Mohon tunggu...
Ahlis Qoidah Noor
Ahlis Qoidah Noor Mohon Tunggu... Guru - Educator, Doctor, Author, Writer

trying new thing, loving challenge, finding lively life. My Email : aqhoin@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menagih Janji di Jeruji

3 Desember 2018   14:58 Diperbarui: 3 Desember 2018   15:09 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berjalanlah seorang pria penuh warna dan beragam muka

Kata mereka dialah sang dermawan

Menolong tanpa pamrih, ihlas tak memilih

Bahkan siapapun minta pasti di kasih

*

Di sepanjang yang aku dengar

Semua serba hebat dan membesar

Menarikan rangkaian uang di langit dan jalan

Mengumbar semua pesona dan kesombongan

*

Hari demi hari satu demi satu mata para wanita nanar

Terpesona wajah rupawan dan juga kata manis membakar

Janji muluk yang selalu terantuk tanduk

Bahasa indah bertabur tulang kemerutuk

*

Waktu demi waktu satu demi satu

Segala kepongahan dijual untuk menarik hati

Segala kemurahan diumbar untuk mendongkrak "like "

Semua kemewahan disebar untuk mendapat yang " sangar"

*

Menit demi menit terus bergulir

Terperosok mereka dalam lubang yang teramat dalam, gelap dan tak ada ampun

Bisa gila bila tak segera sadar, dimana eksistensinya dia, manusia

Perjalanan hidup tidak boleh berakhir

*

Maka bersegera mereka tersadar

Memandang matahari masih panas membakar kulit

Merasakan hujan masih bisa membasahi rambut

Menikmati malam masih bisa membuat kantuk

*

Maka beralih mereka untuk segera mengetuk

Pintu taubat yang luasnya terbentang di langit dan bumi

Tapi laki-laki itu tak hendak berhenti

Dia terus berjalan meninggalkan wanita, tak  tahu diri

*

Untunglah nyawa masih dikandung badan

Masih ada rangkaian sholat, doa dan istigfar

Masih ada ampunan sebelum nyawa terenggut dari badan

Semoga mereka mendapat apa yang Tuhan janjikan

*

Bersama mereka terpekur

Memohonkan ampun untuk nya juga, sang penakluk rasa

Aku tak mengerti mengapa mereka masih memikirkannya

Padahal haru biru kisah hidup telah remuk dalam hati yang hancur

*

Apakah mereka pemilik cinta sejati?

Atau gagal move on dan menolak sendiri?

Ah, sudahlah aku tak mampu mencerna rahasia lagi

Urusan hati adalah milik sang Maha Dalang yang tinggi

*

Kubaca koran pagi ini

Tertangkap dalam  OTT, pria meringis nangis

Semua harta disita, semua kerabat merana

Tak hendak nyinyir dalam kepongahan lagi

*

Hujan menangisi para perempuan

Detik-detiknya di atap seperti mengetuk hati mereka yang terluka

Guyur derasnya saat panas membakar, melukis kontra alam

Gerah bercampur cipratan air seberang jalan

*

Kubaca edisi berikutnya

Sesumbar itu telah membatu dan menfosil

Tak lagi ada suara gaduh riuh menyambutnya

Tak  ada lagi senyum yang memabukkan  dan kilatan mata

*

Dalam hitungan hari dia telah di terali

Butuh waktu untuk  menepi di kotak jeruji besi

Bukan lagi dunia yang hingar bingar memolesnya , tapi elegi

Saatnya semua harus diri menagih , sunyi dan terasing sendiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun