Menjelang kontestasi politik pada 17 april 2019 nanti, kita banyak disuguhkan suatu problematika (secara multidimensi) antara setiap kekuasaan yang diperebutkan, layaknya manusia politik merupakan 'embrio' manusia yang menghidupkan dinamika politik secara signifikan.
Sebagaimana diketahui, perhelatan demokrasi Indonesia pada mulanya berdasar pada nilai ideal autentik yang menghiasai politik elektoral bangsa berdasarkan nilai kemanusiaan berarti tanpa dikotomi terhadap perkembangan spektrum politik yang akhir-akhir sedikit merenggang relasi kebangsaan kita yang bertumbuh kembang.
Pemahaman politik yang hirarki semestinya mengorientasikan kedudukan suatu kehidupan demokratis pada kepercayaan, yang terbangun sejak awal bahkan tak menganggap samasekali kehadiran aktor-aktor politik ialah untuk memecahkan bagian terpenting dalam demokrasi yakni rakyat, keunggulan itu tak lepas dari kesadaran politik dan intelegensi emosional maupun intelektual etik yang dapat menyelaraskan keadaban dan diskursus politik pada arah yang benar disetiap kemeriahan politik dilangsungkan.
Kerapkali pernyataan yang sering dikemukakan bahwa makna daripada politik adalah untuk kemaslahatan umat, politik untuk membangun bangsa dan negara bukanlah suatu pengertian yang berbeda yakni politik untuk 'menjilat' penguasa atau politik untuk menghakimi rakyat akibat kepentingan, keserakahan dan kesewenang-wenangan.
Istilah spektrum yang melejit menstimulus suatu konfrontasi dikarenakan berbeda berbagai paradigma baik 'kiri' maupun 'kanan' yang dianggap bertentangan dengan rezim penguasa maupun yang mengakui suatu kekuasaan.Â
Menurut Hipotesa media (2018) Istilah kiri maupun kanan pertama kali digunakan tahun 1789 di Perancis pada saat French Constitutive Assembly pada saat itu terjadi perdebatan antara dua kubu.Â
Ada kubu yang merasa bahwa hak-hak raja seperti hak veto harus dipertahankan tapi, ada juga kubu yang merasa kalau kekuasaan raja itu terlalu banyak dan harus dikurangi mereka yang ingin mengurangi kekuasaan raja duduk di sebelah kiri dan mereka yang mendukung kekuasaan raja duduk di sebelah kanan ini dilakukan agar mempermudah kerjasama di antara mereka yang sepemikiran.
Dinamika spektrum politik menjelang pilpres 2019 ini tak ubahnya pertentangan merebutkan kekuasaan perbedaan ideologi politik dan afiliasi politik telah dinampakkan beberapa calon presiden.
Secara empirisme, kekuasaan petahana dalam kontestasi ini berdasarkan pada keleluasan pasar dan dukungan global mengarah pada sosialisme yang tak lain ialah China sebagai negara Sosialisme--namun sikap politik yang tendensi terhadap kapitalistik--sedangkan, Prabowo yang tergambarkan didukung oleh Amerika Serikat begitu pun dalam militerianistik Indonesia dikomandai oleh aktor politik militer. Fakta-fakta ini tak dapat luput dari suatu hipotesa militer yang mencalonkan diri menjadi Presiden meskipun secara administrasi telah mengundurkan diri namun secara watak politik, masih mendominasi aspek militerianisme.Â
Konsekuensi logis, paradigmatik politik yang elitis ini tentu berimplikasi pada konfrontasi dinamika politik antara Sosialisme dan Kapitalisme, Sosialisme (kapitalis) yang berpihak pada rakyat  begitu pun kekuasaan berdasar kapitalisme maka politik bangsa ini penuh akan ketimpangan sebagaimana di negara berkembang lainnya, Negara dibawah Amerika Serikat menjadi penyuplai sumber daya alam bagi negara adidaya.
Hal ini kemudian mengerucut secara vertikal pada selebrasi kontestasi politik rakyat yang mulai mengklasifikasi dirinya pada dua tataran sikap politik, akan tetapi carut-marut ini melahirkan suatu dekandensi politik rakyat yang tendensi destruktif meluasnya hoax yang dilakukan antar sesama bangsa dan didukung oleh rezim pemerintah yang dianggap sejalan dan sebaliknya rakyat yang berafiliasi dengan oposisi tendensi membela bahkan menentang pemerintah tanpa mengendepankan moralitas samasekali.
Spektrum politik yang spiral ini, semestinya ditegakkan kembali dengan nilai-nilai kemanusiaan berdasar intelegensi emosional dalam artian tanpa marah-marah, membenci, mencela, namun dengan kesosialan (collectivity)Â yang tinggi.
Politik ideal ialah politik yang mencerminkan nilai intelektualitas dan etis yang baik dan salah satu memandang kehidupan demokratis sebagaimana ditulis oleh Daniel Goleman dalam bukunya emosional intelengsia, bahwasannya pada abad kontemporer suatu keberhasilan atau kesuksesan tak hanya ditentukan oleh intelektual quetion melainkan oleh emosional, dalam perhelatan demokrasi elektoral politik 2019 ini, apabila mencapai suatu keberhasilan politik secara kerakyatan (from the people, by the people for the people) yakni mengedepankan kebaikan dan intelektual.
Ahlan Mukhtari Muslim Soamole
Penulis adalah Pegiat Belajar Filsafat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H