Matahari tutup pukul sebelas malam.
0/
Pukul sebelas malam, para pemukul beduk lebaran, dan malam takbir keliling, saling pukul-pukulan, sebab irama yang tak sama. - atas nama agama.
1/
"Apakah ada yang harus kita beli untuk anak-anak di matahari?" Malam ini juga?"
Mungkin adik belum punya baju kesayangan untuk -hari raya?
Atau kakak, ingin sebuah busana Muslim yang Koko?
Ah, sudahlah, gajiku sudah tergadai untuk atap rumah ini, sekarang aku tak punya nyali untuk bicara uang. - jangankan lebaran, bau ketiak di kaus singlet yang biasa aku pakai bekerja, masih yang tahun kemarin.
2/
"Untuk apa bicara beli daging, jika gigimu hanya tinggal - Tuhan yang mengerti penderitaan seekor.
kerbau ompong?!"
Ayah, sembahyang, ibu memasak malam itu untuk esok.
"Aku berkhayal, mati muda dan masuk surga, tanpa hisab."
Dunia, yang durjana yang merenggut-
Merenggut hari-hari yang sempurna bagi kami di tepi sawah.
aku melihat ribuan katak yang tengah berdendang di pematang, sawah, rawa, yang dihabisi oleh ayah.
Membuat jiwa terbuang di puncang bangunan pencakar langit kota yang kurus bak tulang belulang manusia terkubur di dalam waktu dalam peristiwa sejarah.
Menjadi berbeda bagi hal yang sama-
Tak samanya, pikiran dan realitas di mata, dan setiap mata kakimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H