Dengan demikian kita jangan sibuk mempersoalkan lingkungan fisik kota atau kabupaten semata dan melupakan sisi keluarga dengan segala aspeknya khususnya yang terkait dengan aspek fisik dan aspek ruhaniahnya. Kedua entitas tersebut tentu saja berbeda di dalam memahami konsep dan implementasinya di dalam pembuatan kebijakan pembangunan.Â
Kedua entitas tersebut harus di dukung oleh kemampuan finansial dan kemampuan religositas yang tinggi. Tanpa dukungan finansial dan religiositas yang tinggi maka kita jangan berharap akan lahir kota-kota dan kabupaten yang layak dan ramah anak, kecual kota-kota dan kabupaten yang layak dan ramah anak yang terbentuk secara sementara dalam upaya mendapatkan penghargaan dari pemerintah.
Mari kita bersama-sama mendukung terbentuk dan terwujudnya kota layak anak atau ramah anak agar terbentuk secara sistemis. Mari kita mulai dengan memperbaiki kualitas kehidupan keluarga kita baik dari sisi jasmaniah terlebih lagi dari sisi ruhaniah. Untuk itu perlu sinergitas antara pihak pemerintah daerah, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh adat serta para pengusaha dalam membangun kota atau kabupaten layak anak atau ramah anak.
Bila di suatu wilayah masih kita temukan ada keluarga atau masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan maka menjadi kewajiban pemerintah dan para pengusaha untuk memberikan dia pekerjaan agar kebutuhan finansial keluarganya dapat teratasi dengan baik. Termasuk keluarga yang anak-anaknya tidak sekolah dan sebagainya.
Demikian beberapa catatan yang dapat kami ajukan dalam pengkajian tentang kota atau kabupaten layak anak atau ramah anak. Semoga dapat menjadi bahwa pertimbangan untuk kita menemukan kebenaran sesungguhnya, amin#
Ahkam Jayadi Kompasianer berdomisili di Makassar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H