Pelanggaran HAM berat memiliki karakteristik yang khas, seperti jejak kaki dinosaurus yang tertinggal dalam fosil - besar, dalam, dan meninggalkan bekas yang tak terhapuskan dalam sejarah kemanusiaan. Ia bukan sekadar pelanggaran terhadap individu, melainkan serangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau penghilangan paksa sistematis meninggalkan luka yang melampaui generasi.
Bayangkan sebuah pohon besar yang tumbang. Kejahatan biasa mungkin seperti mematahkan rantingnya - menyakitkan bagi ranting tersebut, tetapi pohon masih bisa pulih. Pelanggaran HAM berat, sebaliknya, adalah seperti mencabut pohon tersebut beserta akarnya, merusak tanah tempatnya tumbuh, dan meracuni lingkungan sekitarnya. Dampaknya jauh lebih luas dan dalam.
Dalam konteks ini, menyamakan setiap kejahatan sebagai pelanggaran HAM bisa jadi kontraproduktif. Ini seperti mengatakan bahwa semua penyakit sama seriusnya - dari flu biasa hingga kanker stadium akhir. Pandangan semacam ini bisa mengaburkan urgensi dan keseriusan pelanggaran HAM berat, yang membutuhkan penanganan khusus dan perhatian lebih.
Pelanggaran HAM berat seringkali melibatkan unsur kekuasaan dan sistematis. Ini bukan seperti pencuri yang masuk rumah di malam hari, melainkan seperti sistem yang secara terencana menindas dan menghancurkan kelompok tertentu. Ada perbedaan fundamental antara kejahatan yang dilakukan oleh individu dengan kejahatan yang disponsori atau dibiarkan oleh negara.
Dalam sejarah Indonesia sendiri, kita bisa melihat contoh-contoh nyata. Peristiwa 1965, Tanjung Priok, atau Timor Timur bukan sekadar rangkaian kejahatan biasa. Ini adalah momem-momen gelap yang melibatkan aparatur negara, kebijakan sistematis, dan dampak yang masih terasa hingga generasi berikutnya.
Kategorisasi pelanggaran HAM berat menjadi penting bukan untuk menciptakan hierarki penderitaan, melainkan untuk memastikan penanganan yang tepat. Ini seperti protokol medis yang berbeda untuk menangani flu dan kanker - keduanya penyakit, tetapi membutuhkan pendekatan yang berbeda.
Lebih jauh lagi, pemahaman yang tepat tentang pelanggaran HAM berat penting untuk pencegahan. Dengan mengenali karakteristik khususnya, kita bisa lebih waspada terhadap tanda-tanda awal dan mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan. Ini seperti sistem peringatan dini untuk bencana alam - semakin akurat kita mengidentifikasi tandanya, semakin baik kita bisa mempersiapkan diri.
Di tengah diskusi ini, penting untuk tetap menjaga keseimbangan. Mengakui bahwa tidak semua kejahatan adalah pelanggaran HAM berat tidak berarti meremehkan kejahatan biasa. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, berat maupun ringan, tetap perlu ditangani dengan serius sesuai dengan proporsi dan karakteristiknya masing-masing.
Yang perlu kita ingat adalah bahwa kategorisasi ini bukan sekadar perdebatan akademis. Ini adalah panduan praktis untuk memastikan keadilan dapat ditegakkan dengan tepat. Seperti dokter yang harus bisa membedakan gejala berbagai penyakit untuk memberikan pengobatan yang tepat, sistem hukum dan HAM kita juga perlu memiliki kategorisasi yang jelas untuk memberikan penanganan yang sesuai.
Pada akhirnya, memahami perbedaan antara kejahatan biasa dan pelanggaran HAM berat adalah bagian dari upaya kolektif kita untuk membangun masyarakat yang lebih berkeadilan. Ini adalah proses pembelajaran yang terus berlanjut, di mana kita harus tetap kritis namun bijak dalam menyikapi berbagai pandangan, termasuk pernyataan Yusril tersebut.
Mungkin yang lebih tepat adalah memahami bahwa meski setiap kejahatan memang melanggar hak asasi seseorang, tidak setiap kejahatan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Perbedaan ini penting bukan untuk menciptakan hierarki kekerasan, melainkan untuk memastikan bahwa setiap kasus mendapat penanganan yang sesuai dengan karakteristik dan dampaknya.