Penting untuk diingat bahwa resistensi tidak hanya datang dari publik, tetapi juga dari dalam birokrasi itu sendiri. Pemberdayaan aparatur negara harus mencakup manajemen perubahan yang efektif, membangun budaya organisasi yang adaptif, dan mengatasi resistensi internal terhadap reformasi.Â
Aparatur yang dapat mengelola perubahan dengan baik akan lebih siap menghadapi dan mengelola resistensi publik.Â
Dimana, pengembangan Budaya Pembelajar dalam Birokrasi, dan "Reformasi Birokrasi" yang kemudian, harus menekankan pada pengembangan budaya pembelajar.Â
Aparatur negara perlu didorong untuk terus belajar, beradaptasi dengan perubahan, dan mengambil pelajaran dari kritik dan resistensi publik. Budaya pembelajar ini akan memungkinkan birokrasi untuk lebih responsif dan adaptif terhadap dinamika ruang publik. Perihal "Etika dan Integritas dalam Pelayanan Publik ?" atau dengan kata lain, penguatan etika dan integritas dalam pelayanan publik menjadi fondasi penting dalam mengelola resistensi.Â
Aparatur negara yang berintegritas tinggi dan berpegang pada etika pelayanan publik akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan masyarakat, sehingga dapat mengurangi potensi resistensi.Â
Dan, mungkin saja, manajemen resistensi ruang publik dalam konteks pemberdayaan aparatur negara dan reformasi birokrasi memerlukan pendekatan yang komprehensif dan multidimensi.Â
Ini melibatkan tidak hanya perubahan struktural dan prosedural, tetapi juga transformasi mindset dan budaya kerja aparatur negara. Dengan mengelola resistensi secara efektif, pemerintah dapat memanfaatkan kritik dan aspirasi publik sebagai input berharga untuk perbaikan berkelanjutan dalam tata kelola pemerintahan.Â
Pada akhirnya, manajemen resistensi yang baik dapat menjadi katalis untuk menciptakan birokrasi yang lebih responsif, efisien, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H