Oleh : Ahlan Mukhtari Muslim Soamole*
Sudah banyak fase terlewati waktu demi waktu dilalui kini pada sikon sama menyambut momentum HUT kemerdekaan Indonesia ke-75 keceriaan menyambut kemerdekaan itu seperti menggores luka membekas lama, Indonesia terus-menerus berada di dalam zona berbahaya, kita diperhadapkan atas gerakan sosial kompherensif dari pemuda hingga kalangan mahasiswa menentang kebobrokan elit tak berpihak pada kekuasaan rakyat.Â
Kemerdekaan serupa kebebasan memiliki batasan tertentu menunjukan kemerdekaan identik secara kemanusiaan meletakkan nilai-nilai inklusif kemerdekaan menciptakan kesejahteraan jiwa dan raga, kebebasan seperti di atas itu merupakan pilar individualitas tak terikat berbagai nilai-nilai kemanusiaan untuk kemerdekaan tertentu.Â
Fase kemerdekaan sama sekali tak nampak, meronrongnya kedaulatan di bawah kekuasaan globalisasi merupakan sisa-sisa kemerdekaan tak tersusun bak fondasi mengokohkan kemanusiaan.Â
Fase reformasi peristiwa itu meninggalkan duka kelam krisis ekonomi 1998, kedaruratan demokrasi kian membuat keterpurukan politik jauh daripada nilai kemerdekaan, banyaknya gerakan sosial masyarakat menentangnya suatu kekuasaan rezim, fase kelam itu memenjarakan kemerdekaan manusia dengan sikap politik kolusi, korupsi dan nepotisme, sebagaimana juga 'perkawinan' pemerintah dan investor asing memungkinkan eksploitasi tambang masif dan berdampak luas pada lingkungan tambang secara destruktif.Â
Politik fase reformasi juga meronrong demokrasi bungkamnya kebebasan berpendapat, otoriterianisme rezim kemerdekaan direnggut akibat ketidakberpihakan kepada kemerdekaan manusia tindakan tak menjadikan nilai kemanusiaan sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia, martabat maupun moral, karakteristik kemerdekaan seringkali diungkapkan memungkinkan bahwa kemerdekaan itu untuk kepentingan elit, pengolahan sumber daya alam secara intensif eksploitasi masif kemerdekaan investor asing, TKA maupun kemerdekaan terhadap kapitalisme dan kerusakan lingkungan. Berbagai fase dilewati itu menyisahkan suatu paradox pembangunan, berdikari atau berdiri dikaki sendiri rupanya jauh dari harapan sebaliknya seolah terjadi ialah (berdasi) berdiri dari kaki asing, bahkan generasi kelak nanti sudahkah Indonesia merdeka atau pertanyaan serupa kemerdekaan itu semu ?
Kemerdekaan
Bumi pertiwi menahan ragam gejolak ketika tanah air dieksploitasi berlebihan dengan preferensi menumbuhkan ekonomi namun nyatanya simpang siur harapan itu menjadi luka bagi pertiwi setelah kian 75 tahun harapan ibu pertiwi Indonesia seharusnya menjadi Negara adikuasa, berdikari namun keterjajahan itu kembali lagi, kemerdekaan sebagai harapan universal diperoleh oleh segelintir kekuasaan elit, merajalelanya tambang terdapat di mana-mana, bahkan pelosok desa kerumunan warga nantinya hidap sepanjang waktu.Â
Kemerdekaan diperolehnya kini tergantikan dengan eksploitasi tambang masif, kerusakan lingkungan beralihnya aktivitas petani menjadi pelakuindustri yang menopang ekonomi korporasi ketimbang kemerdekaan digelutinya melalui bertani. Berbagai informasi menunjukan hampir 70 % kerusakan lingkungan di Indonesia aktivitas-aktivitas pertambangan berlebihan tak taat suatu asas good mining practice, sudah memasuki 17 hari semenjak bulan ini baru saja pemerintah menyepakati dan melaksanakan UU Minerba (Mineral dan Batubara) nomor 3 tahun 2020 kebijakan UU ini sepenuhnya pengendalian kebijakan diberikan kepada pemerintah pusat agar mekanisme perizinan memudahkan tak hayal bila dari BKPM bermati-matian mendatangkan investasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia.Â
Carut marut demokrasi saat ini selebihnya di tengah meluasnya wabah virus corona, masyarakat kian terpuruk wajah demokrasi suram. Label-label kritik dibungkam segala cara dicari agar memperhatikan nama atau suatu kekuasaan tertentu, demokrasi yang tak menjanjikan suatu kemerdekaan karena masih ada celah otoritarianisme berwajah oligarkimenyelimuti demokrasi, sehingga kekuasaan berlabel demokrasi bias dalam pusaran globalisasi.Â
Pemerintah akan bertindak sistem berdasarkan kuasa maka laju demokrasi sesungguhnya ialah elemen-elemen pasar bebas seperti china sebagai pelaku pasar bebas abad 21 memilki kekuatan modal melalui China world bank atau menandingi AS dengan world bank.Â
Pancaran eksploitasi masif terus-menerus berlanjut hegemoni politik dipelihara dengan semboyan demokrasi kian henti, wajah demokrasi akan baik ketika demokrasi dikembalikan pada titik ideal atau kekuasaan rakyat sebab bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan" terutama penjajahan sesama bangsa sendiri. Pada gilirannya kemerdekaan kolektif Indonesia ialah kemerdekaan jiwa dan raga, kemerdekaan melahirkan kesejahteraan. Sejatinya demokrasi luhur apabila peranan multidimensional demokrasi implikasi pada suatu kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif.Â
Eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan dapat mengakomodir kepentingan rakyat tanpa beban prosedural kaku tak berarti samasekali terhadap kemerdekaan manusia. Dalam aspek yudikatif itu niali-nilai kemerdekaan menjadi keutamaan bilamanakebenaran diputuskan selalu berpihak pada rakyat seadil-adilnya. Peranan legislatif merupakan peranan utama mereka mewakili segala aspirasi rakyat mengawasi sehingga kekuasaan rakyat itu mencapai kemerdekaan otoritas demokrasi dalam kehendak memperoleh kehidupan adil, bermartabat dan bermoral.
*Ditulis oleh Ahlan Mukhtari Muslim Soamole, Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar/ Pegiat Belajar Filsafat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H