Mohon tunggu...
Agyl Dhani Praditya
Agyl Dhani Praditya Mohon Tunggu... Peternak - Mencari jalan menjadi pelawak.

Masih noob. Pembelajar sekaligus pendengar yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pandemi, Kapitalisme, dan Overdosis Ungkapan Syukur

13 Agustus 2021   19:05 Diperbarui: 13 Agustus 2021   19:20 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah situasi pandemi yang semakin menyulitkan kebanyakan orang ini, dapat bertahan hidup saja rasanya sudah sangat melegakan. Masih bisa sehat, bekerja, makan, dan aktivitas-aktivitas normal manusia lainnya, rasanya menjadi barang yang mewah selama pandemi ini. 

Bagaimana tidak, melihat banyaknya orang yang terkena COVID-19 saja rasanya sudah menyedihkan. Belum lagi yang terdampak secara ekonomi, yang justru jauh lebih banyak lagi. Ya, ancaman ekonomi ini menjadi nyata dan menjadi kekhawatiran kita bersama, kebanyakan orang.

Kenapa saya bilang kebanyakan orang? Karena faktanya, ada segelintir orang yang justru bisa semakin memperkaya harta kekayaannya di masa pandemi sekarang ini (1).  

Siapa mereka? Tentu saja, mereka adalah pemilik modal. Kaum dengan latar belakang finansial yang sangat kuat. Sumber bertambahnya kekayaan segelintir orang ini juga macam-macam.

 Ada yang membeli saham dengan harga murah pada saat harga sedang anjlok-anjloknya, ada yang memang pengusaha di sektor-sektor yang tidak terdampak pandemi, ada juga yang mengambil peluang bisnis baru yang justru muncul di saat pandemi ini, dan lain sebagainya.

Tidak hanya orang Indonesia, orang-orang terkaya di dunia pun, tercatat naik harta kekayaannya sampai mencapai ratusan persen. Nama-nama besar seperti Elon Musk, Jeff Bezos, sampai bos Louis Vuitton Bernard Arnault (yang kini menjadi orang terkaya di dunia) berhasil menambah pundi-pundi kekayaannya secara luar biasa selama pandemi ini (2). 

Hal ini menunjukkan fakta, bahwa kapitalisme justru bekerja secara maksimal di situasi pandemi seperti sekarang ini.

Fakta-fakta menarik di atas nampaknya sudah cukup menjadi pengantar pada tulisan kali ini. Tapi, bukan itu yang ingin saya bahas selanjutnya. 

Fenomena lain yang justru lebih menarik perhatian saya adalah beramai-ramainya orang yang mengupload unggahan berupa ucapan terimakasih kepada perusahaan atau apapun tempat mereka bekerja, sebagai wujud rasa syukur mereka yang ingin mereka tunjukkan ke khalayak umum. 

Ada yang berupa video di TikTok dan Instagram, sampai foto di story Whatsapp yang mana itu adalah orang-orang yang saya kenal secara langsung. Lantas, apa yang salah dengan fenomena tersebut? Mari kita bahas.

Sebuah video yang pertama kali saya tonton di Tiktok tentang ucapan terimakasih tersebut, langsung mengingatkan saya tentang konsep atau istilah kesadaran palsu yang populer di kalangan Marxis. 

Apa itu kesadaran palsu? Tentu ada begitu banyak pengertian. Intinya, apa yang disebut sebagai kesadaran palsu adalah ketika kelas pekerja gagal merealisasikan kesadaran sejatinya sebagai sebuah kelas. 

Ilmuwan politik Ralph Miliband menulis, apa yang disebut kesadaran palsu adalah kegagalan kelas proletarian dalam merealisasikan tugas-tugas universalnya: class for itself (3).

Lalu, apa kaitannya dalam konteks ini? Apa hubungannya antara unggahan video/foto tersebut dengan konsep kesadaran palsu? 

Dalam kasus ini, video yang berisi tentang ungkapan rasa terimakasih kepada perusahaan yang masih memberi kita pekerjaan, gaji yang tidak dipotong, tidak di-PHK, bantuan saat terinfeksi COVID-19, dan lain sebagainya, adalah jelas bentuk romantisasi sekaligus dramatisasi yang berlebihan. Kenapa saya bilang demikian? 

Perusahaan memberikan kita gaji secara utuh, tidak mem-PHK dengan alasan efisiensi, dan lain sebagainya, itu jelas merupakan hal normal sebagai bentuk tanggung jawab yang memang menjadi kewajiban perusahaan. Tidak ada yang khusus dan spesial disana. Semuanya justru adalah hal-hal yang memang seharusnya begitu.

Tentu juga kita perlu kembali ke fakta-fakta awal, bahwa ada begitu banyak pemilik modal yang justru mengeruk untung besar di situasi sekarang ini. Apakah perusahaan si pengupload tadi termasuk? Sudah barang tentu, iya. 

Jika tidak, jika perusahaan itu terdampak pandemi secara signifikan, sudah pasti anda sekarang sedang berada di rumah sambil bingung dan tidak mungkin mengupload konten seperti itu. 

Yang berikutnya berbahaya adalah, konten tersebut justru malah viral dan banyak yang mengupload ulang. Mereka larut ke dalam euforia dari unggahan tersebut. Sebuah romantisasi dan dramatisasi yang sukses bukan?

Lantas, apakah saya sedang melarang seseorang mengupload ucapan terimakasih dan ungkapan syukur di sosmed? Tentu tidak sama sekali. Tulisan ini hanya bertujuan untuk memberikan kritik terhadap konten, kritik terhadap ungkapan rasa syukur yang berlebih, apalagi sampai membentuk kesadaran palsu kolektif antar sesama kelas pekerja. 

Sangat berbahaya bukan? Sekali lagi, tulisan ini hanyalah bentuk keprihatinan, sekaligus refleksi filosofis, terhadap ketidaktahuan seseorang, sekaligus sebagai pengingat untuk diri saya sendiri. 

Jika konten ucapan syukur tersebut ditujukan kepada pelaku UMKM yang benar-benar berjuang susah payah untuk bertahan, jelas saya menaruh hormat setinggi-tingginya.

Fakta bahwa ada begitu banyak orang-orang baik yang muncul di tengah pandemi ini, juga harus kita akui. Mereka yang saling berbagi, membuka lapangan pekerjaan baru bagi para karyawan terdampak PHK, dan lain sebagainya, itulah yang perlu kita apresiasi. Tapi jika itu perusahaan besar pemilik modal kapital? Itu jelas salah sasaran. 

Karena percuma saja, hari ini anda mengupload konten ucapan terimakasih, besok atau lusa, kemungkinan anda di-PHK tetap ada dan terbuka. Konten tersebut tidak mengubah watak kaum pemilik modal. Tidak juga mengubah bagaimana logika kapitalisme bekerja.

Lagipula, sejauh pengetahuan saya sebagai orang yang tidak religius, bagi saya ungkapan rasa syukur adalah bentuk kerendahan hati kita terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahwa segala sesuatu yang kita dapat, bukanlah murni hasil jerih payah kita, tetapi ada juga peran Tuhan disana. 

Secara logika sederhana, bagaimana mungkin anda mengucap rasa syukur, tidak dengan kerendahan hati yang serius justru dengan romantisasi dan euforia berlebihan hanya untuk sebuah konten yang sangat membahayakan kelas pekerja?

Yang ada, hal tersebut justru akan melanggengkan eksploitasi terhadap kelas pekerja, dengan dalih tidak bersyukur jika melawan. Konyol bukan?

Dan apa yang terjadi kepada sekelompok kecil pemilik modal? Mereka justru akan semakin terus dan terus menambah pundi-pundi kekayaan dan modal kapital mereka, untuk semakin memperluas jaringan bisnisnya. 

Kapitalisme akan berjalan seperti biasanya. Tidak berubah, terus mengeksploitasi, menyerap nilai tambah dari setiap sumber daya yang ada, memperlebar kesenjangan, dan seterusnya dan seterusnya. Mari kita renungkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun