Tulisan ini merupakan buah pengalaman tiga minggu kebelakang, dimana saya mendampingi warga-komunitas yang tengah menyiapkan koor Hari Raya Natal.
Awalnya pesimis mengumpulkan para beliau, apakah mau atau tidak berlatih bernyanyi di situasi pandemi seperti ini. Ternyata saya salah. Dengan antusias, para beliau berkenan hadir berlatih. Dari hanya bertujuh, sekarang menjadi bertujuh belas. Bahkan mungkin akan lebih banyak seandainya tidak ada pembatasan protokol kesehatan.
Bersama ibu - bapak yang sudah 'sepuh', lantunan sopran, alto, tennor, bass dipadukan, menggemakan lagu syukur dan pujian.
Mendadak Melatih Koor
Sebenarnya agak tidak masuk di akal, ketika para 'senior' mendapuk saya untuk melatih mereka.
"Ini teh ndak salah?"jawab saya waktu itu.
"Nggak lah, kalau Mas yang melatih, 'kan mau tidak mau pasti akan ikut koor lingkungan to?" Begitulah jawaban subjektif yang saya reka - reka sendiri.
Para beliau tertawa mengiyakan.
"Saya itu hanya bisa menyanyi, Ibu-Bapak. Membaca partitur pun, hanya untuk saya sendiri. Kalau diminta melatih nanti kacau loh."
Sebenarnya, semua penyanyi gereja bisa solmisasi, minimal baca not angka. Agak sedikit naik level, biasanya penyanyi gereja yang berpengalaman sudah mahir baca partitur lagu utuh berikut metronome-nya. Naik level lagi, mereka fasih menterjemahkan simbol-simbol yang merepresentasikan dinamika dan 'jiwa' lagu.