Kesungguhan beliau untuk membimbingku terlihat ketika kami membeli tanah liat untuk latihan membuat patung. Kami berboncengan ke Ngethuk, dusun yang terkenal dengan kerajinan gentengnya di Kudus.
Patung kerbau dari tanah liat yang kami buat, akhirnya terpilih yang terbaik. Aku menang dan senang. Terinspirasi dengan kemenangan itu, aku berlatih dan terus berlatih membuat patung di rumah.
Persiapan lomba tingkat kabupaten dan propinsi, kami berkolaborasi membuat patung dengan media semen yang lebih kuat. Dengan sabar dan detail, beliau mengajariku membuat rangka patung.
Rangka pada patung semen adalah unsur penting yang menjamin bentuk dan kekokohan sebuah patung. Rangka yang bagus akan membentuk patung yang bagus.
Pada saat detailing patung, kami sempat berdebat menentukan jumlah puting kerbau betina. Setahuku ada empat karena beberapa kali mbeling menunggang kerbau.
Untuk membuktikan kebenarannya, kami pergi ke sawah belakang sekolah. "Kalau kambing benar dua Pak, tapi kalau kerbau ada empat", demikian jawabanku. Merunduk - runduk kami menghitung. Aku benar, puting kerbau ada empat.
Yang kuingat, sore beruntun kurang lebih seminggu, aku bersama beliau berkolaborasi membuat patung ibu kerbau, anak kerbau, dan penunggang yang sedang membaca buku.
Beliau mengajariku berstrategi mengambil judul patung tersebut. Penggembala naik kerbau sambil belajar. Pas banget dengan program wajib belajar yang dicanangkan Bapak Pembangunan kita, Presiden Soeharto kala itu.
(Tapi sebenarnya belajar di atas punuk kerbau ndak enak blas. Saya pernah mencoba)
Di tingkat propinsi Jawa Tengah, patung tersebut mendapatkan nilai terbaik. Aku juara pertama.
Sampailah pada lomba porseni SD tingkat nasional di Jakarta. Aku harus mempraktekkan membuat patung, tanpa bantuan beliau!. Mulai dari membuat rangka patung, menyemen, mengaci, dan mencampur cat untuk menampilkan bulu - bulu kerbau, semua harus kuselesaikan dalam 6 hari.