Hari-hari saya di rumah mertua terasa sangat monoton. Nyusui setiap waktu setiap saat. Entah kenapa anak-anak saya nggak bisa tidur agak lama. Sering saya mikir, bukankah bayi seusia itu lebih banyak tidurnya, kenapa anak-anak saya tidak.Â
Hingga suatu hari saat aqiqoh, saya coba bangunkan Marwa untuk menyusu. Tapi nggak bangun-bangun. Mau digoyang-goyang, digelitik-gelitik seluruh badannya nggak bangun.Â
Akhirnya bapaknya pakai cara pamungkas, buka bajunya sekalian buka baju Marwa dan mulai skin to skin seperti perawatan KMC. Harapannya kan nanti terasa panas, Marwa bisa bangun. Benar saja Marwa memang bangun, tapi lemes, nangis nya hanya merengek, tidak keras seperti biasanya.Â
Saya langsung galau, sudah beneran nggak bisa mikir, begitu pula suami saya. Kami berdua dokter umum tapi bener-bener nggak bisa mikir di saat seperti ini. Saya tanya pendapat adik ipar saya yang juga dokter, dia juga nggak berani memberi pendapat. Pikiran saya saat itu sangat kacau, takut kalau hipoglikemia, dehidrasi, atau yang lain yang membuat kesadaran menurun dan berdampak fatal pada otak di kemudian hari.
Singkat cerita akhirnya kami bawa ke RS X, tempat biasa mertua cek kesehatan. Pertimbangannya selain Sardjto, cuma RS X yang ada dokter anak standby malamnya. Kalau periksa sama-sama dokter umum ya buat apa, wong saya, suami, dan adik ipar kan dokter umum juga.Â
Sesampai di X dan masuk IGD ekspektasi saya langsung turun drastis. Perawatnya yang dinas malam saat itu sangat nggak kompeten kerja di IGD menurut saya. Marwa ditimbang lengkap dengan baju, kaos kaki, dan pampers nya. Batinku: "Apa-apaan ini, timbangan ming nggo pantes-pantes wae. Jelas nggak valid lah."
Belum selesai di situ, mas perawat itu ngambil alat saturasi oksigen dan bilang, "Saturasi oksigen adiknya bagus, Bu. Ini 98% normal."
Saya diem saja, malas protes. Batinku, "Anakku kan ora seseg, apa urgensi nya dicek SpO2. Hadeehh perawat kemeng. Mas Tri, mas Wawan, mas Agung yg paling junior di tempat kerjaku wae kemampuanya jaih di atas dia."
Tapi biarlah, yang penting anak saya bisa diperiksa dokter spesialis anak. Saat diperiksa spesialis anak, Marwa bangun dan respons sperti nggak ada apa-apa. Dokter spesialis anaknya cuma bilang, "Lha ini anaknya aja nggak apa-apa. Terus diperiksain untuk apa? Menyusunya bagus kan? Tinggal disusuin sesering mungkin."
"Iya, dokter. Ini juga saya susuin per 3 jam sekali, saya bangunkan soalnya kan pke sendok jadi kalau nggak dibangunkan takut aspirasi." (sengaja saya gunakan diksi yang berbau medis, aspirasi itu bahasa lain tersedak). Tapi tadi dibangunkan susah sekali, saya takut kalau hipoglikemia. Tapi alhamdulillah kalau sekarang nggak apa-apa."
"Lho ngapain pakai sendok? Kan bisa pakai dot, lebih praktis. Kalau pakai sendok kan banyak tumpahnya."
"Maaf dokter, saya khawatir bingung puting kalau pakai dot. Takut nggak mau nenen langsung lagi."
"Nggak apa-apa pakai dot. Kan sekarang banyak to dot yang bentuknya kayak nipple ibu."
Saya hanya mengiyakan, tidak memperpanjang debat. Walaupun saya tetep kekeuh dengan prinsip saya berdasarkan ilmu yang sudah saya pelajari. Faktor risiko bingung puting salah satunya adalah dot.Â
Faktor risiko itu bisa terjadi bisa nggak, dan saya memilih untuk meminimalisir. Dan saya memilih tidak berdebat karena saya merasa tidak etis jika mendebat dalam koridor dokter vs pasien.Â
Saya ajukan argumen klo dokter nya tetep nggak terima argumen saya yasudah. Ini kan bukan forum debat ilmiah. Kalau saya nggak puas ya besok-besok lagi cari second opinion ke dokter lain. Second opinion itu hak pasien, tapi kalau berdebat sama dokter saat periksa itu nggak sopan, hahaha.
Kenapa dot risiko bingung puting? Ya karena dot itu ngalir aja, nggak perlu ngenyot, jadi bayi nggak perlu usaha keras agar susu keluar. Mau dibiarin aja juga susu tetep netes.Â
Tentang dot yang katanya nggak ngenyot nggak keluar? Ada sih jenis itu, tp risiko bayi terkena Otitis Media Akut (radang telinga) karena perbedaan tekanan udara. Trus yang katanya dot mirip nipple ibu, lha nipple masing-masing orang aja beda-beda, bikinan Allah SWT.Â
Apalagi dot yang bikinan manusia, nggak mungkin mirip sama bikinan Allah. Saya masih memegang kata2 guru saya, dr. Ekawati, Sp.A (K) boleh memberi sufor asal media bukan dot, harapannya nanti setelah ASI keluar bisa disusui langsung. Bagaimanapun juga direct breastfeeding itu tetap yang terbaik.
Soal Marwa yang susah dibangunkan, sering terjadi pada bayi prematur dan BBLR. Teori yang sudah saya tahu, tapi sulit menerapkan saat terjadi pada anak sendiri. Karena gejala hipoglikemia juga seperti itu, penurunan kesadaran yang bisa komplikasi kerusakan otak dan dampak jangka panjangnya tetap ada sampai dewasa.Â
Tapi soal kenapa Marwa sangat susah dibangunkan, sampai sekarang masih jadi misteri. Soalnya sampai sekarang mau seberisik apapun dia niat tidur ya tidur aja, nggak bakal bangun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H