Peci atau songkok merupakan salah satu elemen pakaian yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat Indonesia. Peci sering dipakai oleh berbagai kalangan, mulai dari masyarakat biasa hingga tokoh-tokoh negara. Terutama jika di Indonesia sering digunakan oleh kaum Muslimin. Namun, sering muncul pertanyaan mengenai apakah peci sebagai simbol agama islam, atau lebih tepat dianggap sebagai identitas bangsa Indonesia? Â Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu menelusuri sejarah dan peran sosial peci dalam konteks agama serta nasionalisme Indonesia.
Lalu, seperti apa peci dalam konteks sejarah dan agama?
Dalam sejarah Indonesia, penggunaan penutup kepala seperti peci telah ada sejak lama. Namun, peci menjadi populer pada abad ke-19 hingga ke-20, terutama ketika pengaruh kolonial Belanda sedang kuat. Banyak yang mengaitkan penggunaan peci dengan identitas umat Muslim di Nusantara, terutama karena penutup kepala ini juga digunakan oleh beberapa tokoh Islam. Sebagai contoh, peci sering dipakai oleh tokoh-tokoh ulama dan pemimpin agama dalam kegiatan keagamaan.
Peci dalam konteks Islam bukanlah hal baru, karena banyak umat Muslim yang mengenakan penutup kepala sebagai simbol ketakwaan dan ketaatan pada ajaran agama. Dalam beberapa tradisi, penutup kepala seperti peci dianggap sebagai bentuk penghormatan ketika melaksanakan ibadah, seperti salat atau menghadiri kegiatan keagamaan. Peci juga mirip dengan beberapa jenis penutup kepala yang digunakan di Timur Tengah dan Asia Selatan, seperti fez di Turki dan kupluk di Pakistan, yang juga digunakan oleh kalangan Muslim.
Namun, tidak ada bukti eksplisit yang menyatakan bahwa peci adalah bagian dari doktrin Islam. Islam tidak mewajibkan bentuk penutup kepala tertentu, melainkan lebih menekankan kesopanan dalam berbusana. Oleh karena itu, meskipun peci sering dipakai dalam konteks keagamaan, tidak dapat disimpulkan bahwa peci secara eksklusif adalah simbol agama Islam. Peci lebih mencerminkan pilihan budaya dan tradisi yang berkembang di kalangan Muslim di Indonesia.
Awal dari peci sebagai simbol nasionalisme
Selain digunakan dalam konteks agama, peci juga memiliki peran penting dalam sejarah nasionalisme Indonesia. Salah satu tokoh yang paling berjasa dalam mempopulerkan peci sebagai simbol nasional adalah Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Dalam sejarah awalnya, pada Juni 1920 di Surabaya, Bung Karno hendak menghadiri rapat Jong Java. Usianya yang kala itu baru menginjak 20 tahun, beliau masih merupakan salah satu anak kosan Tjokroaminoto yang menjadi mertuanya kelak. Kegugupan menghampiri Bung Karno sebelum dirinya memasuki ruang rapat. Pada saat beliau memasuki ruangan, hadirin seketika hening. Bung Karno pun mengatakan, "Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia".
Sejak itulah peci hitam menjadi ciri khasnya yang ia gunakan kemanapun. Seiring berjalannya zaman, kini peci semakin beragam dan beralkulturasi dengan hiasan bordir khas nusantara. Adapun anggapan peci menjadi simbol yang lekat dengan Islam karena fungsinya untuk menutup rambut kepala ketika sholat. Namun sejatinya peci bukanlah simbol agama, peci adalah simbol kepribadian bangsa. Soekarno juga sering terlihat mengenakan peci dalam berbagai kesempatan resmi, termasuk pada saat-saat penting dalam sejarah Indonesia, seperti ketika memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Bagi Soekarno, peci bukan hanya sekadar penutup kepala. Ia menjadikan peci sebagai simbol perjuangan dan identitas bangsa Indonesia. Soekarno memilih peci karena ia ingin menciptakan simbol nasional yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim, kaya atau miskin, Jawa maupun non-Jawa. Peci yang sederhana, namun sarat makna, dianggap sebagai simbol yang dapat menyatukan bangsa yang majemuk.
Dalam pidatonya, Soekarno menyatakan bahwa peci adalah penanda jati diri bangsa yang mandiri dan tidak tunduk pada penjajah. Peci, dengan demikian, menjadi lambang perlawanan terhadap kolonialisme dan perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Peci juga digunakan oleh para pemimpin bangsa lainnya, seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, yang semakin memperkuat posisinya sebagai simbol nasionalisme Indonesia.
Di luar peran Soekarno, penggunaan peci dalam kegiatan resmi dan kenegaraan terus berlanjut hingga hari ini. Peci menjadi bagian dari seragam resmi dalam berbagai upacara kenegaraan, mulai dari pelantikan presiden hingga upacara peringatan Hari Kemerdekaan. Penggunaannya yang meluas di berbagai kalangan masyarakat Indonesia menegaskan bahwa peci telah menjadi bagian integral dari identitas nasional bangsa ini.
Peci, simbol agama atau identitas bangsa?
Meskipun peci sering kali dikaitkan dengan Islam, perkembangan sejarah peci menunjukkan bahwa maknanya tidak terbatas pada satu agama saja. Peci telah mengalami proses pemaknaan ulang yang panjang, dari penutup kepala yang digunakan dalam konteks agama Islam, hingga menjadi simbol kebangsaan yang inklusif. Penggunaan peci oleh Soekarno dan para pemimpin nasional lainnya menjadikannya sebagai simbol identitas bangsa Indonesia yang melampaui sekat-sekat agama, etnis, dan budaya.
Peci telah berhasil menjadi simbol yang diterima oleh semua kalangan di Indonesia, baik dalam konteks religius maupun nasional. Di satu sisi, peci memang memiliki hubungan historis dengan Islam dan masih sering digunakan oleh umat Muslim dalam kegiatan keagamaan. Namun, di sisi lain, peci juga telah diangkat menjadi simbol nasionalisme yang melambangkan persatuan dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, peci memiliki makna yang kompleks dan multifaset. Di satu sisi, peci memiliki hubungan erat dengan tradisi Islam, terutama karena penggunaannya yang lazim dalam konteks keagamaan. Namun, di sisi lain, peci juga telah menjadi simbol nasionalisme dan identitas bangsa Indonesia, berkat peran tokoh-tokoh seperti Soekarno yang menjadikannya lambang perjuangan kemerdekaan. Dengan demikian, peci tidak dapat dikategorikan secara eksklusif sebagai simbol agama Islam atau identitas bangsa Indonesia, melainkan mewakili keduanya sekaligus. Peci adalah contoh bagaimana simbol budaya dapat berkembang dan memperoleh makna baru sesuai dengan dinamika sosial dan politik suatu bangsa.
Daftar Referensi
Wicaksono, T. (2010). The Evolution of Peci in Indonesian Nationalism. Journal of Southeast Asian Studies, 41(2), 125-140.
Santosa, E. (2005). Soekarno dan Simbol Nasionalisme Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Rakyat.
Smith, M. (2007). Islam in Indonesia: Modernization and National Identity. Oxford: Oxford University Press.
Yusron, A. (2019). Sejarah dan Filosofi Peci dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pustaka Nasional.
Cindy Adams. (1965). Penyambung Lidah Rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H