Pernah, aku tak peduli apa warna bayangku.
Memerah karena mentari atau redup oleh rembulan.
Gemericik oleh taburan hujan atau penat oleh payah keringat.
Pernah, aku abaikan apa jenis sapaan alam kepadaku.
Perihnya tertoreh duri dan onak serta kerikil jalananan.
Terjatuh oleh bongkahan batu atau sekedar kayu sempalan.
Pernah, aku tak harapkan masa depan.
Hidup bagaikan aliran air tanpa jeda.
Walau tangan tetap nadah meminta.
Bagai tak ada nyawa di badan yang berbalut kulit dan tulang.
Seperti roda yang terus menggilas jalan, tanpa bekas.
Memacu waktu, takut bayang sendiri tertinggal.
Satu , dua dan tiga kali aku terantuk, Â terhempas dan tertimpuk.
Tetes air mata mengalir bebas di sudut mata yang tak lagi jelas.
Sepertinya hidup harus diubah segera, atau mati sia -sia.
Aku butuh minyakku terus menyalakan lampu itu.
Aku perlu cinta yang terus bertalu kutabuh
Aku ingin namaNya mengalir terus dalam hirup udara dan helaaan panjang.
Dia janjikan perdagangan yang abadi.
Jiwa kita telah ditali dalam ikatan sumpah sejati.
Maha Suci Dia , Sang Penguasa lubuk hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H