Perlahan, mobil mulai melorot mundur. Menginjak pedal-rem yang dikombinasikan dengan tarikan handle-rem perlahan, itulah yang saya lakukan saat itu. Secara refleks, stir saya pertahankan lurus, agar mobil tidak berguling.
Syukurlah beberapa detik kemudian, mobil terhenti setelah roda belakang sebelah kiri masuk ke parit yang tidak terlalu dalam.
Sejenak terdengar suara kepanikan istri mengajak anak-anak kami keluar mobil berbaur dengan suara gerimis. Gelap pekat di kanan-kiri menyembunyikan belantara dari pandangan kami. Sementara terang benderang lampu Xenia menyorot tanjakan yang menjulang.
Tak berselang lama, sebuah mobil bak terbuka terlihat di ujung atas sedang menuruni tanjakan. Saat berpapasan, sempat saya melihat sejumlah ibu-ibu bersama aneka barang dagangan berdiri di bak belakang, tegar melawan rintik hujan. Mungkin sekitar jam tigaan pagi.
"Pakai persneling satu saja terus, jangan diubah-ubah. Itu kan nanti masih belok-belok, Pak, masih nanjak lagi lebih tinggi lagi." Kira-kira seperti itulah teriakan sang sopir sambil tertawa. Kelihatannya ia sangat paham medan dan tahu permasalahan yang saya hadapi.
"Hatur nuhun, Pak," balasku.
Â
Pengalaman pertama, 'Muncak' Melampaui Awan
Xenia kami mulai meraung-raung bersemangat kembali, memecah kesunyian hutan yang rapat dengan aneka pepohonannya. Pelan tapi pasti, ia menaiki tanjakan demi tanjakan dengan level kemiringan yang belum pernah saya temui selama berlatih mandiri.
Menjelang subuh, Xenia masih mendaki. Syukurlah tak lama dari itu, jalan mulai mendatar. Artinya kami telah sampai di titik tertinggi jalan yang bisa dilalui kendaraan. Mobil saya hentikan dengan mesin dalam keadaan hidup.