Sampai suatu saat, di pagi hari, tepat 1238 hari yang lalu, atau 1 hari setelah tiga setengah tahun yang lalu menurut perhitungan kalender bulan, keadaan menjadi tak terkontrol. Is muak dengan segala atribut yang disematkan orang-orang kepadanya: rupawan, aduhai, cantik, lemah lembut, bahkan keibuan, atau malah bidadari yang menenggelamkan segala kahyangan.
Ia hanya ingin menjadi perempuan sahaja, atau malah: perempuan saja -tanpa fonem "ha" di antara kata saja. Titik. Bagaimana mungkin, orang-orang membingkai konsep-konsep kehidupan yang harus ia jalani. Toh, dia sendiri yang akan menjalani kehidupannya -bukan orang-orang. Mengapa ia harus mencari kekasih yang tampan? Ia juga menolak harus tampil wangi setiap pagi ketika orang-orang desa sudah mulai pergi ke pasar melewati jalan setapak di depan rumahnya. Beberapa hal itu membuatnya: kacau!!
Tentu, penolakan yang ia lakukan, toh, tak segampang yang ia pikirkan. Ia harus mencari cara agar apa-apa yang ia lakukan nantinya menjadi logis di mata orang-orang desa. Untuk itu, ia berguru kepada Odin. Semua orang di desa tahu: Odin bukanlah pemuda yang pantas dijadikan teman, apalagi oleh seorang bidadari semacam Is. Odin selalu meracau, menyeringai, sinis, mulutnya penuh ludah-ludah yang tak akan habis-habisnya ia muntahkan untuk menenggelamkan segala suasana menjadi memuakkan.
Hari berganti, dan bulan sudah mulai melingkar penuh. Risalah Thusl yang tersimpan rapi di perpustakaan desa mengatakan bahwa musim hujan akan datang bersama dengan para pedagang dari negeri-negeri yang jauh. Para pedagang ini, justru menawarkan dirinya untuk membeli persediaan bahan makanan kami. Seolah, mereka ingin mengatakan: uang lebih berharga dari pada biji-bijian kami.
Nah, kepada pedagang-pedagang ini, Is akan menguji proyek penolakannya: bahwa ia perempuan saja, tanpa embel-embel bidadari yang menenggelamkan semua kahyangan. Tepat ketika pedagang-pedagang itu datang ke desa, seperti yang diramalkan risalah Thusl, hujan datang bertubi-tubi. Saat hujan bersembunyi di dedaunan hutan desa, Is menghampiri salah seorang dari pedagang-pedagang itu. Ia bertanya dan mencoba mengkonfirmasikan keadaan dirinya dengan sebuah pertanyaan sederhana: bukankah aku perempuan buruk rupa? Tentu saja, Is mengharapkan jawaban yang jujur dari pedagang tersebut.
Dalam pikirannya, segera setelah pedagang itu menjawab, ia akan mematahkan jawaban jujur pedagang tersebut dengan logika-logika aneh yang sudah ia pelajari bersama Odin -lengkap dengan mimik khas seorang perempuan tak cantik. Ia juga tak akan mau, bila pedagang tersebut, mencoba menenangkan dirinya dengan kata-kata bijaksana sebagaimana yang ia dengar dari orang-orang desa.
Tapi, setelah beberapa dedaunan melayang jatuh di sela-sela tanah di antara mereka berdua, pedagang itu tak jua memberikan jawabannya. Is baru saja akan melakukan rencana cadangan bila pedagang ini tak mau diajak bekerja sama, tapi pedagang itu segera berkata: bukankah kau memang buruk rupa? Mengapa kau menanyakan hal yang sudah kau ketahui? Tentu saja kau perempuan buruk rupa! Apa yang kau harapkan dari pertanyaanmu? Kau ini perempuan aneh!
Jelas, jawaban pedagang itu di luar prediksi Is -sama sekali. Jadi, Is tak tahu harus melakukan apa. Semua rencana yang ia susun dimulai dari asumsi dasar yang sudah diruntuhkan oleh jawaban pedagang tersebut. Is benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bahkan, hanya untuk mengkonfirmasi jawaban pedagang tersebut dengan kalimat: benarkah?, Is tetap tidak sanggup. Is terlanjur tenggelam dalam kekecewaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Musimhujan tak lagi bersembunyi di dedaunan hutan desa. Payung-payung dilipat baik-baik sebagaimana sebelumnya. Hujan benar-benar telah pergi bersama dengan kepergian pedagang-pedagang itu. Risalah Zart di bawah judul bab Kenangan, tanda ke-111, mencatat beberapa kejadian penting setelah Is bergaul dengan Odin dan berbincang kepada pedagang-pedagang yang meninggalkan desa. Rupanya kekecewaan telah benar-benar merenggut ingatan Is -betapapun ia masih dipuja-puji orang-orang desa sebagai bidadari. Tapi, ketika ia mendapatkan hal yang sebaliknya -yang selalu ia idamkan -- dari para pedagang, justru ia tidak sanggup.
"Kau terlalu sibuk memikirkan kenyataan, kekasihku..," lelaki buta kekasih Is menyergah kemurungan Is. "Apa aku sudah berubah?," tanya Is kepada kekasihnya. "Kau dulu sering tertawa ceria, dan kini....," kekasih Is menjawab sekenanya.
"Ya, aku dulu melakukannya..,"  "Tapi, kau tetap bidadari kekasihku..," kekasih Is mencoba meyakinkan kesetiaannya di hadapan Is. "Kau buta sejak lahir. Apa yang kau ketahui tentang kecantikanku!!"
"Tapi, orang-orang desa mengatakan kebenaran itu -setidaknya kebenaran itu kenyataan yang mereka yakini"Â "Apa yang bisa kau ceritakan kepadaku tentang keyakinan dari sebuah kebenaran, ataupun kenyataan menurut ungkapanmu! Nyatanya, pedagang-pedagang itu mengatakan hal yang sebaliknya tentang diriku: aku buruk rupa!!"
"Kau terlalu sibuk memikirkan kenyataan, kekasihku...kau terlalu sibuk..."Â "Justru kau yang tidak menyempatkan diri untuk memeriksa keyakinanmu!!"