Jam weker yang diletakkan di atas meja berdering keras, saat Nita berada pada akhir mimpinya. Dia menyingkapkan selimut. Dengan berat, bangun dari pembaringan, lalu menggapai jam weker yang berada di atas meja- tidak jauh dari pembaringan. “Sudah jam empat,” gerutunya malas. Dibukanya tirai yang menutupi kaca jendela kamar. Bias matahari senja jatuh di atas bunga-bunga yang ada dalam pot, membuatnya menjadi merah bersemu jingga.
Rasanya belum cukup dia tidur seharian, seluruh badannya masih terasa lesuh. Diapun kembali menghempaskan tubuhnya yang berbalut baju tidur tipis di atas ranjang. Senja itu terasa gerah. Disambarnya remote AC yang tergeletak tidak jauh dari dirinya, lalu menurunkan temperaturnya. Sesaat setelah itu, dia mengambil majalah yang terhampar di atas kasur, dan membukanya.
Hembusan udara yang keluar dari celah-celah pendingin ruangan itu memenuhi kamar. Sebuah kamar yang cukup luas, dengan telivisi menghadap ke pembaringan. Seperangkat peralatan audio tersusun pada sisi yang lain. Sebuah lukisan bunga mawar bertengger pada salah satu dinding, satu lagi lukisan abstrak berada pada bagian dinding yang lain. Juga sebuah meja rias, dengan perlengkapan kosmetik mahal, dan beberapa parfum merk-merk terkenal. Kontras dengan itu semua, terdapat sebuah foto gadis kecil dengan bingkai kayu sederhana. Gadis kecil dalam foto itu sedang berlari di pematang, mengejar capung-capung di antara sawah yang menghijau, tertawa ceriah, sambil membawa kembang ilalang.
Gadis imut dalam foto itu adalah Nita saat berumur tujuh tahun. Sedangkan sawah yang menghijau bak permadani itu adalah nuansa persawahan sebuah desa, di daerah Subang- Jawa Barat.
Lima belas tahun yang lalu, Nita adalah seorang gadis kecil yang manis dan cerdas. Dia terlahir dari seorang keluarga petani, yang kehidupannya ditopang dari petak sawah. Petak sawah yang dimiliki bapaknya tidak seberapa luas, tapi lumayan, dalam artian cukup untuk makan sekeluarga, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, serta membiayai sekolah Nita yang saat itu masih SD.
Nita mempunyai adik perempuan, yang umurnya terpaut tiga tahun darinya. Meskipun kehidupan keluarga itu tidak pernah mudah, namun mereka sepakat untuk tidak menyerah. “Nasi hangat, beberapa potong tempe goreng, teh hangat, adalah sebuah pesta besar,” begitulah yang sering diucapkan bapaknya, saat makan malam, dalam udara dingin Subang.
Nita dan adiknya mempunyai kebiasaan, yakni jika senja hari menjelang, mereka akan bermain ke persawahan, bagi mereka hal itu sangat menghibur. Pada musim kemarau, di sana akan ada ribuan capung yang mengambang di udara. Mereka akan menangkap capung-capung itu dengan menggunakan kembang ilalang. Caranya adalah dengan mengacungkan kembang ilalang itu sambil berlari di bawah kawanan capung. Setelah salah satu capung itu hinggap di kembang, mereka akan menangkapnya pelan-pelan. Setelah tertangkap, capung itu akan dibuatkan baju pesta, dengan kertas kecil yang dilubangi seperti cincin, memasukkan pada sayapnya, lalu melepasnya kembali.
Permainan semacam itu sangat menghibur, juga bisa melupakan kedongkolan hati, saat bapak tidak mempunyai uang untuk jajan mereka, baik waktu di sekolah atau saat di rumah.
Di sekolah, Nita juga anak pintar. Meski sering kesulitan untuk membeli buku, nilai rapotnya ternyata memuaskan. Tidak jarang teman-temannya menjadikannya sebagi rujukan saat ada tugas dari sekolah. Bahkan pernah pada sutau kali bapaknya dipanggil oleh guru ke sekolah, karena saat ada PR Bahasa Indonesia, seluruh kelas pekerjaannya sama. Dan saat para murid ditanya oleh gurunya, dari mana asal pekerjaan itu, mereka kompak menjawab telah mencontek pekerjaan Nita.
Saat Nita beranjak SMA, keadaan ekonomi keluarga terasa semakin sulit. Pertama: dirinya yang sudah kelas dua SMA, membutuhkan biaya sekolah yang besar. Sedangkan adiknya yang juga sudah masuk SMP, diwajibkan membeli buku-buku paket. Bagi bapak mereka, yang hanya menggantungkan hidup keluarga dari sepetak kecil sawah, membiayai sekolah dua orang anak, dengan buku paketnya yang banyak, bukanlah perkara mudah. Pernah ada bantuan dari pemerintah, berupa buku paket dan potongan pembayaran uang SPP sebesar lima puluh persen. Tapi toh, uang SPP yang sudah dipotong lima puluh persen itu masih teramat berat bagi mereka. Sedangkan buku-buku bantuan itu teramat sedikit, sehingga satu buku paket harus digilir, digunakan bergantian untuk lima orang siswa.
Dan kedua: pada saat itu kehidupan petani pada umumnya dalam keadaan sangat sulit. Harga pupuk melambung naik, begitu juga dengan harga-harga pestisida. Sedangkan harga padi tidak juga ikut naik. Dalam keadaan yang tidak seimbang itu, petani mengalami kesulitan yang luar biasa. Sebab hasil panen tidak bisa menutupi modal tanam. Jangankan mendapat untung, hanya sekedar kembali modal saja sangat sulit. Belum cukup dengan itu, terkadang wabah belalang juga menyerang. Tentu saja mereka tidak sanggup memusnahkan hama itu, sebab harga pestisida semakin tidak masuk akal. Kalaupun belalang sedang berbaik hati pada mereka, dengan tidak menyerang sawah, para petani itu tetap saja tidak mampu memupuk tanaman padinya dengan optimal. Dengan demikian hasil panen sangat jelek, bulir padi banyak yang kosong.
Untuk dapat bertahan dalam keadaan yang semakin mencekik itu, beberapa penduduk desa memilih keluar dari kota Subang, merantau ke negara tetangga secara ilegal- sebab cara legal membutuhkan biaya yang besar- menjadi TKI atau TKW. Sebagain lagi tetap bertahan di kampung, dengan melakukan pekerjaan seadanya. Beberapa penduduk yang masih bertahan di kampung itu, mengelola tanah liat- yang mereka gali dari sawah- menjadi batu bata. Itulah yang dilakukan orang tua Nita, untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga.
Tanah sawah yang sudah tidak bisa diharapkan lagi dibiarkan kering, lalu tanahnya digali, dihancurkan, dan diaduk dengan air hingga menjadi lempung. Berikutnya lempung itu dicetak menjadi batu bata. Jika sebagian orang ada yang menjual batu bata itu setelah dibakar, orang tua Nita memilih menjualnya dalam keadaan mentah. Memang, menjual setelah membakarnya akan dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan yang mentah. Namun untuk membakar batu bata diperlukan lagi modal yang tidak sedikit, untuk membali kayu-kayu gelondong, sebagai bahan bakar.
Cukup lama orang tua Nita mempertahan hidup keluarga dengan cara seperti itu, hampir satu tahun. Hingga akhirnya peristiwa itu terjadi: Senja itu, Nita dan adiknya pergi ke sawah, hendak membantu bapaknya yang telah bekerja seharian mencetak batu bata. Sebelumnya mereka memang sering melakukan hal itu, walaupun hanya sekedar menyusun batu bata yang telah kering. Betapa terkejutnya mereka kala itu, saat menemukan bapaknya tergeletak dengan muntah darah, di pangkuan ibunya. Mereka panik, berteriak meminta bantuan orang-orang yang juga sedang membuat batu bata, yang tidak jauh dari situ. Tubuh bapak Nita digotong rame-rame, lalu dilarikan ke rumah sakit.
Hasil diagnosa dokter membuktikan bahwa bapaknya menderita TBC akut. Ternyata memang selama ini orang itu sudah menderita penyakit, hanya saja dia tidak mempedulikannya. Menganggapnya remeh, lalu menghajar tubuhnya dengan kerja. Hingga akhirnya sakit itu benar-benar parah, dan membutuhkan perawatan yang lama dan serius di rumah sakit.
Perawatan yang lama, dan diharuskan tinggal di rumah sakit, tentu saja hal itu akan menghabiskan biaya yang besar. Kini keluarga Nita seperti terhempas ke dasar jurang, lalu ditimbuni batu-batu besar. Setiap hari ibu Nita hanya termangu-mangu di rumah sakit, di sebelah pembaringan ayahnya. Bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk menyelamatkan keluarganya: sekolah anak-anaknya; juga menyembuhkan penyakit suaminya. Hingga akhirnya diputuskan untuk menjual sawah mereka satu-satunya, yang tidak begitu luas.
Uang hasil penjualan itu tidak seberapa besar, tanah persawahan itu dihargai sangat murah, sebab lokasi desa itu terpencil, masih jauh dari akses jalan kota Subang. Lagi pula petak sawah itu juga tidak luas. Uang yang tidak seberapa besar itu dibagi tiga. Bagian pertama untuk biaya pengobatan, kedua untuk biaya sekolah Nita dan adiknya, dan yang terakhir untuk makan, sebab semenjak saat itu sudah tidak ada lagi yang mencari nafkah untuk keluarga.
Lama bapak Nita dirawat di rumah sakit. Dari hari ke hari keadaannya bukannya membaik, malah makin mengkhawatirkan. Jadi tidak mungkin dokter mengijikinkannya pulang. Sedangkan uang hasil penjualan sawah yang telah disisihkan untuk pengobatan sudah habis. Kembali Ibunya dirundung murung yang berkepanjangan. Rasanya segalanya sudah buntu. Seolah hidup ini seperti mesin giling, yang menelan utuh tubuh mereka, lalu memuntahkan lagi setelah tulang-belulang remuk tak berbentuk.
Hingga suatu senja, saat Ibunya termangu-mangu di beranda rumah sakit, Nita menghampirinya, “Sebaiknya uang sekolah Nita dan Adik, digunakan untuk biaya berobat Bapak saja, Bu,” ucapnya.
Ibunya mengangkat muka. Dengan wajah lesu, dipandangnya Nita dengan tatapan tak mengerti. “Kamu sudah bosan sekolah?”
“Yang penting Bapak sembuh,” jawab Nita, yang senja itu masih mengenakan rok abu-abu sekolah, dan baju seragamnya sudah berganti dengan kaos putih.
Sesaat Ibunya hanya terpaku, tidak menduga bahwa anak gadisnya yang masih kelas dua SMA, sudah mempunyai pikiran sedewasa itu. Perasaan ragu tergambar di mukanya yang mulai menua. Sebagaimana kebanyakan orang tua, dulu dia berharap anaknya bisa mengenyam pendidikan yang labih tinggi, meskipun hanya anak seorang petani. Dengan begitu anaknya bisa hidup lebih baik dibandingkan dirinya, lebih dimanusiakan, dan dihargai orang lain. Tapi toh, dari hari ke hari, nasib seperti gugusan batu terjal yang terhampar di jalan mereka yang menanjak. Dan siap menjungkalkan mereka kapan saja.
“Mungkin kita bisa pinjam uang, Neng. Mungkin sekolahmu bisa dipertahankan,” jawab ibunya setengah putus asa.
“Mau pinjam uang kemana, Bu?” ucap Nita lesu.
Ibunya hanya tertunduk tidak menjawab. Benar juga yang dikatakan puterinya. Sebagian besar penduduk desa hidup susah. Tidak akan ada yang memiliki uang berlebih untuk dipinjami. Kebanyakan mereka telah pergi mengadu nasib di negara tetangga. Sedangkan yang tersisa, susah payah bertahan untuk hidup dengan mencetak batu bata.
“Entahlah,” gumam ibunya lirih.
“Tidak ada jalan lain. Biar sekolah Nita dan Adek berhenti dulu, yang penting Bapak bisa sembuh. Nanti kalau Bapak sembuh, beliau bisa mencari nafkah lagi.”
Dengan berat hati Ibunya pun menyetujui usul itu. Dan itu artinya, Nita yang saat itu masih duduk di bangku kelas dua SMA, serta adiknya yang baru saja masuk SMP, harus berhenti sekolah. Uang yang sudah disisihkan dari penjualan sawah, yang rencanya untuk biaya sekolah selama bapaknya sakit, digunakan juga untuk biaya pengobatan.
Ternyata kesengsaraan tak juga jemu menggoda mereka. Uang tambahan untuk pengobatan itu habis, hanya untuk dua minggu perawatan. Sementara keadaan bapaknya tak juga lebih baik.
Lagi-lagi mereka mengalami kebuntuan. Kini rasanya benar-benar tidak ada jalan lagi. Hanya tersisa sedikit uang untuk makan seadanya saja. Jelas tidak mungkin jika menggunakan sisa uang itu untuk pengobatan. Berkali-kali- dengan suara lemas dan ringkih- bapaknya meminta untuk dipulangkan saja. Dia sudah putus asa, cukup sudah yang dikorbankan, tidak ada gunanya lagi menghabiskan uang untuk mengobati penyakitnya yang tidak kunjung membaik.
Malam itu Nita tidak bisa tidur. Pikirannya tercekat oleh beban yang berat. Hatinya diselimuti kegundahan. Di kamarnya yang sangat sederhana, ia hanya termangu di atas pembaringannya. Pada sisi yang lain, adiknya sudah terlelap di atas ranjangnya. Saat itu dia berada di rumah bersama adiknya. Sedangkan Ibunya- dengan ditemani familinya- menjaga bapaknya di rumah sakit.
Dengan lesu, dia beranjak dari tempat tidurnya, menuju ruang tamu, lalu merebahkan diri di atas kursi yang kumal. Sementara itu, jauh di luar sana, dari kaca ruang tamu, tampak bulan yang tinggal seiris, seperti perahu nelayan yang terdampar di tepi pantai.
Sesaat kemudian, dengan cepat Nita bangun dari rebahannya. Dia menangkap sebuah ide yang berkelebat dipikirannya. “Ibu benar, pinjam uang,” gumamnya penuh semangat. Mungkin dia bisa menyarankan ibunya, untuk meminjam uang kepada saudara-saudaranya yang ada di Cianjur. Sebab untuk meminjam uang kepada saudara-saudara bapaknya- yang tinggal sedesa- jelas tidak mungkin. Mereka itu tidak akan keberatan jika diminta tolong untuk menjaga di rumah sakit, meski seharian sekalipun. Namun jika dipinjami uang untuk biaya pengobatan, bisa dipastikan mereka hanya menunduk, lalu dengan wajah sedih mereka akan mengatakan tidak bisa membantu untuk urusan yang satu itu. Bukannya saudara-saudara bapaknya itu pelit, melainkan hidup mereka juga susah.
Keesokan harinya, Nita mengutarakan ide itu kepada ibunya. Namun Ibunya ragu, apakah saudara-saudaranya yang ada di Cianjur dapat meminjami uang untuk pengobatan. Sebab keadaan ekonomi mereka juga tidak begitu baik.
“Bagaimana, Bu?” tanya Nita, saat Ibunya sudah berada di rumah, dan untuk sementara bapaknya di jaga oleh famili.
“Ibu tidak yakin, Neng.”
“Tapi apa salahnya dicoba?”
“Mereka bukan orang-orang yang mempunyai uang berlebih,” jawab ibunya ragu, sambil beranjak ke dapur, menuangkan beras ke dalam panci, yang akan dimasaknya untuk sarapan.
Nita mengikutinya dari belakang. “Lalu harus bagaiman, Bu?” ujarnya.
“Entahlah,” jawab ibunya sambil beranjak ke sumur, untuk mencuci beras.
Nita termangu di atas balai bambu, di dalam dapur. Mungkin ibunya benar, bahwa itu bukan ide bagus. Dia paham sepenuhnya bahwa bapak dan ibunya bukan berasal dari keluarga mampu. Ibunya berasal keluarga seorang buruh tani. Sedangkan keluarga bapaknya, hanyalah seorang petani dengan petak sawah yang tidak begitu luas. Petak sawah kecil yang dimiliki bapaknya, adalah warisan dari kakeknya, setelah dibagi-bagi dengan saudara-saudara bapaknya.
“Mungkin tidak ada jalan lain, Neng. Pengobatan Bapakmu sepertinya tidak bisa diteruskan lagi,” ujar Ibunya, saat masuk ke dalam dapur membawa beras yang sudah dicuci.
Nita masih terdiam, pikirannya kalut, tiba-tiba saja dia terisak. “Tidak, Bu. Bapak masih bisa diobati”.
“Sudah tidak ada uang lagi, Neng. Bapakmu harus di bawa pulang dari rumah sakit.”
Senja hari, Nita pergi jalan-jalan ke persawahan, sementara ibu dan adiknya sudah berangkat ke rumah sakit. Seharian penuh dadanya serasa sesak. Kini segalanya benar-benar buntu.
Bias matahari senja, semburat di atas rumput-rumput yang menghampar di petak-petak sawah yang sebagian besar telah ditinggalkan. Petak-petak itu seolah berubah menjadi danau-danau kecil dengan air berwarna keemasan. Nita duduk di atas gundukan tanah yang meninggi. Membiarkan hembusan angin senja membelai-belai rambutnya yang hitam tergerai. Dalam usianya yang menginjak remaja, dia telah menjelma menjadi gadis desa yang cantik, putih, dan tinggi. Namun dalam usianya yang masih ranum itu, keadaan telah memaksanya untuk menjadi lebih dewasa jauh melampaui umurnya. Sebuah beban hidup yang teramat berat, seolah dihempaskan di atas pundaknya yang lemah.
Nita termangu, berpikir, dan membiarkan semilir angin membasuh wajahnya yang putih. Matanya sembab akibat terlalu banyak menangis.
Ribuan capung yang mengambang di udara, yang dulu selalu menghiburnya, saat itu sama sekali tak mampu menenangkan kekalutan hatinya. Besok lusa, jika tidak ada uang tambahan, maka bapaknya harus hengkang dari rumah sakit.
Disapukan pandangannya ke pohon-pohon pisang. Daun-daunnya yang keemasan akibat bias sinar matahari, disapa angin, melambai-lambai bak barisan selendang bidadari yang mengisyaratkan selamat tinggal. Sesaat kemudian dia memejamkan mata, mencoba menenangkan kekalutan hatinya, berusaha berpikir tenang, namun tetap saja sulit.
Kini Nita membuka mata, lalu bangkit dari duduknya, namun tiba-tiba saja gerombolan capung itu berkerumun di atas kepalanya, berputar-putar mengitari tubuhnya. Seperti seorang puteri pada sebuah pesta, capung-capung itu bak pangeran yang berdansa mengelilinginya, berusaha memikat perhatiannya.
Dalam keadaan semacam itu, tiba-tiba saja Nita menemukan ide aneh, yang merayap, membekap serta menguasai pikirannya. Kini pikiran aneh itu seolah menjelma menjadi tangan-tangan kekar para pangeran, memeluknya, lalu merogoh hatinya, memaksanya untuk mengambil keputusan nakal. Keputusan yang mengharuskan sebuah tindakan, yang berlawanan dengan nurani manusia manapaun. Namun dengan cara ini, perawatan bapaknya di rumah sakit bisa dilanjutkan. Dengan demikian, harapan bapaknya untuk sembuh masih ada. Bukankah harapan adalah satu-satunya harta yang paling berharga, saat apapun yang kita miliki telah musnah, dan kesialan menghajar pinggang hingga remuk. Harapan jugalah yang membuat seseorang sesekali dapat bertahan. Kini Nita bergegas pulang, untuk menyusun sebuah rencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H