Mari kita bayangkan sebuah skenario: Sekelompok aparat keamanan melakukan penembakan terhadap demonstran damai. Siapa yang harus bertanggung jawab? Tentu saja, penembak di lapangan harus mempertanggungjawabkan tindakannya. Tapi bagaimana dengan komandan yang memberi perintah? Atau bahkan pejabat tinggi yang menciptakan kebijakan yang memungkinkan terjadinya kekerasan tersebut?
Doktrin Tanggung Jawab Komando: Menelusuri Jejak ke Atas.
Profesor Muladi, dalam bukunya tentang pertanggungjawaban pidana (2004), menggambarkan bahwa tanggung jawab komando seperti air yang mengalir dari atas ke bawah - ketika air itu tercemar, kita harus memeriksa sumbernya, bukan hanya bagian yang terlihat kotor di permukaan. Dalam konteks pelanggaran HAM berat, tanggung jawab terbesar seringkali berada di puncak hierarki: 1. **Pemimpin Tertinggi**Â Mereka yang duduk di kursi tertinggi pemerintahan memiliki kewajiban paling berat. Seperti kapten kapal yang harus bertanggung jawab atas seluruh awaknya, seorang pemimpin tertinggi tidak bisa lepas tangan ketika terjadi pelanggaran HAM di bawah kendalinya. 2. **Para Pembuat Kebijakan**Â Di balik setiap tindakan masif, selalu ada kebijakan yang melandasinya. Para pembuat kebijakan ini seperti arsitek yang merancang sebuah bangunan - mereka tidak mungkin lepas dari tanggung jawab jika bangunan itu runtuh dan menimbulkan korban. 3. **Komandan Lapangan**Â Mereka adalah penghubung crucial antara kebijakan dan implementasi. Seperti seorang konduktor orkestra, mereka mengarahkan "musik" yang dimainkan di lapangan.
Mengapa Harus "Yang Teratas"?
Bassiouni (2011) menjelaskan bahwa fokus pada pimpinan tertinggi bukan sekadar mencari "kambing hitam", tetapi memiliki dasar logika yang kuat: 1. **Kekuasaan Membawa Tanggung Jawab**Â Semakin tinggi posisi seseorang, semakin besar tanggung jawabnya. Ini bukan hanya tentang hierarki, tetapi tentang kemampuan untuk mencegah dan menghentikan pelanggaran. 2. **Efek Sistemik**Â Keputusan di tingkat atas memiliki dampak sistemik. Seperti domino, satu kebijakan buruk di tingkat atas dapat memicu rangkaian pelanggaran di tingkat bawah. 3. **Pencegahan**Â Ketika pemimpin tinggi dituntut bertanggung jawab, ini mengirim pesan kuat bahwa tidak ada yang kebal hukum, seberapa tinggi pun posisinya.
Tantangan dalam Mencari Keadilan.
Namun, perjalanan mencari keadilan tidak selalu mulus. Seperti mendaki gunung yang tinggi, banyak tantangan yang menghadang:
1. **Tembok Kekebalan**Â Seringkali, para pemimpin tinggi berlindung di balik tembok kekebalan (immunity). Seperti benteng yang kokoh, tembok ini harus diruntuhkan demi keadilan. 2. **Kabut Birokrasi**Â Sistem birokrasi yang rumit seringkali menyamarkan jejak tanggung jawab, seperti kabut yang menghalangi pandangan ke puncak gunung. 3. **Angin Politik**Â Kepentingan politik seringkali bertiup kencang, menghalangi proses pencarian keadilan.
Menuju Keadilan yang Substantif.
Pencarian keadilan dalam kasus pelanggaran HAM berat harus seperti cahaya yang menerangi dari atas - mulai dari pucuk tertinggi hingga ke akar-akarnya. Beberapa langkah kunci yang diperlukan:
1. **Penguatan Sistem Hukum**Â Sistem hukum harus seperti jaring yang kuat, mampu menangkap ikan besar maupun kecil. 2. **Transparansi**Â Proses hukum harus seperti air jernih, di mana setiap orang bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalamnya. 3. **Dukungan Internasional**Â Komunitas internasional harus bertindak seperti mata dan telinga tambahan, membantu memastikan keadilan ditegakkan.
Keadilan yang Tak Kenal Pangkat.
Pada akhirnya, pencarian tanggung jawab dalam pelanggaran HAM berat harus seperti cahaya matahari - menyinari semua tanpa pandang bulu, namun tetap paling terang di puncaknya. Karena dalam penegakan keadilan HAM, tidak ada yang terlalu tinggi untuk dijangkau, tidak ada yang terlalu kuat untuk dimintai pertanggungjawaban.
Referensi.
1. Bassiouni, M. C. (2011). *Crimes Against Humanity: Historical Evolution and Contemporary Application*. Cambridge University Press.
2. Muladi. (2004). *Pertanggungjawaban Pidana dalam Konteks HAM*. Refika Aditama.
3. Schabas, W. A. (2016). *The International Criminal Court: A Commentary on the Rome Statute*. Oxford University Press.
4. Cassese, A. (2013). *International Criminal Law*. Oxford University Press.
5. Mettraux, G. (2009). *The Law of Command Responsibility*. Oxford University Press.
1. Bassiouni, M. C. (1999). *Crimes Against Humanity in International Criminal Law*. Kluwer Law International.
2. Cassese, A. (2013). *International Criminal Law*. Oxford University Press.
3. Hayner, P. B. (2011). *Unspeakable Truths: Transitional Justice and the Challenge of Truth Commissions*. Routledge.
4. Muladi. (2004). *Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat*. Refika Aditama.
5. Schabas, W. A. (2007). *An Introduction to the International Criminal Court*. Cambridge University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H