KPU; Prinsip Mandiri Vis a Vis Oligarki Politik
Penyelenggaraan Pemilu dalam setiap tahapan dan praktiknya seringkali dihiasi dengan berbagai persoalan yang semestinya tidak bisa ditolerir. Toleransi pada bentuk-bentuk pelanggaran yang dianggap sepele adalah sebuah kesalahan, yang jika dibiarkan akan terus terjadi dan membesar, sekaligus berdampak pada praktik Pemilu di masa-masa selanjutnya. KPU sebagai salah satu lembaga penyelenggara Pemilu, tak luput dari persoalan tersebut. Adanya dugaan kecurangan, manipulasi, ataupun praktik-praktik lainnya serta perilaku yang tidak mencerminkan prinsip mandiri dari penyelenggaraan Pemilu itu sendiri menjadi salah satu yang harus diberi perhatian.
Pada acara Rapat Konsolidasi Nasional dalam rangka Kesiapan Pelaksanaan Tahapan Pemilu Serentak 2024 yang dihadiri oleh jajaran KPU mulai pusat dan daerah pada Jum’at 02 Desember 2022 lalu, Presiden RI Joko Widodo memberikan arahan dan menekankan sejumlah hal yang harus menjadi perhatian seluruh jajaran KPU. Goal-settingnya adalah bagaimana menciptakan Pemilu yang semakin berkualitas mulai dari proses dan tahapan hingga hasilnya mendapat dukungan yang luas dari masyarakat.
Dari beberapa poin arahan yang Presiden sampaikan, setidaknya ada dua hal yang layak digarisbawahi. Yang pertama adalah Presiden mengingatkan kepada seluruh jajaran KPU bahwa: “Hal teknis penyelenggaran Pemilu berpotensi menjadi hal yang politis. Keributan dan persoalan-persoalan yang timbul di lapangan menuntut penyelesaian secara detail. Maka dibutuhkan peran KPU yang mengedepankan transparansi atau keterbukaan”.
Pada titik ini, KPU harus bekerja sesuai amanat Undang-Undang dengan mengedepankan prinsip independen serta tidak menjadi representasi atas kepentingan siapapun termasuk peserta Pemilu. KPU harus menjaga marwahnya sebagai lembaga penyelenggara Pemilu, menjaga kepercayaan publik. Terlebih di awal tahun 2023 ini yang dianggap sebagai tahun politik, idealnya KPU tidak melakukan hal-hal yang dapat memicu kontroversi seperti mengeluarkan statement yang berpotensi memunculkan opini negatif di mata publik. Sebaliknya, KPU harus senantiasa dan selalu menunjukan komitmen dan integritasnya yang tinggi untuk mensukseskan Pemilu.
Di penghujung tahun 2022 yang lalu, masyarakat Indonesia merasakan sebuah keresahan yang luar biasa terkait dengan adanya statement yang bernada tendensius dari ketua KPU RI Hasyim Asy’ari perihal kemungkinan Pemilu yang akan dilaksanakan melalui sistem Proporsional Tertutup.
Setidaknya statement tersebut mengakibatkan kebingungan pada pemilih dan kegaduhan secara nasional. Bercermin dari kejadian tersebut, perlu kiranya agar semua lembaga penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU secara personal maupun kelembagaan, diharapkan tidak mengulangi polemik yang sama, menjaga tindakan dan ucapan sebagai bentuk implementasi tugas dan kewajibannya yang sesuai dengan Undang-Undang serta menghindari segala sesuatu yang berpotensial memicu perdebatan dan menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Polemik Pemilu Sistem Proporsional Tertutup
Di awal tahun 2023, tepatnya 3 Januari 2023, 8 Fraksi DPR RI menyatakan penolakan atas gugatan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur sistem proporsional terbuka untuk Pemilu. Surat Pernyataan Penolakan yang juga ditandatangani oleh Ketua dan Wakil Ketua Komisi II DPR ini didasarkan pada beberapa hal diantaranya:
Jika MK mengabulkan uji materi dan melakukan revisi terhadap Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 23 Desember 2008, hal ini akan beresiko pada pertumbuhan demokrasi di Indonesia yang akan mengalami degradasi secara nilai dan praktik. Mahkamah Konstitusi diharapkan agar tetap konsisten dengan putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 sebagai wujud ikut serta mengawal dan menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia.
Selain itu, dasar pernyataan penolakan selanjutnya adalah berpijak pada fakta bahwa sistem proporsional tertutup dalam Pemilu itu cenderung disenangi oleh partai politik yang memiliki tradisi otoriter. Pengalaman pelaksanaan Pemilu sepanjang masa orde lama dan orde baru menjadi cerminan bahwa sistem proporsional tertutup ini dinilai memiliki beberapa efek negatif, salah satunya menciptakan oligarki dalam partai yang berimplikasi pada kian terkikisnya nilai-nilai demokrasi, melahirkan politisi yang cenderung mengakar ke atas serta tertutupnya potensi kompetisi sesama kader partai politik.