang pertanggungjawaban pidana (2004), menggambarkan bahwa tanggung jawab komando seperti air yang mengalir dari atas ke bawah - ketika air itu tercemar, kita harus memeriksa sumbernya, bukan hanya bagian yang terlihat kotor di permukaan. Dalam konteks pelanggaran HAM berat, tanggung jawab terbesar seringkali berada di puncak hierarki: 1. **Pemimpin Tertinggi**Â Mereka yang duduk di kursi tertinggi pemerintahan memiliki kewajiban paling berat. Seperti kapten kapal yang harus bertanggung jawab atas seluruh awaknya, seorang pemimpin tertinggi tidak bisa lepas tangan ketika terjadi pelanggaran HAM di bawah kendalinya. 2. **Para Pembuat Kebijakan**Â Di balik setiap tindakan masif, selalu ada kebijakan yang melandasinya. Para pembuat kebijakan ini seperti arsitek yang merancang sebuah bangunan - mereka tidak mungkin lepas dari tanggung jawab jika bangunan itu runtuh dan menimbulkan korban. 3. **Komandan Lapangan**Â Mereka adalah penghubung crucial antara kebijakan dan implementasi. Seperti seorang konduktor orkestra, mereka mengarahkan "musik" yang dimainkan di lapangan.
Mengapa Harus "Yang Teratas"?
Bassiouni (2011) menjelaskan bahwa fokus pada pimpinan tertinggi bukan sekadar mencari "kambing hitam", tetapi memiliki dasar logika yang kuat: 1. **Kekuasaan Membawa Tanggung Jawab**Â Semakin tinggi posisi seseorang, semakin besar tanggung jawabnya. Ini bukan hanya tentang hierarki, tetapi tentang kemampuan untuk mencegah dan menghentikan pelanggaran. 2. **Efek Sistemik**Â Keputusan di tingkat atas memiliki dampak sistemik. Seperti domino, satu kebijakan buruk di tingkat atas dapat memicu rangkaian pelanggaran di tingkat bawah. 3. **Pencegahan**Â Ketika pemimpin tinggi dituntut bertanggung jawab, ini mengirim pesan kuat bahwa tidak ada yang kebal hukum, seberapa tinggi pun posisinya.
Tantangan dalam Mencari Keadilan.
Namun, perjalanan mencari keadilan tidak selalu mulus. Seperti mendaki gunung yang tinggi, banyak tantangan yang menghadang:
1. **Tembok Kekebalan**Â Seringkali, para pemimpin tinggi berlindung di balik tembok kekebalan (immunity). Seperti benteng yang kokoh, tembok ini harus diruntuhkan demi keadilan. 2. **Kabut Birokrasi**Â Sistem birokrasi yang rumit seringkali menyamarkan jejak tanggung jawab, seperti kabut yang menghalangi pandangan ke puncak gunung. 3. **Angin Politik**Â Kepentingan politik seringkali bertiup kencang, menghalangi proses pencarian keadilan.
Menuju Keadilan yang Substantif.
Pencarian keadilan dalam kasus pelanggaran HAM berat harus seperti cahaya yang menerangi dari atas - mulai dari pucuk tertinggi hingga ke akar-akarnya. Beberapa langkah kunci yang diperlukan:
1. **Penguatan Sistem Hukum**Â Sistem hukum harus seperti jaring yang kuat, mampu menangkap ikan besar maupun kecil. 2. **Transparansi**Â Proses hukum harus seperti air jernih, di mana setiap orang bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalamnya. 3. **Dukungan Internasional**Â Komunitas internasional harus bertindak seperti mata dan telinga tambahan, membantu memastikan keadilan ditegakkan.
Keadilan yang Tak Kenal Pangkat.
Pada akhirnya, pencarian tanggung jawab dalam pelanggaran HAM berat harus seperti cahaya matahari - menyinari semua tanpa pandang bulu, namun tetap paling terang di puncaknya. Karena dalam penegakan keadilan HAM, tidak ada yang terlalu tinggi untuk dijangkau, tidak ada yang terlalu kuat untuk dimintai pertanggungjawaban.
Referensi.
1. Bassiouni, M. C. (2011). *Crimes Against Humanity: Historical Evolution and Contemporary Application*. Cambridge University Press.
2. Muladi. (2004). *Pertanggungjawaban Pidana dalam Konteks HAM*. Refika Aditama.
3. Schabas, W. A. (2016). *The International Criminal Court: A Commentary on the Rome Statute*. Oxford University Press.
4. Cassese, A. (2013). *International Criminal Law*. Oxford University Press.
5. Mettraux, G. (2009). *The Law of Command Responsibility*. Oxford University Press.
1. Bassiouni, M. C. (1999). *Crimes Against Humanity in International Criminal Law*. Kluwer Law International.
2. Cassese, A. (2013). *International Criminal Law*. Oxford University Press.
3. Hayner, P. B. (2011). *Unspeakable Truths: Transitional Justice and the Challenge of Truth Commissions*. Routledge.
4. Muladi. (2004). *Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat*. Refika Aditama.
5. Schabas, W. A. (2007). *An Introduction to the International Criminal Court*. Cambridge University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H