Start dari rest area, yang kala itu berjubel - liburan Natal, mobil saya kemudikan menuju Semarang melewati jalan tol yang tiga hari sebelumnya telah kami lewati.Â
Dalam kondisi letih dan malam yang cukup gelap, saya mengendalikan mobil dengan kelajuan rata - rata 70 km/jam. Seingat saya, sebelum memasuki daerah Solo, ada ruas panjang jalan tol (Ngawi - Solo (?)) yang cukup lurus dan terbuka. Kelajuan mobil saya naikkan hingga sedikit di bawah 100 km/jam. Mobil dalam posisi terkendali lurus.Â
Tetapi, tepatnya di kilometer kesekian, saya merasa mobil berbelok dari jalur kiri ke jalur sebelah kanannya secara mendadak. Saat itu kantuk saya sudah lewat dan sadar bahwa setir sedang dipertahankan agar mobil bergerak lurus.Â
Mungkin sekitar dua atau tiga kilometer kondisi tersebut terjadi lagi sampai istri terbangun karena merasa mobil digerakkan paksa untuk bergeser lintas jalur.Â
Nalar saya mengarahkan pada jawaban bahwa anginlah sebagai penyebab mobil berbelok mendadak. Efek ini akan terasa saat mobil bergerak dengan kecepatan tinggi. Apalagi untuk mobil kecil yang kami miliki.
Mensintesa pengalaman di jalan tol
Dari beberapa pengalaman langsung di jalan tol, izinkan saya membagikan sejumlah kesimpulan.
Yang pertama adalah fakta bahwa pengemudi di jalan tol memiliki tingkat kemahiran yang berbeda - beda. Jam mengendarai mobil dan model jalan raya yang dihadapi belum tentu sama. Dengan demikian, saling menghormati antar pengendara sebaiknya dinomor-satukan.
Yang kedua adalah fakta bahwa kondisi emosional pengemudi di jalan tol berbeda - beda. Ada yang gemar memacu kendaraannya sampai melebihi kemampuan optimal mobil, ada yang berniat sampai di tujuan dalam target waktu tertentu, ada yang ingin menikmati perjalanan tanpa penetapan target waktu untuk tiba di tujuan dengan 'sak-klek'. Untuk itu, pilihan jalur melaju sesuai dengan laju rata - rata mobil kita adalah penting dan bijak.
Patut disadari, emosi di jalan raya mudah memuncak karena klakson, jalur laju mobil kita tiba - tiba dipotong mobil lain, permainan lampu jarak jauh, termasuk mendekatkan moncong mobil ke bagian belakang mobil lain. Jika kita terprovokasi dengan arogansi tersebut, sebenarnya kita sedang membahayakan diri sendiri.
Yang ketiga adalah melajukan kendaraan sambil cermat memperhatikan kondisi jalan yang dilalui. Semakin cepat kita melajukan mobil, harus diimbangi dengan respon terhadap kondisi jalan yang tinggi. Namun jika kita letih dan tidak berkonsentrasi, kesigapan kita bisa jadi berkurang. Bahkan kadang muncul dorongan emosional 'hajar saja' dengan tancap gas. Jumping seperti dalam pengalaman penulis berkemungkinan besar terjadi.