Mohon tunggu...
Ahmad Sofian
Ahmad Sofian Mohon Tunggu... Dosen -

Ahmad Sofian. senang jalan-jalan, suka makanan tradisional dan ngopi di pinggir jalan :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Harus Menolak Kebiri?

1 November 2015   16:27 Diperbarui: 1 November 2015   16:45 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pro dan kontra tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual pada anak masih terus berlanjut. Pemerintah mempunyai sikap untuk menyetujui pemberian hukuman tambahan bagi pelaku kejahaan seksual anak melalui pemberian kebiri. Jika pemberatan pemberian hukuman ini diwujudkan, maka akan terjadi pertentangan dengan asas-asas yang berlaku pemidanaan, bertentangan juga dengan pidana yang dianut oleh KUHP karena KUHP hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan dan di dalam dua jenis pidana tersebut tidak ada satu pun yang mencantumkan pidana kebiri.[1] Untuk mengatasi masalah ini pemerintah rencana menerbitkan PERPU, namun PERPU ini sendiri jika jadi diwujudkan maka akan sangat menggganggu dan meruntuhkan sistem pemidanaan yang dianut di Indonesia. PERPU yang dibuat harus sejalan dengan asas pemidanaan yang dianut di Indonesia yaitu asas pemasyarakatan. Hukum pidana Indonesia sudah lama meninggalkan asas retributive (absolut) tetapi bergeser ke arah utilitarian (relatif) yang melihat dan pendekatan rehabilitasi. Karena itu, pemidanaan lebih diorientasikan pada perbaikan pelaku, dan meminta pertanggungjawaban kepada korban dari pada memberikan rasa takut apalagi memberikan pembalasan atas perbuatan yang dilakukan pelaku.

  

Komparasi Penerapan Kebiri di Beberapa Negara

Kebiri sebagai salah satu bentuk hukuman (punishment) atau tindakan/perawatan (treatment) belakangan ini menjadi salah satu trendy topic di beberapa negara termasuk negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Beberapa negara Uni Eropa telah memasukan pasal kebiri dalam hukum pidana  yang diberikan bentuk suntikan kimiawi (chemical castration) kepada pelaku kejahatan seksual. Norwegia adalah satu-satunya negara Uni Eropa yang secara terang-terangan menyatakan di dalam hukum pidananya pada tahun 2010 bahwa kebiri merupakan salah satu hukuman bagi pelaku kejahatan seksual.[2] Polandia hanya menerapkan checila castration sebagai bagian dari treatment untuk paedofilia. Australia juga sudah memasukkan dalam hukum pidana untuk pelaku kejahatan seksual anak dan pelaku perkosaan.. Rusia yang sudah menerima chemical castration dalam hukum pidana mereka untuk pelaku kejahatan seksual anak dimana korbannya berusia di 12 tahun atau kurang dari 12 tahun. Sementara itu Turki sedang mempertimbangkan untuk memasukkan suntikan kebiri kepada pelaku perkosaan. India dan Taiwan memberikan suntikan kebiri ini khusus pada peedofilia dan residivis pelaku kejahatan seksual anak.[3]

Mesikpun beberapa negara tersebut di atas sudah memasukkan pasal hukuman atau tindakan/perawatan kebiri dalam hukum pidana mereka, namun dalam banyak kajian, ternyata sulit menerapkannya. Hukum acara yang mengatur mekanisme penerapan pasal tersebut mengalami kesulitan, karena harus melakukan diagonosa lebih dahulu kepada pelaku yang sudah dinyatakan bersalah sebelum menerapakannya, karena tidak semua pelaku harus dikebiri, tetapi harus dicek dan diagonosa lebih dahulu kesehatannyanya dan implikasi medisnya. Berikut ini akan ditampilkna satu studi kasus di salah satu negara bagian Amerika Serikat tentang bagaimana kebiri diterapkan dan implikasinya. 

Di beberapa Negara Bagian Amerika Serikat seperti Lousiana dan Iowa telah mengadopsi kebiri sebagai bagian dari treatment dan bukan punishment. Di Amerika Serikat sendiri telah menjadi debat panjang tentang kebiri yang dimulai sejak tahun 1980-an. Penyuntikan cairan kimia kepada pelaku kejahatan seksual anak dalam bentuk medroxy progesterone acetate (MPA) diyakini akan menurunkan level testoren yang berimplikasi pada menurunnya hasrat seksual. Namun pemberian MPA pada pelaku kejahatan seksual anak ditolak oleh The Food and Drug Administration, alasan yang dikemukan oleh institusi ini adalah untuk mengurangi hasrat seksual ini, maka pelaku kejahatan seksual anak harus disuntik chemical castration dengan dosis 500 miligram dan diberikan setiap minggu hingga mengakibatkan pelaku impotent. Menurut institusi ini, tidak perlu membuat pelaku kejahatan seksual anak impoten, disamping itu, suntikan MPA ini dapat mengakibatkan terganggunya fungsi organ reproduksi pada pelaku disamping itu juga akan menimbulkan problem yang lebih serius yang sulit diprediksi sebagai implikasi dari suntkan MPA ini.[4]

Pendapat lain mengatakan bahwa injeksi chemical castration seolah-oleh injeksi medis akan menjadi jalan keluar “magic” untuk memberikan hukuman bagi pelaku kejahatan dimasa depan, setelah ditemukkannya cairan suntikan mati untuk mengeksekusi pelaku kejahatan. Dan sekarang muncul cairan injeksi untuk mengurangi hasrat seksual. Temuan medis ini dianggap memberikan jalan keluar dalam menghukum pelaku kejahatan seksual. Namun banyak ilmuwan berpendapat bahwa chemical castration yang ditujukan untuk menghukum pelaku kejahatan seksual anak, lebih didominasi pada motivasi kampanye, dan retorika bagi kepentingan politik dan kepentingan rejim tertentu.[5] 

Selain itu, diterapkannya kebiri sebagai salah satu bentuk punishment bertentangan dengan konstitusi karena hukuman ini dinilai mengandung elemen barbarisme karen hukuman ini awal mulanya diadopsi oleh masyarakat primitif. Pengadilan memutuskan untuk menerapkannya kepada pelaku kejahatan seksual anak yang paling serius dan memerintahkan untuk memberikan treatment kebiri. Namun persyaratan untuk memberikan treatment ini sangatlah ketat, karena ternyata hasil penelitian medis menemukan effek samping atas treatment ini diantaranya : menimbulkan ketagihan/kecanduan, migrant, sakit kepala yang berkepanjangan dan bahkan dapat menimbulkan diabetes. Meskipun efek samping ini masih menjadi perdebatan, namun kalangan medis disana sepakat akan timbul efek samping jika suntikan ini dihentikan.

Kebijakan Negara bagian yang menerapkan kebiri ini mendapatkan kritik yang luar biasa, bukan saja dari tenaga medis tetapi juga para ahli hukum dan kriminolog. Ryan Cauley dari Universitas Iowa mengatakan bahwa meskipun kebiri dapat embel-embel treatment, namun tetap saja pelaku menilainya se bagai punishment. Menurutnya kebiri kimiawi (chemical castration) memiliki banyak persoalan hukum, tidak saja dari sisi hukum materiilnya tetapi juga menyangkut juga terkait dengan procedural law nya. Secara akademik beliau juga mengutip pandangan para kriminolog bahwa yang menjadi pemicu kejahatan seksual adalah faktor “power and violence” dan bukan faktor “sexual desire” atau hasrat seksual. Karena itu, yang harus dikurangi adalah motivasi kekerasannya daripada motivasi hasrat seksualnya.[6] 

Menurutnya yang paling tepat untuk diberikan kepada pelaku kejahatan seksual anak ini adalah therapy dan bukan treatment berupa suntikan kimia kebiri. Therapy psikologi akan banyak membantu pelaku kejahatan seksual anak karena yang dihadapi pelaku adalah apa yang disebutnya dengan “psychological problem” bukan “medical problem”. Dengan melakukan “psychological treatment” maka akan mengurangi dampak pada ketergantung obat dan akan menghilang efek negative dari kebiri kimiawi.[7] 

Restitusi/Kompensasi Bukan Kebiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun