Berjalanlah seorang pria penuh warna dan beragam muka
Kata mereka dialah sang dermawan
Menolong tanpa pamrih, ihlas tak memilih
Bahkan siapapun minta pasti di kasih
*
Di sepanjang yang aku dengar
Semua serba hebat dan membesar
Menarikan rangkaian uang di langit dan jalan
Mengumbar semua pesona dan kesombongan
*
Hari demi hari satu demi satu mata para wanita nanar
Terpesona wajah rupawan dan juga kata manis membakar
Janji muluk yang selalu terantuk tanduk
Bahasa indah bertabur tulang kemerutuk
*
Waktu demi waktu satu demi satu
Segala kepongahan dijual untuk menarik hati
Segala kemurahan diumbar untuk mendongkrak "like "
Semua kemewahan disebar untuk mendapat yang " sangar"
*
Menit demi menit terus bergulir
Terperosok mereka dalam lubang yang teramat dalam, gelap dan tak ada ampun
Bisa gila bila tak segera sadar, dimana eksistensinya dia, manusia
Perjalanan hidup tidak boleh berakhir
*
Maka bersegera mereka tersadar
Memandang matahari masih panas membakar kulit
Merasakan hujan masih bisa membasahi rambut
Menikmati malam masih bisa membuat kantuk
*
Maka beralih mereka untuk segera mengetuk
Pintu taubat yang luasnya terbentang di langit dan bumi
Tapi laki-laki itu tak hendak berhenti
Dia terus berjalan meninggalkan wanita, tak  tahu diri
*
Untunglah nyawa masih dikandung badan
Masih ada rangkaian sholat, doa dan istigfar
Masih ada ampunan sebelum nyawa terenggut dari badan
Semoga mereka mendapat apa yang Tuhan janjikan
*
Bersama mereka terpekur
Memohonkan ampun untuk nya juga, sang penakluk rasa
Aku tak mengerti mengapa mereka masih memikirkannya
Padahal haru biru kisah hidup telah remuk dalam hati yang hancur
*
Apakah mereka pemilik cinta sejati?
Atau gagal move on dan menolak sendiri?
Ah, sudahlah aku tak mampu mencerna rahasia lagi
Urusan hati adalah milik sang Maha Dalang yang tinggi
*
Kubaca koran pagi ini
Tertangkap dalam  OTT, pria meringis nangis
Semua harta disita, semua kerabat merana
Tak hendak nyinyir dalam kepongahan lagi
*
Hujan menangisi para perempuan
Detik-detiknya di atap seperti mengetuk hati mereka yang terluka
Guyur derasnya saat panas membakar, melukis kontra alam
Gerah bercampur cipratan air seberang jalan
*
Kubaca edisi berikutnya
Sesumbar itu telah membatu dan menfosil
Tak lagi ada suara gaduh riuh menyambutnya
Tak  ada lagi senyum yang memabukkan  dan kilatan mata
*
Dalam hitungan hari dia telah di terali
Butuh waktu untuk  menepi di kotak jeruji besi
Bukan lagi dunia yang hingar bingar memolesnya , tapi elegi
Saatnya semua harus diri menagih , sunyi dan terasing sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H