Lama ngobrol baru dia tanya siapa aku. Aku jawab apa adanya. Sebentar lagi mau ujian  terbuka. Semoga segalanya lancar dan dalam lindungaNya.
Wah dia tak menyangka betapa lama aku habiskan waktu untuk riset dan pertahankan semua prosedural akademikku. Ah tak apa. Setiap masa ada saat untuk mengambil hikmah dan menjentik asa.
Bila Allah ijinkan maka jadilah engkau nanti juga di belakangku , menontonku memepertahankan argumen dan juga semua opini serta semua riset dan alasan intelektualitas yang kususun panjang lebar dalam rangkaian kata -- kata di ratusan lembar disertasiku.
Katanya dia akan datang, tapi aku malu dilihat orang. Biarlah mereka tak sengaja melihatku bersenandung irama syahdu sebuah tembang dari pada membiarkan mata mereka melihatku mempertahankan sebuah ide dengan tiga produk yang lima tahun kulakukan.
Aku lebih suka diam -- diam dan menghasilkan daripada menggelegar dan tak ada yang melanjutkan. Aku lebih suka dalam kesunyian dari pada menarik bendera tinggi dan berpencar suara menendang.
Akhirnya tibalah kami bertiga bertemu dengan yang ditunggu. Seorang lelaki separuh baya yang telah menghabiskan waktu 3 jam memandu para gernerasi muda menimba ilmu. Kusampaikan maksudku setelah sebelumnya kujabat tangannya yang sudah mulai berkerut. Aku dengarkan semua nasehat dan masukannya untuk ku dan juga untuk masa depanku . Aku pun turut terlarut.
Giliranku bukanlah yang pertama tetapi dia memberikan waktu untukku menuju. Dia bertemu juga dengan lelaki paruh baya yang sangat disegani anak muda. Selanjuntny perempuan paruh baya yang ingin mempertaruhkan masa demi masa seperti aku di waktu lalu. Ah , jangan sampai berdarah- darah seperti aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H