“Yang penting Bapak sembuh,” jawab Nita, yang senja itu masih mengenakan rok abu-abu sekolah, dan baju seragamnya sudah berganti dengan kaos putih.
Sesaat Ibunya hanya terpaku, tidak menduga bahwa anak gadisnya yang masih kelas dua SMA, sudah mempunyai pikiran sedewasa itu. Perasaan ragu tergambar di mukanya yang mulai menua. Sebagaimana kebanyakan orang tua, dulu dia berharap anaknya bisa mengenyam pendidikan yang labih tinggi, meskipun hanya anak seorang petani. Dengan begitu anaknya bisa hidup lebih baik dibandingkan dirinya, lebih dimanusiakan, dan dihargai orang lain. Tapi toh, dari hari ke hari, nasib seperti gugusan batu terjal yang terhampar di jalan mereka yang menanjak. Dan siap menjungkalkan mereka kapan saja.
“Mungkin kita bisa pinjam uang, Neng. Mungkin sekolahmu bisa dipertahankan,” jawab ibunya setengah putus asa.
“Mau pinjam uang kemana, Bu?” ucap Nita lesu.
Ibunya hanya tertunduk tidak menjawab. Benar juga yang dikatakan puterinya. Sebagian besar penduduk desa hidup susah. Tidak akan ada yang memiliki uang berlebih untuk dipinjami. Kebanyakan mereka telah pergi mengadu nasib di negara tetangga. Sedangkan yang tersisa, susah payah bertahan untuk hidup dengan mencetak batu bata.
“Entahlah,” gumam ibunya lirih.
“Tidak ada jalan lain. Biar sekolah Nita dan Adek berhenti dulu, yang penting Bapak bisa sembuh. Nanti kalau Bapak sembuh, beliau bisa mencari nafkah lagi.”
Dengan berat hati Ibunya pun menyetujui usul itu. Dan itu artinya, Nita yang saat itu masih duduk di bangku kelas dua SMA, serta adiknya yang baru saja masuk SMP, harus berhenti sekolah. Uang yang sudah disisihkan dari penjualan sawah, yang rencanya untuk biaya sekolah selama bapaknya sakit, digunakan juga untuk biaya pengobatan.
Ternyata kesengsaraan tak juga jemu menggoda mereka. Uang tambahan untuk pengobatan itu habis, hanya untuk dua minggu perawatan. Sementara keadaan bapaknya tak juga lebih baik.
Lagi-lagi mereka mengalami kebuntuan. Kini rasanya benar-benar tidak ada jalan lagi. Hanya tersisa sedikit uang untuk makan seadanya saja. Jelas tidak mungkin jika menggunakan sisa uang itu untuk pengobatan. Berkali-kali- dengan suara lemas dan ringkih- bapaknya meminta untuk dipulangkan saja. Dia sudah putus asa, cukup sudah yang dikorbankan, tidak ada gunanya lagi menghabiskan uang untuk mengobati penyakitnya yang tidak kunjung membaik.
Malam itu Nita tidak bisa tidur. Pikirannya tercekat oleh beban yang berat. Hatinya diselimuti kegundahan. Di kamarnya yang sangat sederhana, ia hanya termangu di atas pembaringannya. Pada sisi yang lain, adiknya sudah terlelap di atas ranjangnya. Saat itu dia berada di rumah bersama adiknya. Sedangkan Ibunya- dengan ditemani familinya- menjaga bapaknya di rumah sakit.
Dengan lesu, dia beranjak dari tempat tidurnya, menuju ruang tamu, lalu merebahkan diri di atas kursi yang kumal. Sementara itu, jauh di luar sana, dari kaca ruang tamu, tampak bulan yang tinggal seiris, seperti perahu nelayan yang terdampar di tepi pantai.
Sesaat kemudian, dengan cepat Nita bangun dari rebahannya. Dia menangkap sebuah ide yang berkelebat dipikirannya. “Ibu benar, pinjam uang,” gumamnya penuh semangat. Mungkin dia bisa menyarankan ibunya, untuk meminjam uang kepada saudara-saudaranya yang ada di Cianjur. Sebab untuk meminjam uang kepada saudara-saudara bapaknya- yang tinggal sedesa- jelas tidak mungkin. Mereka itu tidak akan keberatan jika diminta tolong untuk menjaga di rumah sakit, meski seharian sekalipun. Namun jika dipinjami uang untuk biaya pengobatan, bisa dipastikan mereka hanya menunduk, lalu dengan wajah sedih mereka akan mengatakan tidak bisa membantu untuk urusan yang satu itu. Bukannya saudara-saudara bapaknya itu pelit, melainkan hidup mereka juga susah.
Keesokan harinya, Nita mengutarakan ide itu kepada ibunya. Namun Ibunya ragu, apakah saudara-saudaranya yang ada di Cianjur dapat meminjami uang untuk pengobatan. Sebab keadaan ekonomi mereka juga tidak begitu baik.
“Bagaimana, Bu?” tanya Nita, saat Ibunya sudah berada di rumah, dan untuk sementara bapaknya di jaga oleh famili.
“Ibu tidak yakin, Neng.”
“Tapi apa salahnya dicoba?”
“Mereka bukan orang-orang yang mempunyai uang berlebih,” jawab ibunya ragu, sambil beranjak ke dapur, menuangkan beras ke dalam panci, yang akan dimasaknya untuk sarapan.
Nita mengikutinya dari belakang. “Lalu harus bagaiman, Bu?” ujarnya.
“Entahlah,” jawab ibunya sambil beranjak ke sumur, untuk mencuci beras.
Nita termangu di atas balai bambu, di dalam dapur. Mungkin ibunya benar, bahwa itu bukan ide bagus. Dia paham sepenuhnya bahwa bapak dan ibunya bukan berasal dari keluarga mampu. Ibunya berasal keluarga seorang buruh tani. Sedangkan keluarga bapaknya, hanyalah seorang petani dengan petak sawah yang tidak begitu luas. Petak sawah kecil yang dimiliki bapaknya, adalah warisan dari kakeknya, setelah dibagi-bagi dengan saudara-saudara bapaknya.
“Mungkin tidak ada jalan lain, Neng. Pengobatan Bapakmu sepertinya tidak bisa diteruskan lagi,” ujar Ibunya, saat masuk ke dalam dapur membawa beras yang sudah dicuci.
Nita masih terdiam, pikirannya kalut, tiba-tiba saja dia terisak. “Tidak, Bu. Bapak masih bisa diobati”.
“Sudah tidak ada uang lagi, Neng. Bapakmu harus di bawa pulang dari rumah sakit.”
Senja hari, Nita pergi jalan-jalan ke persawahan, sementara ibu dan adiknya sudah berangkat ke rumah sakit. Seharian penuh dadanya serasa sesak. Kini segalanya benar-benar buntu.
Bias matahari senja, semburat di atas rumput-rumput yang menghampar di petak-petak sawah yang sebagian besar telah ditinggalkan. Petak-petak itu seolah berubah menjadi danau-danau kecil dengan air berwarna keemasan. Nita duduk di atas gundukan tanah yang meninggi. Membiarkan hembusan angin senja membelai-belai rambutnya yang hitam tergerai. Dalam usianya yang menginjak remaja, dia telah menjelma menjadi gadis desa yang cantik, putih, dan tinggi. Namun dalam usianya yang masih ranum itu, keadaan telah memaksanya untuk menjadi lebih dewasa jauh melampaui umurnya. Sebuah beban hidup yang teramat berat, seolah dihempaskan di atas pundaknya yang lemah.
Nita termangu, berpikir, dan membiarkan semilir angin membasuh wajahnya yang putih. Matanya sembab akibat terlalu banyak menangis.
Ribuan capung yang mengambang di udara, yang dulu selalu menghiburnya, saat itu sama sekali tak mampu menenangkan kekalutan hatinya. Besok lusa, jika tidak ada uang tambahan, maka bapaknya harus hengkang dari rumah sakit.
Disapukan pandangannya ke pohon-pohon pisang. Daun-daunnya yang keemasan akibat bias sinar matahari, disapa angin, melambai-lambai bak barisan selendang bidadari yang mengisyaratkan selamat tinggal. Sesaat kemudian dia memejamkan mata, mencoba menenangkan kekalutan hatinya, berusaha berpikir tenang, namun tetap saja sulit.
Kini Nita membuka mata, lalu bangkit dari duduknya, namun tiba-tiba saja gerombolan capung itu berkerumun di atas kepalanya, berputar-putar mengitari tubuhnya. Seperti seorang puteri pada sebuah pesta, capung-capung itu bak pangeran yang berdansa mengelilinginya, berusaha memikat perhatiannya.
Dalam keadaan semacam itu, tiba-tiba saja Nita menemukan ide aneh, yang merayap, membekap serta menguasai pikirannya. Kini pikiran aneh itu seolah menjelma menjadi tangan-tangan kekar para pangeran, memeluknya, lalu merogoh hatinya, memaksanya untuk mengambil keputusan nakal. Keputusan yang mengharuskan sebuah tindakan, yang berlawanan dengan nurani manusia manapaun. Namun dengan cara ini, perawatan bapaknya di rumah sakit bisa dilanjutkan. Dengan demikian, harapan bapaknya untuk sembuh masih ada. Bukankah harapan adalah satu-satunya harta yang paling berharga, saat apapun yang kita miliki telah musnah, dan kesialan menghajar pinggang hingga remuk. Harapan jugalah yang membuat seseorang sesekali dapat bertahan. Kini Nita bergegas pulang, untuk menyusun sebuah rencana.