Mohon tunggu...
Ahmad Ainun Naim
Ahmad Ainun Naim Mohon Tunggu... -

Pencari kutub-kutub, alumni Alternative University of MPO-Jogja Barat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Proyek X [Mimpi Perjalanan2]

21 April 2012   04:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:20 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Untuk apa? Kehadiran cantikmu sudah cukup buatku. Terserah apa kata pedagang! Aku tetap mengagumi kecantikanmu,""Keyakinan konyol!!"

"Aih, justru kau yang tampak konyol, kekasihku? Kau habiskan waktumu untuk hal yang tak bisa kau pahami sepenuhnya. Kau melewatkan keindahan-keindahan yang bisa kau akrabi di setiap inchi keberadaanmu. Setidaknya, jika kau tetap ingin kritis, kau tak boleh menyia-nyiakan kenyataan dengan tak mengakrabinya."  "Mungkin....yah, bisa saja..aku akan bertemu Odin," Kekasih Is hanya menghela napas. Dan, Is pun segera bergegas.
Setelah melewati pertigaan kecil di ujung desa, belok kiri, menyeberang sungai kecil berbatu, menyibak beberapa ranting yang menggelantung di jalan setapak, menuruni jalan tiga perempat ladang jagung, sampailah Is di gubug tak berdinding. Seseorang berpakaian sama seperti semua pemuda di desa tampak menepuk-nepuk kedua kakinya dengan ranting kecil secara bergantian: kiri lalu kanan, kanan lalu yang kiri.

Mungkin, kakinya kelelahan setelah berjalan jauh, pikir Is. Mata pemuda ini menatap tajam ke kerumunan semak-semak di depannya. Ya, dialah Odin. Entah dari mana kata itu berasal. Orang-orang desa mengenalnya setelah wabah kematian yang menyerang desa mereka, sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu kematian mengunjungi desa tiap tiga menit. Pada saat wabah berhenti, orang-orang desa menemukan Odin duduk telanjang di atas salah satu kuburan terakhir yang dibuat orang desa.

Sejak saat itu, Odin menjadi tempat bertanya hal-hal yang bertentangan. Jika orang-orang desa ingin mendengar yang tidak sepantasnya didengar, melihat yang tak semestinya diihat, melakukan yang belum pernah dilakukan, maka orang-orang desa bisa belajar kepada Odin. Itulah mengapa Is terobsesi untuk berguru kepada Odin untuk memeriksa hal-hal yang ia anggap tak seharusnya terjadi -termasuk tentang kecantikannya. Tetapi, proyek penolakannya tak disetujui Odin. Is hanya diperbolehkan untuk mencobanya secara tak serius. Tentu saja, Is menolak. Kini, Is bahkan tak tahu apa yang harus ia bicarakan dengan Odin. Mereka berdua masih duduk di gubug tak berdinding -membiarkan angin hutan menerpa lamunan mereka.

"Tentu saja kau memang cantik. Apalagi yang kau harapkan?," tanya Odin tiba-tiba setelah beberapa kali mengucapkan kalimat yang sama tersebut berulang kali di masa lalu.  "Tapi, para pedagang itu mengucapkan hal yang sebaliknya!," timpal Is.

"Apa yang mereka tahu tentang kecantikan dirimu?," sahut Odin cepat-cepat.  "Yang aku tahu, orang-orang desa tak punya dasar yang meyakinkan untuk memuja kecantikanku!"  "Untuk apa dasar itu?"

"Setidaknya mereka punya sesuatu yang meyakinkanku!"  "Apa kekasihmu tak cukup meyakinkanmu?"  "Apa? Dia? Dia itu buta! Apa yang bisa kau pahami dari keyakinan orang buta sejak lahir! Apa kau coba mengatakan bahwa penglihatan batinnya lebih tajam dari mata kepala? Tidak! Itu klise!"

"Tidak! Kecantikanmu tidak klise!"  "Owh, sejak kapan kau mulai seperti orang-orang desa itu!" Odin, tentu saja, terhenyak oleh tuduhan Is. Ia sama sekali tak menyangka akan mendapat tuduhan serius ini. Baginya, tuduhan itu sangat menyakitkan. Sebab, seumur hidup ia mencari jalan setapak yang tak pernah dilalui orang-orang desa. Ia mempunyai jalannya sendiri. Ia tak pernah menyangka bahwa ia akan disamakan dengan orang-orang desa.

Waktu diam beberapa lama. Setelah beberapa jangkrik hutan menyeringai, ia mengaku: "Ya..setidaknya, beberapa kali, sepertinya, aku memimpikan berciuman dengan dirimu!" Odin menghirup napas udara hutan dalam-dalam, berharap Is akan melunakkan tuduhannya. Tetapi, tampaknya hal yang sebaliknya justru terjadi.

"Oiya? Wow! Odin? Kaukah itu?"  Is mulai bertingkah -mungkin ia girang. Is meliukkan tubuhnya sambil berjalan setengah putaran untuk menggoda Odin. Sembari mengulum senyum, Is mendekatkan dua jarinya ke kedua bibirnya layaknya mengulum sebatang rokok yang menyala dan kemudian seolah menghembuskan asap rokok ke wajah Odin.  "Sumpah! Demi Dewan Tinggi Langit, apa kau menggodaku?," suara Odin meninggi.

"Ow, jadi, kau sekarang menuduhku menggodamu? Bukankah kau justru mengatakan sesuatu yang bisa disebut godaan kepadaku?," Is justru balik menyerang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun