Mohon tunggu...
Antonius Hananta Danurdara
Antonius Hananta Danurdara Mohon Tunggu... Guru - Sedang Belajar Menulis

Antonius Hananta Danurdara, Kelahiran Kudus 1972. Pengajar Fisika di SMA Trinitas Bandung. Alumni USD. Menulis untuk mensyukuri kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Mistis: Diikuti

2 November 2021   10:39 Diperbarui: 2 November 2021   21:23 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi (sumber: pribadi)

Kejadian yang penulis ceritakan ini sudah berlangsung lama, bahkan tahun tepatnya tak lagi teringat. Mungkin sekitar November 2009.

Sebagai pengajar di sekolah kristiani, di bulan - bulan tertentu, penulis bersama rekan - rekan yang lain sering ditugaskan pimpinan sekolah untuk mendampingi kegiatan siswa yang dipusatkan di rumah retret kawasan Gambung. Biasanya kami dijadwalkan pada sore hingga tengah malam karena pagi hari, kami harus mengajar. Dengan satu atau dua mobil rental, kami diantar pergi ke rumah retret, begitu pula dengan pulangnya.

Beberapa guru muda seringkali memilih berangkat menggunakan motor pribadi. Biasanya kami berbarengan berangkat, namun ada juga yang berangkat sendiri. Ketika pulang, kami berangkat beriringan dengan mobil rental. Faktor keamananlah yang menjadi alasan utama. Karena ketika pulang dari rumah retret, biasanya sudah dini hari. Jalan yang kami lalui relatif sepi.

Di hari kejadian, penulis berencana berangkat ke Gambung sendirian, toh jarak tempuhnya sekitar 30-an km. Selesai mengajar bimbingan belajar, penulis pulang ke rumah untuk mandi dan makan sore. Setelah berpamitan dengan istri, penulis berangkat menuju rumah retret Gambung sekitar pukul 19-an.

Badan merinding ketika melewati pohon besar

Raungan motor tua penulis berpadu dengan suara kendaraan lainnya seolah - olah menjadi orkestra, menggetarkan jiwa muda memacu kuda besi dibatas kemampuannya. Banyak pengendara yang melintasi jalan terusan Kopo - Katapang - Soreang. Namun setelah meninggalkan pasar Soreang menuju ke arah Ciwidey, teman sejalan mulai berkurang. Jalan mulai menanjak dengan tikungan yang hening - dingin. Saat itu penulis mulai merasakan ada yang berbeda.

Sebenarnya bukan sesekali penulis melewati jalan Soreang - Ciwidey. Setelah jembatan kereta api kuno, beberapa ratus meter, kita akan menemukan sebuah pohon besar. Biasanya pohon ini tidak menjadi fokus perhatian penulis, tapi entah mengapa malam itu pohon tersebut menjadi fokus perhatian. Tiba - tiba saat menjelang melewati pohon tersebut, badan gemetar - merinding hebat tanpa jelas sebabnya. Apalagi motor yang di-gas, tidak mampu berlari di tanjakan.

Laju motor tua yang pelan ternyata sangat mendukung kenikmatan sensasi merinding. Motor itu pun dengan setia mendengarkan penulis mengumpat "uasssemmm" beberapa kali.

Menjadi Pendamping kegiatan siswa

Lepas dari medan mistis pohon tersebut, penulis tertawa dan kembali hening berdoa Bapa kami dan Salam Maria. Sebenarnya perjalanan malam menuju Gambung dari belokan jalan raya Soreang - Ciwidey juga gelap dan hening. Dua - tiga kali penulis melewati tempat peristirahatan orang meninggal dan sensor kemerindingan hanya menangkap sinyal - sinyal astral dengan intensitas rendah.

Penulis tiba di rumah retret sekitar pk. 20-an malam. Hari itu kami bertugas menjadi pelayan dinner, pengawas kegiatan ballroom merangkap relawan dance dan polonaise di akhir acara. Rangkaian kegiatan gembira ini dipuncaki dengan acara api unggun.

Dilema pulang ke rumah

Beberapa teman guru yang mengendarai motor mulai berangkat pulang duluan usai acara polonaise. Penulis masih larut dalam kegembiraan para murid di acara api unggun. Di tengah acara, sebagian besar guru pendamping pulang dengan mobil rental dan tersisa lima pendamping, dua guru koordinator, dua guru pengisi materi untuk esok hari dan penulis. Beliau - beliau menyarankan agar saya menginap saja dan pulang di saat subuh esok hari.

Setelah acara selesai dan para murid tidur, kami sejenak melakukan penjagaan. Setelah semua dirasa purna, kami kembali ke wisma untuk beristirahat. Waktu itu Gambung sangat dingin, suhunya berkisar sepuluh derajat celsius. Tidur dengan persiapan seadanya bukan keputusan yang tepat. Akhirnya penulis memutuskan untuk tidak jadi menginap. Penulis meninggalkan rumah retret sekitar pukul satu dini hari.

Merasa diikuti lelembut "Kain Hitam Terbang"

Ramalan teman - teman saat melepas penulis pulang ternyata benar, begitu keluar dari rumah retret, penulis hanya sendirian di jalan. Perjalanan pulang menyusur balik jalan Ciwidey - Soreang akhirnya sampai di jalan berkelok - kelok. Penulis sadar, sebentar lagi akan sampai di medan mistis pohon besar itu kembali. Kali ini, pohon itu akan ada di sebelah kiri dan sangat dekat. 

Sensor kemerindingan mulai menangkap sinyal - sinyal astral dengan intensitas tinggi. Motor sengaja dilambatkan menunggu kalau - kalau ada pengendara lain yang bisa diikuti beriringan. Mungkin ruang dan waktu kala itu hanya mendukung kesendirian saat melewati pohon dan mengkonstruksi ketakutan di pikiran. 

Dinamika kemerindingan mulai menimbulkan simpangan maksimum. Aduh cilaka, ada banyak yang mengikuti, pikir penulis kala itu. Beberapa puluh energi astral terasa mengikuti dari sebelah kiri, sebelah kanan, bergerak dari atas. Berkelebat seperti kain kain hitam yang berterbangan mengejar penulis. 

Mungkin eksistensi energi ini ingin mem-bully, membuat penulis semakin tercekam ketakutan.  Apakah ini gara - gara umpatan penulis di awal berangkat tadi ? ketidakpekaan untuk mengucap salam ? Ataukah doa yang telah dipanjatkan hanya seperti mantra, yang pas kebetulan tidak mujarab ?.

Motor yang saat itu menuruni tanjakan, seharusnya melaju kencang. Dalam ketakutan yang tidak jelas ini, akhirnya penulis memberanikan diri melambatkan laju motor dan memberanikan diri menoleh ke belakang. Sosok - sosok seperti kain hitam yang berterbangan itu ternyata tidak ada, yang mengejar - ngejar juga tidak ada. Pohon itu, yang kini nampak dari kejauhan, terlihat tenang, tegar, dan kokoh. 

Pohon itu masih sendiri, mungkin untuk kesekian ratus tahun merasakan malam dan ia tidak gentar. Mungkinkah karena pohon besar itu telah menerima kehadiran para penghuni, menjamu tamu-tamunya, kasat atau tidak kasat mata, yang masuk - keluar pada batang pokok sampai ke ranting - rantingnya dengan kepasrahan.

Mengunjungi pohon di pagi hari

Desember 2018, setelah 9 tahun kemudian, penulis bersepeda ke arah Ciwidey. Berangkat dari jalan Sadang sekitar pukul 6 pagi. Melewati terusan Kopo, Katapang, Soreang menuju ke Ciwedey. 

Jalan tersebut menyajikan tanjakan menantang yang masuk akal untuk dilalui para pesepeda. Jadi tidak heran, jika banyak pesepeda menjadikan rute Soreang - Ciwidey sebagai rute favorit. Setelah melewati pasar Soreang, melewati tanjakan yang menikung, penulis bertemu dengan pohon tersebut. 

Ada perubahan kecil di sekitarnya, terlihat agak jauh dari pohon tersebut, terpasang lampu penerangan jalan. Beberapa rumah penduduk juga sudah dibangun. Pagi itu untuk pertama kali penulis berhenti di pohon tersebut, menyentuhkan tangan, menepuk - nepuk batang sambil mengenang ketakutan tak jelas, dini hari, sendiri.

Tuhan itu benar ada. Bila kita menyakininya, maka Tuhan akan selalu menyertai kita. Ketika kita berbicara dengan-Nya, Tuhan pasti mendengar. Merenungkan kejadian 9 tahun silam, penulis sadar bahwa Tuhan mendengar dan menyertai dalam wujud kepasrahan dan keberanian untuk melambatkan motor dan mengambil keputusan menoleh ke belakang, melihat pohon tersebut.

Mungkin sekarang pohon itulah yang berganti ketakutan. Dalam ketuaannya, mungkin pohon itu was - was jika ditumbang-paksakan. Akan kemana para penghuniku, akan kemana para tamuku nanti ? Bagaimana bila mereka terusik ? Akankah tetap tinggal di usuk, reng, kusen, atau pintu yang dibuat dari tubuhku ? 

Bandung, 2 November 2021

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun