Mohon tunggu...
Ahlis Qoidah Noor
Ahlis Qoidah Noor Mohon Tunggu... Guru - Educator, Doctor, Author, Writer

trying new thing, loving challenge, finding lively life. My Email : aqhoin@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Jangan Berdarah- darah seperti Aku

11 April 2018   20:21 Diperbarui: 11 April 2018   20:28 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di panas mentari sekitar 39 derajat aku sampai di kampus. Inilah hariku mengejar tanda tangan para pejabat sebelum aku ujian terbuka layak. AC tak mampu dinginkan badan.

Duduk mematung rasanya tak sanggup aku lakukan. Segera ku ayun kaki kulangkahkan. Sejenak ambil air wudhu saat adzan menjelang. Usapan air di wajah sedikit menghilangkan gerah.

Usai sholat hatiku tenang, kembali ku duduk di seberang kursi panjang . Ada banyak mahasiswa lalu lalang. Menenteng buku, lap top dan juga ragam tugas serta beban. Lift berganti naik turun bantu mereka tak ada jeda  tak ada hitung.

Sebelahku seorang ibu muda tergesa bertanya. Sudah semester berapa aku rupanya? Kujawab semester ekstra. Ah, aku malu terangkan lebih jauh dan terang.

Dia ingin cari rekomendasi dosen untuk S 3 nya. Janganlah sampai berdarah --darah kataku menyapa. Dia penasaran namun mengerti kenapa.

Di samping kananku seorang anak muda seusia adikku. Lebih muda dua tiga tahun. Bersedih dan lama mematung.

Aku tak tahan kusapa dia dalam mata muram. Dia ceritakan baru saja dipersilahkan pergi karena tak ada janji ketemuan.

Wow.  Aku kaget tapi kusampaikan memang benar. Ada saatnya dosen tak boleh gegabah kita ganggu walau tak semua begitu.

Maka mengalirlah cerita sepanjang dua jam berganti menit berlalu detik menunggu. Tentang nilainya yang mengharu biru. Bila tidak B maka dia akan bersedih dan kelu.

Kujawab. Car saja dosen lain dan jadikan indah nilai akhir. Dia sumringah dan memintaku nama sang penyelamat akhir. Aku berikan dua tiga nama dan iapun riang gembira.

Dia mulai beri cerita lagi tentang artikel jurnal internasional yang jadi persyaratan ujian. Ku katakan baiklah dari sekarang dia mulai mengarang dan mencincang ide untuk dipatahkan . Menulislah demi intelektual dan menulislah demi kebaikan dan kemashuran.

Lama ngobrol baru dia tanya siapa aku. Aku jawab apa adanya. Sebentar lagi mau ujian  terbuka. Semoga segalanya lancar dan dalam lindungaNya.

Wah dia tak menyangka betapa lama aku habiskan waktu untuk riset dan pertahankan semua prosedural akademikku. Ah tak apa. Setiap masa ada saat untuk mengambil hikmah dan menjentik asa.

Bila Allah ijinkan maka jadilah engkau nanti juga di belakangku , menontonku memepertahankan argumen dan juga semua opini serta semua riset dan alasan intelektualitas yang kususun panjang lebar dalam rangkaian kata -- kata di ratusan lembar disertasiku.

Katanya dia akan datang, tapi aku malu dilihat orang. Biarlah mereka tak sengaja melihatku bersenandung irama syahdu sebuah tembang dari pada membiarkan mata mereka melihatku mempertahankan sebuah ide dengan tiga produk yang lima tahun kulakukan.

Aku lebih suka diam -- diam dan menghasilkan daripada menggelegar dan tak ada yang melanjutkan. Aku lebih suka dalam kesunyian dari pada menarik bendera tinggi dan berpencar suara menendang.

Akhirnya tibalah kami bertiga bertemu dengan yang ditunggu. Seorang lelaki separuh baya yang telah menghabiskan waktu 3 jam memandu para gernerasi muda menimba ilmu. Kusampaikan maksudku setelah sebelumnya kujabat tangannya yang sudah mulai berkerut. Aku dengarkan semua nasehat dan masukannya untuk ku dan juga untuk masa depanku . Aku pun turut terlarut.

Giliranku bukanlah yang pertama tetapi dia memberikan waktu untukku menuju. Dia bertemu juga dengan lelaki paruh baya yang sangat disegani anak muda. Selanjuntny perempuan paruh baya yang ingin mempertaruhkan masa demi masa seperti aku di waktu lalu. Ah , jangan sampai berdarah- darah seperti aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun