MENELAAH KONTROVERSI PERISTIWA REFORMASI 1998 - ANTARA PENAFSIRAN HUKUM DAN KEADILAN SEJARAH.
Gambar - Kompaspedia-Kompas.id
Pernyataan Yusril Ihza Mahendra bahwa "Kasus Reformasi 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat" membawa kita pada diskusi kompleks tentang interpretasi sejarah, keadilan, dan kategorisasi pelanggaran HAM. Mari kita telusuri lebih dalam.
Dalam riuh-rendah Mei 1998, Indonesia menyaksikan serangkaian peristiwa yang mengubah wajah bangsa. Demonstrasi mahasiswa, kerusuhan massa, penembakan mahasiswa, penculikan aktivis, hingga berbagai tindak kekerasan dan pemerkosaan terjadi dalam rentang waktu yang relatif singkat. Bagaimana mungkin rangkaian peristiwa yang begitu dramatis ini "bukan pelanggaran HAM berat"?
Argumentasi Yusril tampaknya berpijak pada interpretasi teknis-yuridis. Sebagai seorang ahli hukum tata negara, ia mungkin merujuk pada definisi formal pelanggaran HAM berat sebagaimana tercantum dalam undang-undang. Namun, apakah kerangka legal-formal semata cukup untuk memahami kompleksitas peristiwa 1998?
Mari kita bongkar lapisan-lapisan peristiwa ini:
Pertama, dari sisi sistematis dan terstruktur. Berbagai kesaksian dan bukti menunjukkan adanya pola dalam peristiwa tersebut. Penculikan para aktivis, misalnya, tidak terjadi secara acak tetapi menunjukkan adanya targeting terhadap tokoh-tokoh tertentu. Penembakan mahasiswa di Trisakti pun sulit dijelaskan sebagai "kecelakaan" atau tindakan oknum semata.
Kedua, dari sisi keterlibatan aparatur negara. Berbagai investigasi menunjukkan adanya jejak keterlibatan elemen-elemen dalam struktur kekuasaan. Pertanyaannya: bagaimana mungkin serangkaian peristiwa berskala besar bisa terjadi tanpa setidaknya "pembiaran" dari mereka yang memiliki kewenangan?
Ketiga, dari sisi dampak. Peristiwa 1998 bukan sekadar meninggalkan korban jiwa dan trauma individual. Ia mengoyak fabric sosial masyarakat, menimbulkan trauma kolektif, dan dampaknya terasa hingga generasi berikutnya. Keluarga korban masih mencari keadilan, sementara banyak kasus belum terungkap sepenuhnya.
Namun Yusril mungkin memiliki argumentasinya sendiri. Dari kacamata hukum positif, kategorisasi pelanggaran HAM berat memang memerlukan unsur-unsur tertentu yang harus dibuktikan. Tanpa pembuktian yang memenuhi standar hukum, sebuah peristiwa - betapapun tragisnya - mungkin tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat secara legal.
Di sinilah kita menemui dilema antara keadilan formal dan keadilan substantif. Seperti mencoba mengukur kedalaman luka dengan penggaris, pendekatan legal-formal terkadang tidak mampu menangkap dimensi kemanusiaan yang lebih dalam dari sebuah tragedi.