Saya memang terpancing untuk menjelaskan kembali maksud  pertanyaan Pak X. Menariknya, setiap ada kata 'dana', Pak Y berbinar mata berusaha menatap mata saya. "Money", katanya.
Akhirnya, rasa penasaran ingin tahu terbangun. Saya pun bertanya, "Mengapa dana seperti ini kok malahan dibagi-bagi di Indonesia? Memangnya di negara Anda tidak ada yang membutuhkannya?"
Gelagat Tidak Beres
Waktu itu ada sesuatu 'ngeklik' tak masuk akal menyirat. Mengapa pembicaraan saya yang menyarankan agar Pak Y datang ke kantor gubernur (Gedung Sate) selalu dialihkan?
Logikanya, seharusnya di pusat pemerintahan itu, pasti ada informasi sahih terkait dunia pertanian. Dengan demikian, money CSR yang milyaran itu pasti akan mudah disalurkan.
Saya mulai menyadari peran Pak X saat itu. Ia bertugas sebagai pemotong dan pengarah pembicaraan. Sangat kentara dari perulangan pertanyaan yang ia ajukan.
Sedangkan Pak Y berperan sebagai orang yang memengaruhi dan meyakinkan saya. Saya menyimpulkannya dari permintaannya yang berulang kali agar saya menjelaskan maksud pertanyaan Pak X. Â Berbinar mata ia terus berusaha menatap saya, "Money", ujarnya, mengganti istilah dana.
"Untuk per dua puluh orang petani, CSR yang dibagikan  sebesar lima puluh juta rupiah PakCik." Demikian ia menyakinkan saya.
Keganjilan tambah tersurat ketika Pak Y menunjukkan kartu ATM biru dari salah satu bank nasional. Bahkan ia menyebutkan nominal money CSR yang sudah tersimpan di kartu ATM tersebut. Nilai yang sangat besar untuk ukuran seorang pengajar seperti saya. Padahal kami kan baru bertemu kurang dari tiga puluh menitan di tengah pertigaan jalan pula!
Keganjilan akhirnya sempurna ketika Pak Y menanyakan apakah saya punya kartu ATM yang sama dengannya atau tidak.
Sadar ada yang tidak beres, saya 'kekeuh' berkehendak menuju ke GASIBU tanpa basa-basi lagi. Setelah pamit, saya meninggalkan mereka berdua begitu saja.