Pencak silat merupakan pusaka leluhur dan bagian yang tidak terpisahkan dari kekuatan kehidupan bangsa Indonesia, yang di dalamnya memiliki aspek mental spiritual, beladiri, seni, dan olahraga.
Pencak silat telah menjadi bagian budaya bangsa dan sebagai bagian integral dari ketahanan nasional Indonesia.
Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan melalui upaya-upaya yang terencana, tertata, dan berkelanjutan, maka telah menjadi konsensus nasional pembentukan wadah organisasi pencak silat Indonesia yang diberi nama Ikatan Pencak Silat Indonesia atau disingkat IPSI yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1948 di Surakarta, Jawa Tengah.
Organisasi IPSI dibentuk secara bertingkat, yang terdiri dari IPSI Pusat, IPSI Provinsi, IPSI Kabupaten / Kota, dan IPSI Kecamatan.
Saat ini terdapat 16 perguruan pencak silat yang terdaftar sebagai anggota IPSI Pusat, yaitu :
10 Anggota Khusus (Perguruan Historis Pencak Silat) :
- Persaudaraan Setia Hati
- Persaudaraan Setia Hati Terate
- Kelatnas Indonesia Perisai Diri
- PSN Perisai Putih
- Tapak Suci Putera Muhammadiyah
- Phashadja Mataram
- Perpi Harimurti
- Persatuan Pencak Silat Indonesia (PPSI)
- PPS Putra Betawi
- KPS Nusantara
6 Anggota Biasa :
- PPS Betako Merpati Putih
- PPS Satria Muda Indonesia
- Persinas Asad
- PSTD Indonesia
- LPI Tetada Kalimasada
- PSNU Pagar Nusa
=====
01-psh-5abf172dab12ae79a60e70c2.jpg
PERSAUDARAAN SETIA HATI
Pencak Setia Hati diciptakan oleh Ki Ngabehi Soerodiwirjo pada tahun 1903 di daerah Tambakgringsing, Surabaya, Jawa Timur, yang pada saat itu diberi nama permainan pencak Djojo Gendilo Tjipto Moeljo dengan nama perkumpulannya Sedoeloer Toenggal Ketjer. Pada tahun 1917 nama tersebut dirubah menjadi Persaudaraan Setia Hati yang berpusat di Madiun, Jawa Timur.
Pencak Setia Hati dirumuskan oleh Ki Ngabehi Soerodiwirjo yang dikenal juga dengan Eyang Suro dari hasil menimba ilmu pencak silat dari berbagai daerah. Dimulai setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat, pada tahun 1891 Eyang Suro mendapat pekerjaan magang sebagai juru tulis pada seorang kontroler Belanda. Selain bekerja, Eyang Suro tetap meneruskan belajar di Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Dari pondok pesantren inilah Eyang Suro mulai mendalami ilmu agama dan pencak silat sekaligus.
Pada tahun 1892, Eyang Suro ditugaskan menjadi pegawai pengawas di Bandung, Jawa Barat, dan kemudian mempelajari ilmu pencak dari Cimande, Cikalong, Ciampea, Cibaduyut, Cipetir, Cilamaya, Sumedang, dan sebagainya. Setahun kemudian Eyang Suro pindah ke Jakarta dan mempelajari silat aliran Betawen, Kwitang, Monyetan, dan permainan toya.
Setahun kemudian Eyang Suro harus pindah kerja lagi ke Bengkulu selama 6 bulan, lalu ke Padang, Sumatera Barat. Di daerah ini Eyang Suro mempelajari ilmu silat dari Pariaman, Padangpanjang, Padangalai, Alanglaweh, Solok, Singkarak, Taralak, Lintau, Fort de Kock, Sipai, Airbangis, dan sebagainya. Salah satu guru beliau bergelar Datoek Radjo Batoeah.
Setelah menambah kekayaan ilmu pencak silat dan ilmu kebatinan di daerah Sumatera Barat, pada tahun 1898 Eyang Suro berhenti dari pekerjaannya dan melanjutkan perantauannya ke Sumatera Utara dan Aceh. Di daerah ini Eyang Suro mempelajari ilmu silat dari Tengkoe Achmad Moelia Ibrahim. Ilmu silat yang dipelajari yaitu silat dari Binjai, Langsa, Tarutung, Padangsidempuan, dan sebagainya. Di samping belajar silat, Eyang Suro juga mendapatkan wejangan kebatinan dari Njoman Ida Gempol dan Tjik Bedojo.
Pada tahun 1902 Eyang Suro kembali ke Surabaya dan bekerja sebagai anggota polisi dengan pangkat mayor polisi. Pada tahun 1903 di Surabaya inilah, di daerah Tambakgringsing, Eyang Suro mendirikan sebuah perkumpulan persaudaraan dengan nama Sedoeloer Toenggal Ketjer. Pada tahun 1915 Eyang Suro pindah bekerja ke bengkel kereta api di Madiun dan tetap mengajarkan pencak silat, kemudian pada tahun 1917 nama persaudaraannya dirubah menjadi Setia Hati yang disingkat SH. Eyang Suro wafat pada tahun 1944 dan dimakamkan di daerah Kelurahan Winongo, Kota Madiun.
Pada tanggal 22 Mei 1932 di Semarang, Jawa Tengah, atas prakarsa Moenandar Hardjowijoto dari Ngrambe, Ngawi, Jawa Timur, yang merupakan murid dari Eyang Suro yang telah mencapai trap ketiga, didirikanlah organisasi yang merupakan perwujudan ikrar bersama sejumlah kadang Setia Hati dari Semarang, Magelang, Solo, Yogyakarta, dan sebagainya. Karena terdiri dari sejumlah kadang Setia Hati, maka disebut dengan nama Setia Hati Organisasi atau disingkat SHO, yang bermaksud orang-orang Setia Hati yang berorganisasi. Pada waktu itu hadir 50 saudara Setia Hati dan utusan-utusan, antara lain Soewignjo, Soekandar, Soemitro, Kasah, Karsiman, Soeripno, Soetardi, Hartadi, dan Sajoeti Melok.
Pada kongres ke-13 di Yogyakarta tahun 1972, ditetapkan keputusan dengan kesepakatan bahwa nama Setia Hati Organisasi berubah menjadi Persaudaraan Setia Hati. Perubahan nama tersebut merupakan pernyataan ketua umum kongres, Moenandar Hardjowijoto, yang menyatakan bahwa para kadang persaudaraan Setia Hati Organisasi tidak lagi mengenal garis pemisah antar kadang serumpun Setia Hati, dan persaudaraan SHO menjadi SH saja tanpa O (organisasi), kembali ke sumber.
Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang pada awalnya bernama Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC) didirikan pada tahun 1922 di daerah Pilangbango, Madiun, Jawa Timur, oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, murid Ki Ngabehi Soerodiwirjo pencipta Pencak Setia Hati.
Pada tahun tersebut Ki Hadjar Hardjo Oetomo juga bergabung dengan Sarekat Islam untuk berjuang bersama-sama menentang penjajahan Belanda. Sebagai pendekar pencak, Ki Hadjar berkeinginan luhur untuk mendarmakan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Namun pelatihan pencak di dalam SH Pencak Sport Club kemudian diketahui oleh penjajah Belanda sehingga dilarang dan dibubarkan.
Untuk mengelabuhi penjajah Belanda, SH Pencak Sport Club yang dibubarkan Belanda diam-diam dirintis kembali dengan siasat menghilangkan kata Pencak sehingga menjadi SH Sport Club. Murid-murid Ki Hadjar pun kian bertambah hingga tersebar sampai Kertosono, Jombang, Ngantang, Lamongan, Solo, dan Yogyakarta. Kesempatan ini digunakan oleh Ki Hadjar guna memperkokoh perlawanannya dalam menentang penjajah Belanda.
Pada tahun 1925 penjajah Belanda menangkap Ki Hadjar yang kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Madiun. Karena di dalam penjara Ki Hadjar berusaha membujuk rekan-rekan tahanan lainnya untuk mengadakan pemberontakan kepada penjajah Belanda, maka Ki Hadjar dipindah ke penjara Cipinang, dan kemudian dipindah lagi ke penjara Padangpanjang di Sumatera. Setelah lima tahun mendekam di penjara, Ki Hadjar kembali ke kampung halamannya di Pilangbango, Madiun.
Selang beberapa bulan kemudian, kegiatan yang sempat macet mulai digalakkan lagi. Memasuki tahun 1942 pada saat kedatangan penjajah Jepang ke Indonesia, SH Pemuda Sport Club diganti nama menjadi SH Terate.
Selang enam tahun kemudian yaitu pada tahun 1948, SH Terate mulai berkembang merambah ke segenap penjuru. Dari hasil konferensi di rumah almarhum Ki Hadjar, SH Terate yang pada saat berdiri berstatus sebagai perguruan pencak silat kemudian dirubah menjadi organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate. Sebagai ketua, dipilihlah R.M. Soetomo Mangkoedjojo, murid Ki Hadjar yang sudah mencapai tingkat tiga.
Atas jasa-jasanya dalam perjuangan menentang penjajah Belanda, pada tahun 1950 Ki Hadjar Hardjo Oetomo dianugerahi gelar Pahlawan Perintis Kemerdekaan.
Keluarga Silat Nasional Indonesia Perisai Diri atau disingkat Kelatnas Indonesia Perisai Diri didirikan oleh Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo pada tanggal 2 Juli 1955 di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
R.M. Soebandiman Dirdjoatmodjo atau yang dikenal dengan nama panggilan Pak Dirdjo lahir di Yogyakarta pada tanggal 8 Januari 1913 di lingkungan Pura Pakualaman. Beliau adalah putra pertama dari R.M. Pakoe Soedirdjo, buyut dari Sri Paduka Paku Alam II.
Sejak berusia 9 tahun, Pak Dirdjo telah dapat menguasai ilmu pencak silat yang ada di lingkungan keraton sehingga mendapat kepercayaan untuk melatih teman-temannya di lingkungan Pura Pakualaman. Di samping pencak silat beliau juga belajar menari di istana Pakualaman sehingga berteman dengan Wasi dan Bagong Koessoediardja.
Karena ingin meningkatkan kemampuan ilmu silatnya, setamat HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) atau sekolah pendidikan guru, beliau meninggalkan Yogyakarta untuk merantau tanpa membawa bekal apapun dengan berjalan kaki.
Tempat yang dikunjunginya pertama adalah Jombang, Jawa Timur. Di sana Pak Dirdjo belajar silat kepada Hasan Basri, sedangkan pengetahuan agama dan lainnya diperoleh dari Pondok Pesantren Tebuireng. Di samping belajar, beliau juga bekerja di Pabrik Gula Peterongan untuk membiayai keperluan hidupnya. Setelah menjalani gemblengan keras dengan lancar dan dirasa cukup, beliau kembali ke barat. Sampai di Solo beliau belajar silat kepada Sajid Sahab. Beliau juga belajar kanuragan kepada kakeknya, Ki Djogosoerasmo.
Beliau masih belum merasa puas untuk menambah ilmu silatnya. Tujuan berikutnya adalah Semarang. Di sini beliau belajar silat kepada R.M. Soegito dari pencak Setia Saudara, dilanjutkan dengan mempelajari ilmu kanuragan di Pondok Randu Gunting. Rasa keingintahuan yang besar terhadap ilmu beladiri menjadikan Pak Dirdjo masih belum merasa puas dengan apa yang telah beliau miliki. Dari sana beliau menuju Cirebon setelah singgah terlebih dahulu di Kuningan. Di sini beliau belajar lagi ilmu silat dan kanuragan dengan tidak bosan-bosannya selalu menimba ilmu dari berbagai guru. Selain itu beliau juga belajar silat Minangkabau dan silat Aceh.
Tekadnya untuk menggabungkan dan mengolah berbagai ilmu yang dipelajarinya membuat Pak Dirdjo tidak bosan menimba ilmu. Berpindah guru baginya berarti mempelajari hal yang baru dan menambah ilmu yang dirasakannya kurang. Pak Dirdjo yakin, bila segala sesuatu dikerjakan dengan baik dan didasari niat yang baik, maka Tuhan akan menuntun untuk mencapai cita-citanya. Pak Dirdjo kemudian mulai meramu ilmu silat sendiri dan menetap di daerah Parakan, Jawa Tengah, dengan membuka perguruan silat bernama Eka Kalbu yang berarti satu hati.
Di tengah kesibukan melatih, beliau bertemu dengan seorang pendekar kuntao aliran Siauw Liem (Shaolin) yang bernama Jasakarsa atau dikenal juga dengan nama Jap Kie San. Jap Kie San adalah murid dari Hoo Tik Tjai alias Hoo Liep Poen yang dikenal dengan panggilan Bah Suthur. Hoo Tik Tjai adalah murid dan anak angkat Louw Djeng Tie, pendekar legendaris di dalam dunia persilatan dan salah satu tokoh utama pembawa beladiri kungfu dari Tiongkok ke Indonesia. Di dalam dunia persilatan, Louw Djeng Tie dijuluki sebagai Garuda Emas dari Siauw Liem Pay.
Pak Dirdjo yang untuk menuntut suatu ilmu tidak memandang usia dan suku bangsa lalu mempelajari ilmu beladiri yang berasal dari biara Siauw Liem Sie (Shaolinshi) ini dari Jap Kie San selama 14 tahun. Pak Dirdjo diterima sebagai murid bukan dengan cara biasa tetapi melalui pertarungan persahabatan dengan murid Jap Kie San. Melihat bakat Pak Dirdjo, Jap Kie San tergerak hatinya untuk menerimanya sebagai murid. Berbagai cobaan dan gemblengan beliau jalani dengan tekun sampai akhirnya berhasil mencapai puncak latihan ilmu silat dari Jap Kie San.
Setelah puas merantau, Pak Dirdjo kembali ke tanah kelahirannya, Yogyakarta. Oleh pakdenya, yaitu Ki Hadjar Dewantara (Bapak Pendidikan), Pak Dirdjo diminta mengajar silat di lingkungan Sekolah Taman Siswa di Wirogunan. Di tengah kesibukannya mengajar silat di Taman Siswa, Pak Dirdjo mendapatkan pekerjaan sebagai magazijn meester di Pabrik Gula Kedaton Pleret.
Pada tahun 1947 di Yogyakarta, Pak Dirdjo diangkat menjadi Pegawai Negeri di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan misi yang diembannya untuk mengembangkan pencak silat, Pak Dirdjo membuka kursus silat melalui dinas untuk umum. Pak Dirdjo juga diminta untuk mengajar di Himpunan Siswa Budaya, sebuah unit kegiatan mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Murid-muridnya adalah para mahasiswa UGM pada masa awal berdirinya kampus tersebut. Pak Dirdjo juga membuka kursus silat di kantornya.
Tahun 1954 Pak Dirdjo diperbantukan ke Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur. Murid-murid Pak Dirdjo di Yogyakarta, baik yang berlatih di UGM maupun di luar UGM, bergabung menjadi satu dalam wadah HPPSI (Himpunan Penggemar Pencak Silat Indonesia).
Tahun 1955 Pak Dirdjo resmi pindah dinas ke Kota Surabaya. Dengan tugas yang sama, yakni mengembangkan dan menyebarluaskan pencak silat sebagai budaya bangsa Indonesia, Pak Dirdjo membuka kursus silat yang diadakan di Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur. Di sinilah Pak Dirdjo mendirikan silat Perisai Diri pada tanggal 2 Juli 1955. Para muridnya di Yogyakarta maupun murid-murid perguruan silat Eka Kalbu kemudian menyesuaikan diri dengan melebur ke silat Perisai Diri.
Pengalaman yang diperoleh selama merantau dan ilmu beladiri Siauw Liem Sie yang dikuasainya kemudian dicurahkannya dalam bentuk teknik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anatomi tubuh manusia, tanpa ada unsur memperkosa gerak. Semuanya berjalan secara alami dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Dengan moto Pandai Silat Tanpa Cedera, silat Perisai Diri diterima oleh berbagai lapisan masyarakat untuk dipelajari sebagai ilmu beladiri.
Tanggal 9 Mei 1983, R.M. Soebandiman Dirdjoatmodjo berpulang menghadap Sang Pencipta. Tanggung jawab untuk melanjutkan pelatihan silat Perisai Diri beralih kepada para murid-muridnya yang kini telah menyebar ke seluruh pelosok tanah air dan beberapa negara lain, di antaranya yaitu Australia, Belanda, Inggris, Jerman, Swiss, Timor Leste, Prancis, Amerika Serikat, Swedia, Brunei Darussalam, bahkan di Jepang.
Untuk menghargai jasa-jasanya, pada tahun 1986 pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pendekar Purna Utama kepada R.M. Soebandiman Dirdjoatmodjo.
Perguruan Silat Nasional Perisai Putih atau disingkat PSN Perisai Putih didirikan pada tanggal 1 Januari 1967 di Surabaya oleh Raden Achmad Boestami Barasoebrata atau dikenal juga dengan Pak Boestam.
Keilmuan Pak Boestam berasal dari kakeknya, K.H. Agoes Salim atau yang di lingkungan masyarakat Sumenep dikenal dengan nama panggilan Ki Lamet. Pak Boestam adalah putra ke-3 dari 9 bersaudara yang lahir pada tanggal 4 Desember 1939 di Bangselok, Sumenep, Madura.
Pak Boestam juga mempelajari berbagai aliran pencak silat di nusantara dan beladiri asing yang masuk ke Indonesia. Pemahamannya terhadap perbedaan jurus pencak silat di berbagai aliran disikapinya dengan arif. Pak Boestam mengemukakan bahwa semua perguruan pencak silat memiliki kelebihan masing-masing yang semuanya baik dan patut dipelajari, walaupun kemudian di dalam perkembangannya Pak Boestam menjadikan pencak silat ala Madura sebagai ciri khasnya.
Dengan misi melanggengkan tradisi, Pak Boestam kemudian melatih para kerabat, tetangga, dan orang-orang di sekitarnya agar menguasai pencak silat. Lambat laun murid Pak Boestam semakin bertambah dari waktu ke waktu. Untuk mewadahi keberadaan murid-muridnya, pada tanggal 1 Januari 1967 Pak Boestam dibantu oleh Kapten Soeparman mendirikan perguruan pencak silat di Surabaya yang dikenal dengan nama Yiusika, akronim dari Yiuyitsu / Jiujitsu, Silat, dan Karate. Yiusika juga sering disebut sebagai Sekolah Beladiri Tanpa Senjata.
Pada tahun 1971, S. Himantoro dari Surabaya mengembangkan Yiusika ke Jakarta dengan bantuan Joni Heru Riono. Tempat latihan pertama berlokasi di Jakarta Utara yang dipimpin oleh AKBP Drs. Soetedjo, yaitu di markas Komando Sektor Kota 722 Jakarta Utara. Dari Jakarta Utara kemudian dikembangkan lagi ke Jakarta Timur dengan tempat latihan di mes Badan Pusat Statistik yang dipimpin oleh Daeng Husin Umar.
Perkembangan Yiusika di Jakarta semakin pesat. Pengembangan berlanjut ke Jakarta Selatan di bawah pimpinan Soediono. Kemudian dengan bantuan Drs. Hadi Mahmud, perguruan juga berkembang di Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Hadi Prayitno. Tidak ketinggalan Jakarta Barat juga menjadi tempat pengembangan Yiusika dengan tempat latihan di Jelambar yang dipimpin oleh Maxi.
Seiring dengan upaya mempersatukan perguruan pencak silat di Indonesia dalam wadah organisasi IPSI, maka Yiusika ikut mendaftarkan diri menjadi anggota IPSI pada saat Kongres IPSI ke-4 tahun 1973. Proses pendaftaran mengalami kendala karena Yiusika menggunakan nama berunsur beladiri asing.
Dengan bantuan ide dari William Maramis, ditambahkan nama Perisai Putih di belakang nama Yiusika sehingga menjadi Yiusika Perisai Putih. IPSI kemudian menerima Perisai Putih menjadi anggotanya, bahkan kemudian ditetapkan sebagai salah satu dari 10 Perguruan Historis Pencak Silat.
Lambang perguruan Perisai Putih dibuat oleh F.X. Siswadi, murid Pak Boestam. Pada mukernas pertama di Surabaya tanggal 10 Oktober 1987, tulisan di lambang perguruan yang berbunyi Beladiri IPSI Perisai Putih dirubah menjadi Perguruan Silat Nasional Perisai Putih.
R. Achmad Boestami Barasoebrata wafat pada tanggal 27 Desember 1987 dan dimakamkan di Surabaya. Untuk kelestariannya, PSN Perisai Putih diwariskan kepada Dewan Pendekar yang saat ini diketuai oleh Dr. H. Icu Zukafril Datuak Bandaharo, dengan dibantu wakil ketua Drs. Denny Herawan, M.Pd., sekretaris Ir. H. Sudirman Yan, dan anggota Amir S. Harahap dan Alfian, M.H.
Dengan moto padi semakin berisi semakin merunduk dan semboyan si vis pacem para bellum, PSN Perisai Putih yang berpusat organisasi di Jakarta dan berpusat keilmuan di Surabaya ini berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia dan manca negara, termasuk Belanda dan Singapura. PSN Perisai Putih memiliki tiga sumbu keilmuan, yaitu sumbu Surabaya, sumbu Jakarta, dan sumbu Makassar.
Berawal dari kelahiran K.H. Boesjro Sjoehada, pendekar pencak silat aliran Banjaran pada tahun 1872, sekembalinya dari Tanah Suci beliau mendirikan Pondok Pesantren Binorong di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pondok pesantren ini kemudian berkembang pesat dan salah satu santrinya adalah Soedirman yang di kemudian hari menjadi Jenderal Panglima Besar.
K.H. Boesjro Sjoehada kemudian pindah ke Yogyakarta akibat gerakan perlawanan bersenjata yang dilakukannya sehingga ia menjadi sasaran penangkapan yang dilakukan rezim kolonial Belanda. Pencak silat aliran Banjaran yang pada awalnya dikembangkan melalui Pondok Pesantren Binorong kemudian dikembangkan di Kauman, Yogyakarta.
Atas restu K.H. Boesjro Sjoehada, pada tahun 1925 dua orang muridnya yang tangguh yang bernama A. Dimjati dan M. Wahib membuka perguruan pencak silat dan menerima murid di Kauman, yang kemudian dikenal dengan sebutan perguruan Cikauman. Perguruan ini memiliki landasan agama dan kebangsaan yang kuat. Perguruan Cikauman banyak melahirkan pendekar-pendekar muda yang akhirnya mengembangkan cabang perguruan untuk memperluas jangkauan yang lebih luas.
M. Sjamsoeddin, murid Cikauman yang dinyatakan berhasil dan lulus, diizinkan untuk menerima murid dan kemudian pada tahun 1930 mendirikan perguruan Seranoman di Kauman bagian utara. Perkembangan perguruan-perguruan ini semakin hari semakin pesat dengan pertambahan murid yang cukup banyak. Murid-murid dari perguruan ini kemudian banyak menjadi anggota laskar Angkatan Perang Sabil (APS) untuk melawan penjajah dan banyak yang gugur dalam perlawanan bersenjata.
Lahirnya pendekar-pendekar muda hasil didikan perguruan Cikauman dan Seranoman memungkinkan untuk mendirikan perguruan-perguruan baru, yang di antaranya adalah perguruan Kasegu yang didirikan pada tahun 1951 oleh M. Barie Irsjad, murid andalan M. Zahid pendekar Seranoman. Atas desakan murid-murid dari perguruan Kasegu kepada M. Barie Irsjad inilah inisiatif untuk menggabungkan semua perguruan silat yang sealiran, yaitu Cikauman, Seranoman, dan Kasegu.
Pada tahun 1963, desakan itu semakin kuat, namun mendapatkan tentangan dari para ulama Kauman dan para pendekar tua yang merasa terlangkahi. Dengan pendekatan yang intensif dan dengan pertimbangan bahwa harus ada kekuatan fisik yang dimiliki umat Islam dalam menghadapi kekuatan komunis yang melakukan provokasi terhadap umat Islam, maka gagasan untuk menyatukan kembali kekuatan-kekuatan perguruan yang terserak ke dalam satu kekuatan perguruan dimulai.
Akhirnya disepakati untuk menggabungkan kembali kekuatan-kekuatan perguruan yang terserak ke dalam satu kekuatan perguruan, yaitu mendirikan perguruan Tapak Suci pada tanggal 31 Juli 1963 di Kauman, Yogyakarta, yang merupakan kelanjutan sejarah dari perguruan-perguruan sebelumnya.
Setelah meletusnya pemberontakan G30S/PKI, pada tahun 1966 diselenggarakan Konferensi Nasional I Tapak Suci yang merumuskan pemantapan organisasi secara nasional dan perguruan Tapak Suci dikembangkan namanya menjadi gerakan dan lembaga Perguruan Seni Beladiri Indonesia Tapak Suci Putera Muhammadiyah.
Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1967, Tapak Suci Putera Muhammadiyah ditetapkan menjadi organisasi otonom di lingkungan Muhammadiyah karena Tapak Suci Putera Muhammadiyah juga mampu dijadikan wadah pengkaderan Muhammadiyah.
Phashadja Mataram didirikan oleh K.R.T. Soetardjonegoro pada tanggal 20 Oktober 1950 di Yogyakarta. Perguruan yang berpusat di Jalan Gayam Mangkukusuman ini hanya menerima anggota laki-laki yang sudah baligh karena laki-laki akan diberi pendidikan untuk menjadi seorang imam bagi dirinya sendiri, keluarga, dan kelak apabila menjadi pemimpin. Selain itu juga bertujuan untuk menghindarkan dari pikiran-pikiran yang negatif. Murid tidak hanya dilatih ketangkasan dalam membela diri saja, tetapi juga diberi pendidikan akhlak agar dapat menjadi orang yang bertata krama, mempunyai sopan santun, dan tidak beringas.
Nama Phashadja apabila diurai yaitu Pha dari phasa atau puasa, Sha dari shandjata atau senjata, dan Dja dari djumedul atau timbul, mengandung makna keluarnya senjata melalui sarana puasa, sehingga murid-murid Phashadja Mataram selain digembleng fisik juga ketika kenaikan tingkat harus lulus riyadhoh puasa dan sholat malam.
Phashadja Mataram merupakan perguruan yang semi organisasi, yang menjadi pemimpin atau pendekar besar hanya keturunan langsung dari K.R.T. Soetardjonegoro.
Perguruan Pencak Indonesia Harimurti atau disingkat PerPI Harimurti didirikan oleh Soeko Winadi di Yogyakarta pada tanggal 23 Oktober 1932. Soeko Winadi menimba ilmu pencak dari Raden Mas Harimoerti, cucu dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII. R.M. Harimoerti, putra G.P.H. Tedjokoesoemo, mengajarkan pencak kepada masyarakat di Pendopo Ndalem Tejokusuman. Gaya seni beladiri ini dikenal sebagai Pencak Tejokusuman.
Polisi Hindia Belanda mencurigai aktivitas pengajaran pencak tersebut karena R.M. Harimoerti ikut aktif mendukung Gerakan Nasional Boedi Oetomo. Untuk menghindari kecurigaan polisi, R.M. Harimoerti menggunakan gerakan tari untuk menutupi pencaknya.
Pada tahun 1932, R.M. Harimoerti mendelegasikan perguruannya ke Soeko Winadi yang diformalkan sebagai Persatuan Pencak Indonesia yang disingkat PerPI, kemudian berganti nama menjadi Perguruan Pencak Indonesia, dan akhirnya dikenal sebagai PerPI Harimurti.
Meskipun telah mendelegasikan perguruannya ke Soeko Winadi, R.M. Harimoerti tidak benar-benar pensiun dari aktivitasnya mengajar pencak. Beberapa kali, R.M. Harimoerti langsung mengajar murid-muridnya. R.M. Harimoerti pada akhir hayatnya dikenal sebagai komandan pasukan pengawal Keraton Yogyakarta. R.M. Harimoerti wafat pada tanggal 18 September 1962 dan dimakamkan di Pemakaman Pakuncen.
Di bawah kepemimpinan Soeko Winadi, perguruan Harimurti menjadi lebih populer sejak partisipasinya dalam pembentukan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Dalam era revolusi, Soeko Winadi bersama dengan TNI bertugas dalam pertempuran di Ambarawa sebagai perwira di Brigade 10. Setelah berakhirnya perang, Soeko dinas sebagai Polisi Militer. Pada saat berdinas di militer, Soeko tetap mengajar pencak silat. PerPI Harimurti juga diajarkan di lingkungan militer.
Salah satu asistennya yang bernama Tarsono diutus untuk melatih pencak di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Surakarta dan Batalyon Infanteri 403 di Yogyakarta. PerPI Harimurti juga mengirimkan guru pencak untuk melatih di Kodam Iskandar Muda.
Pada tahun 1970-an PerPI Harimurti dikenal baik di dunia perfilman karena perannya dalam beberapa film, di antaranya yaitu film November 1828 dan film Api di Bukit Menoreh.
Persatuan Pencak Silat Indonesia atau disingkat PPSI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1957 di Bandung, Jawa Barat, dengan diketuai oleh Kolonel R.A. Kosasih, Panglima Tentara dan Teritorium III Siliwangi, dibantu dengan Kolonel Hidajat dan Kolonel Haroen.
Salah satu tokoh pendiri PPSI adalah Raden Ema Bratakoesoemah atau dikenal dengan sebutan Gan Ema, seorang pejuang pergerakan nasional di Jawa Barat. Selain dikenal sebagai sesepuh pencak di Jawa Barat, Gan Ema adalah tokoh heroik pada peristiwa Bandung lautan api pada saat NICA dan tentara sekutu menduduki Bandung. Gan Ema sejak berusia 9 tahun sudah belajar pencak dari ayahnya yang memiliki perguruan pencak di Ciamis. Pada tahun 1914 Gan Ema belajar pencak Cimande di Dayeuhkolot. Kemudian pada tahun 1918 sampai dengan 1921 di Batavia, Gan Ema belajar Ameng Pukulan dan Ameng Sabeni. Gan Ema juga ditempa dengan penguasaan aliran Cikalong, Sabandar, Suliwa, dan Ameng Timbangan dari para ahli pencak di Jawa Barat.
Salah satu tujuan pembentukan PPSI adalah menggalang kekuatan jajaran pencak silat untuk pagar betis dalam menghadapi pemberontakan DI/TII yang berkembang di wilayah Jawa Barat, Lampung, Jakarta, dan lainnya.
PPS Putra Betawi dibentuk pada tanggal 20 Januari 1972 sebagai suatu wadah yang mempersatukan berbagai perguruan dan aliran silat Betawi ke dalam suatu organisasi. Para guru besar yang mendukung terbentuknya wadah organisasi ini berasal dari lebih 20 perguruan silat betawi, antara lain yaitu Oetama bin Mahit Ateng Robain (perguruan silat Putra Utama), Sa'aman (perguruan silat Putra Jakarta), Endang Muhammad Sumarna (perguruan silat Sapu Jagat), Tjatja Muhammad Satiri (perguruan silat Syahbandar), Olive (perguruan silat Sutera Baja), Zakaria (perguruan silat Mustika Kwitang), perguruan silat Genta, perguruan silat Sikak Mas, dan perguruan-perguruan lainnya. Pada waktu itu H. Sa'ali, S.H. terpilih sebagai ketua umumnya.
Organisasi ini pernah vakum selama 10 tahun. Pada tanggal 24 Mei 1986 dilakukan konsolidasi guna kemantapan organisasi untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan-kegiatannya. Pada masa itu H. Daong Makmoer Zoelkarnaen terpilih sebagai pemimpin PPS Putra Betawi. Masuk pada tahun milenium, menurut data terdapat lebih dari 50 aliran atau perguruan silat Betawi yang belum seluruhnya bisa dijangkau dan memerlukan proses sosialisasi dan pendekatan yang berkelanjutan.
Pada awalnya, Keluarga Pencak Silat Nusantara atau disingkat KPS Nusantara didirikan sebagai kelompok studi informal pada tanggal 28 Juli 1968 di Jakarta oleh 3 orang intelektual muda yang aktif dalam bidang teknis IPSI, yaitu Mohamad Hadimoeljo, B.Sc., dr. Mohamad Djoko Waspodo, dan dr. Rachmadi Djoko Soewignjo. Mereka bertiga adalah murid dari dua orang pendekar besar Pencak Setia Hati, yaitu Marjoen Soedirohadiprodjo dan Rachmad Soeronagoro.
Ketiga intelektual muda tersebut merasa prihatin tentang kondisi perkembangan pencak silat yang pada waktu itu mengalami dampak akibat masuknya seni beladiri dari luar negeri yang berpengaruh terhadap minat pemuda dan pelajar. Perkembangan pencak silat juga terhambat oleh sifat eksklusif dari perguruan yang enggan membuka diri.
Sebagai upaya membantu IPSI melewati masa sulit tersebut dan menjaga agar pencak silat tidak semakin tenggelam, ketiga intelektual muda tersebut mengadakan penelitian, pengkajian, dan studi banding melalui sebuah kelompok studi yang didirikan dengan nama Study Group Pencak Silat Nusantara. Mereka melakukan riset kepada aliran-aliran pencak silat yang berbeda dan kemudian memakai hasil pengetahuannya untuk mentransformasikan pencak silat dari bentuk beladiri tradisional menjadi olahraga modern.
Untuk mewujudkan tujuan ini tidak mudah karena bertentangan dengan tradisi. Janji murid Setia Hati melarang untuk belajar di perguruan lain. Namun dengan perjuangan keras akhirnya mereka mampu meyakinkan gurunya, Rachmad Soeronagoro, untuk memperlihatkan 36 gerakan jurusnya, hanya tetap dijaga rahasia inti jurusnya. Direstui juga bagi mereka untuk belajar di perguruan lain demi kemajuan pencak silat. Sikap yang tidak konvensional dari para pendiri study group ini tidak merusak hubungan mereka dengan Setia Hati, sehingga sampai saat ini anggota KPS Nusantara dianggap sebagai saudara oleh anggota Setia Hati.
Ketiga pemuda ini juga menemui hambatan ketika ingin belajar di perguruan lain karena dicurigai ingin mencuri jurus-jurus yang dirahasiakannya. Sebagian rintangan ini dapat diatasi berkat rekomendasi dari Marjoen Soedirohadiprodjo.
Selama beberapa tahun mereka mempelajari pencak silat ke berbagai daerah, di antaranya yaitu silat Cingkrik Betawi dari Mohamad Saleh. Untuk pencak Jawa Barat mereka berguru kepada Aan Marzoeki dan Hidajat, yaitu aliran Cimande, Madi, Sabandar, Kari, dan Taji. Selain itu juga berguru Pencak Jawa Kombinasi dari Salamoen Prodjosoemitro, Silek Pariaman dari Itam, dan Silek Lintau dari Amiroeddin. Kemudian mereka mengambil gerakan yang paling efektif dan estetis kemudian dikombinasikan menjadi suatu bentuk baru yang bersifat nasional, sebagaimana tercermin dalam pilihan namanya Nusantara untuk merujuk ke kepulauan Indonesia.
Pembaharuan yang dimulai di antaranya yaitu memisahkan secara tegas pembinaan pencak silat gerak dan aspek dalam. Metode latihan tradisional dirubah menjadi metode latihan yang sistematis, jelas materi latihan, kurikulum, dan tahapan belajarnya. Diadakan tes dan evaluasi secara teratur serta diberikan atribut yang tampak jelas dari luar untuk tiap tahapan pelajaran. Study group ini mempelopori adanya pertandingan pencak silat olahraga dan menyelenggarakan peragaan-peragaan yang atraktif. Di samping itu, study group ini juga membantu PB IPSI dalam membenahi sisi organisasi.
Langkah pembaharuan yang disusul dengan langkah uji coba ini segera membuahkan hasil. Kelompok studi ini semakin membesar dan melalui berbagai pertandingan pencak silat prestasi kelompok ini segera mencuat. Bahkan metode latihan yang dipakai untuk menyiapkan pesilat dalam menghadapi sebuah kejuaraan menjadi contoh untuk perguruan lain. Hal inilah yang membuat kelompok studi ini pada Munas IPSI tahun 1973 diangkat sebagai salah satu dari 10 Perguruan Historis Pencak Silat di dalam PB IPSI. Pada tanggal 28 Juli 1973 study group ini mengubah dirinya menjadi Keluarga Pencak Silat Nusantara.
Perguruan Pencak Silat Beladiri Tangan Kosong Merpati Putih atau disingkat PPS Betako Merpati Putih didirikan pada tanggal 2 April 1963 di Yogyakarta. Jauh pada masa sebelumnya, ilmu Merpati Putih diwariskan secara turun-temurun di lingkungan keluarga pada masa Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pangeran Prabu Mangkurat Ingkang Jumeneng Ing Kartosuro atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sri Susuhunan Amangkurat II, pendiri sekaligus raja pertama Kasunanan Kartosuro yang memerintah pada tahun 1677 s.d. 1703.
Karena kondisi yang ditimbulkan oleh penjajah kolonial Belanda pada saat itu, Pangeran Prabu Amangkurat II mengadakan pengungsian di daerah Bagelen, wilayah terpencil di Yogyakarta, bersama cicit perempuannya, yaitu R.A. Djojoredjoso. Disela-sela kesibukannya dalam memikirkan mengatur situasi kenegaraan (kerajaan), beliau sempat membimbing, menggembleng serta mengawasi cicitnya dalam menekuni ilmu beladiri.
R.A. Djojoredjoso kemudian mewariskan ilmunya kepada tiga orang putranya, yaitu Gagak Handoko, Gagak Samoedro, dan Gagak Seto, menurut spesialisasinya masing-masing. Gagak Samoedro diwarisi ilmu pengobatan, Gagak Seto diwarisi ilmu sastra dan Gagak Handoko diwarisi seni beladiri.
Konon tiga saudara ini tercerai berai karena kondisi penjajahan kolonial pada saat itu. Semasa pelariannya, Gagak Samoedro mendirikan perguruan di Gunung Jeruk di daerah Pegunungan Menoreh. Gagak Handoko mendirikan perguruan di daerah Bagelen, yang akhirnya pindah ke daerah utara Pulau Jawa. Gagak Seto mendirikan perguruan di daerah sekitar Magelang, Jawa Tengah.
Lewat Raden Gagak Handoko inilah garis sejarah warisan ilmu yang dikenal sebagai Merpati Putih tidak terputus. Namun Gagak Handoko mengerti bahwa ajaran perguruan tersebut sebenarnya kurang lengkap, maka beliau tidak segera mengembangkan dan menurunkan kepada keturunannya, akan tetapi berusaha keras menelaah dan menjabarkan ilmu tersebut lalu menuangkan dalam gerakan silat dan tenaga tersimpan yang ada di naluri suci.
Beliau sadar akan usia ketuaannya yang tidak sanggup lagi melanjutkan pengembangannya, maka beliau memberi mandat penuh dan amanat kepada keturunannya, yaitu R. Bongso Permono Ing Ngoelakan Wates, untuk melanjutkan perkembangan perguruan. Dan setelah Gagak Handoko menyerahkan tumpuk kepemimpinan perguruan, beliau lalu pergi menyepi bertapa hingga sampai meninggalnya di Gunung Jeruk.
Karena menyadari perkembangan perguruan yang kurang baik, R. Bongso Permono, menurunkan ilmunya kepada keturunannya yaitu R.M. Wongso Widjojo dan kemudian mengikuti jejak ayahnya mencari kesempurnaan. Karena tidak mempunyai keturunan, R.M. Wongso Widjojo mengambil murid yang kebetulan dalam keluarga masih ada hubungan cucu yang bernama R. Saring Siswo Hadi Poernomo. Dari R. Saring Siswo Hadi Poernomo ilmu beladiri ini kemudian diturunkan kepada dua orang putranya, yaitu Poerwoto Hadi Poernomo dan Budi Santoso Hadi Poernomo.
R. Saring Hadi Poernomo pada awal tahun 1960-an prihatin terhadap perkembangan kehidupan generasi muda yang terkotak-kotak membentuk kelompok-kelompok yang mencerminkan rapuhnya persatuan dan kesatuan bangsa. Atas dasar hal tersebut, tergerak hati nurani beliau untuk berbuat sesuatu demi kecintaannya kepada nusa, bangsa, dan negara.
Pada tahun 1962, R. Saring Siswo Hadi Poernomo mengamanahkan kepada pewarisnya agar ilmunya disebarluaskan. Kedua pewaris yang juga puteranya, yaitu Poerwoto Hadi Poernomo (Mas Poeng) dan Budi Santoso Hadi Poernomo (Mas Budi) bertekad mengambil langkah nyata dalam pengabdian kepada bangsa dan negara Republik Indonesia dengan mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu yang dimiliki keluarga untuk kepentingan nasional. Untuk itu pada tanggal 2 April 1963 di Yogyakarta didirikan perguruan dengan nama PPS Betako Merpati Putih.
Merpati Putih berkembang cukup pesat, terutama sejak mendapat kepercayaan untuk melatih anggota ABRI. Diawali dengan melatih anggota Seksi I Korem 072 Pamungkas dan anggota Batalyon Infanteri 403 Wirasada Pratista.
Pada tahun 1968 Merpati Putih ekspansi ke luar Yogyakarta, yang pertama di Madiun, hingga berkembang ke Pusdik Brimob Polri di Watukosek, Jawa Timur. Pada tahun 1976 Merpati Putih melatih anggota Pasukan Pengawal Presiden dan dilanjutkan pada tahun 1977 melatih anggota Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang di kemudian hari berubah nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Sejak tahun 1995, atas prakarsa dan kerja sama dengan Yayasan Kartika Destarata di bawah pimpinan Ibu Hj. Oetari K. Hartono dan Ibu Titiek Prabowo, Merpati Putih mengembangkan kegiatan pembinaannya terhadap tuna netra.
Pada tahun 2002 Mas Budi meninggal dunia, disusul kemudian pada tahun 2014 Mas Poeng juga meninggal dunia. Sebagai penerusnya, pewaris berikutnya adalah putra-putranya, yaitu Amos Priono Tri Nugroho dan Nehemia Budi Setyawan.
Perguruan Pencak Silat Satria Muda Indonesia atau disingkat PPS Satria Muda Indonesia didirikan pada tanggal 19 Juli 1987 di Lembah Pinus Ciloto, Cianjur, Jawa Barat. Berawal pada kegiatan demonstrasi pencak silat pada acara Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, tiga orang pendekar silat dari Sumatera Barat yaitu H. Aboe Zahar, Mayor H. Oemar Machtoeb, dan Lebe Malin Soetan, mengadakan pertemuan dan sepakat untuk mendirikan perguruan silat dengan nama Baringin Sakti yang khusus mengajarkan silat Minangkabau.
Konon nama Baringin Sakti dipilih karena di pusat Kota Padang tumbuh pohon beringin yang besar dan kuat selama ratusan tahun. Perguruan Silat Baringin Sakti mengajarkan silat beraliran Harimau, Kumango, Lintau, dan Pauh.
Salah satu murid H. Aboe Zahar, yaitu Letjen TNI H. Prabowo Subianto, pada era tahun 1980-an merasa prihatin atas kurang diminatinya seni beladiri khas Indonesia ini oleh bangsanya sendiri, apalagi dengan mulai menjamurnya klub-klub seni beladiri dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Letjen TNI H. Prabowo Subianto mengajak para seniornya untuk mengembangkan Baringin Sakti yang beraliran silat Minangkabau menjadi suatu bentuk organisasi pencak silat yang beraliran nasional. Kemudian berdirilah secara resmi organisasi yang diberi nama PPS Satria Muda Indonesia pada tanggal 19 Juli 1987 di Lembah Pinus Ciloto, Jawa Barat.
Tokoh-tokoh perintis PPS Satria Muda Indonesia adalah generasi muda murid-murid H. Aboe Zahar dari Perguruan Silat Baringin Sakti, yaitu Letjen TNI H. Prabowo Subianto, Mayjen TNI H. Ismet Yuzairi Chaniago, Mayjen TNI H.R. Ampi Nurkamal Tanudjiwa, Drs. Edward Lebe H.M., Indra Chatib, Yan Yulidar, Ir. Lukman R.G., H. Robinsyah Goffar, dan Ir. Erizal Chaniago. Pada saat itu juga hadir untuk bergabung beberapa pendekar dari Banten, Pandeglang, Tangerang, dan Sukabumi.
Pada perkembangannya, PPS Satria Muda Indonesia juga merangkul tokoh-tokoh aliran pencak silat lain yang ada di nusantara untuk bergabung dan menjadikannya sebagai pelajaran dalam perguruan ini, di antaranya yaitu aliran silat Minang seperti Silek Tuo, Silek Buayo, Silek Sitaralak, dan juga pencak Sunda seperti Cikalong, Cimande, dan Sabandar. Sedangkan silat Betawi seperti Bongkar Kandang dan Beksi serta aliran-aliran pencak silat lainnya juga ikut diajarkan di perguruan ini.
Konsep pengajarannya adalah diberi pemahaman jurus-jurus kaedah PPS Satria Muda Indonesia, kemudian pada tingkatan lanjut murid akan diminta untuk memilih aliran mana yang diminati. Jika Cimande, maka murid akan belajar kepada guru Cimande yang sudah bergabung di PPS Satria Muda Indonesia, demikian juga bila ingin belajar silek Minang. Dari penjurusan ini diharapkan murid bisa memilih aliran berdasarkan bakat dan minat sehingga bisa melestarikan budaya bangsa dan mensejahterakan guru aliran tradisional.
Perguruan Silat Nasional Asad atau disingkat Persinas Asad didirikan pada tanggal 30 April 1993. Persinas Asad bermaksud menghimpun seluruh potensi bangsa yang memiliki persamaan cita-cita, wawasan, dan tujuan dalam melestarikan budaya bangsa, khususnya ilmu seni beladiri pencak silat nasional yang bersumber dari aliran silat Cimande, Kunto, Cikaret, Singa Mogok, Nagan, Cikalong, Syahbandar, Garuda Mas, Sabeni, dan Tangkap Menangkap.
Bagi Persinas Asad, melestarikan ilmu dan seni beladiri pencak silat berarti melestarikan budaya bangsa yang merupakan upaya meningkatkan kualitas mental dan fisik bangsa Indonesia guna mempercepat terwujudnya tujuan nasional dengan moto Ampuh Sehat Aman Damai.
Persinas Asad merupakan perguruan silat yang dilatarbelakangi oleh beberapa aliran silat di Indonesia, di antaranya yaitu aliran Cimande yang berjuluk Cimande Tari Kolot dari H. Rachmat Ace Sutisna, aliran silat Karawang yang berjuluk Singa Mogok dari H. Sulaiman, dan aliran silat Indramayu dari Ahmad.
Pencak Silat Tenaga Dasar Indonesia atau disingkat PSTD Indonesia lahir dari sebuah beladiri kuno yang bernama Kateda, yaitu aliran beladiri yang didirikan oleh biksu dari Tibet bernama Tagashi yang mengembara ke Gunung Bromo.
Pada tahun 1984, Jimmy Thaibsyah membuka cabang perguruan Kateda di Bandung yang berafiliasi ke Kateda International yang berpusat di Inggris pimpinan Lionel Henry Nasution. Dalam waktu yang relatif singkat perguruan Kateda pimpinan Jimmy Thaibsyah berkembang pesat di daerah Jawa Barat.
Seiring perkembangannya, terjadi perbedaan-perbedaan prinsip antara pimpinan Kateda di Indonesia dan Kateda International. Karena hal itu, Jimmy Thaibsyah memisahkan diri dari induk perguruannya dan mendirikan perguruan baru di Indonesia bersama Rosano Barack dan Bambang Trihatmodjo dengan Laksamana Madya TNI Arie Soedewo sebagai pelindung. Perguruan tersebut diberi nama Kesatuan Aliran Tenaga Dasar Indonesia atau disingkat Kateda Indonesia.
Berdasarkan hasil rakernas pertama pada tanggal 2 Juni 1991, agar lebih mencerminkan jati diri sebagai suatu perguruan pencak silat, maka nama Kateda Indonesia dirubah menjadi perguruan Pencak Silat Tenaga Dasar Indonesia atau PSTD Indonesia.
PSTD Indonesia mempelajari suatu ilmu dengan berintikan penggabungan antara pernafasan dan konsentrasi sehingga menghasilkan suatu bentuk kekuatan pada tubuh manusia. PSTD Indonesia memperkuat ilmu dan teknik beladirinya dengan tenaga dasar, yaitu tenaga alamiah dan utama yang terdapat dalam diri manusia yang menjadi dasar bagi pengembangan tenaga lainnya untuk membina kesegaran, kekuatan, ketangkasan, dan ketahanan fisik. Tenaga dasar juga bermanfaat untuk kesehatan tubuh manusia.
Yang utama dari ilmu beladiri ini adalah pertahanan. Tidak memupuk ambisi menyerang berarti memancarkan beladiri yang sebenarnya, yaitu membela diri untuk tetap mampu berdiri tegak tanpa merasa sakit ataupun luka yang dapat membahayakan tubuh. Tenaga dasar didedikasikan untuk menciptakan persaudaraan dan kedamaian, sesuai dengan moto PSTD Indonesia, yaitu kesehatan, beladiri, kedamaian.
Ir. Eddy Surohadi mewujudkan cita-citanya untuk menciptakan suatu metodologi keilmuan tenaga dalam yang praktis dan modern dengan menjauhi hal-hal yang berbau mistik dan syirik. Metodologi keilmuan ini kemudian diberinya nama Kalimasada.
Muridnya yang pertama belajar metodologi keilmuan ciptaanya ini adalah istrinya sendiri, dr. Ida Surohadi, Sp.KK, beserta adik kandungnya yang nomor enam. Selanjutnya dr. Ida Surohadi, Sp.KK diserahi tanggung jawab membina bidang kepelatihan sebagai Ketua Dewan Pelatih Pusat sampai sekarang.
Setelah bulan Oktober 1994, adiknya yang nomor tujuh, Drs. Joko H. Suroso, diserahi tanggungjawab untuk membantu membina bidang keilmuan. Adiknya yang nomor tujuh ini tekun mempelajari ilmu Tetada Kalimasada langsung dari kakak sulungnya. Selanjutnya semua adik-adiknya belajar metodologi keilmuan ini. Diantara adik-adiknya tersebut yang paling menguasai dan aktif mengembangkan metodologi keilmuan tenaga dalam ciptaan Ir. Eddy Surohadi ini adalah Drs. Ec. Joko Heruroso dan dr. Ida Surohadi, Sp.KK.
Pengenalan keilmuan Tetada Kalimasada kepada masyarakat umum dimulai pada acara ujian anggota perdana yang pertama yang dilaksanakan di Hotel Elmi Surabaya pada tanggal 24 November 1991. Tanggal inilah yang selalu diperingati setiap tahun sebagai tanggal berdirinya Tetada Kalimasada Indonesia.
Pada saat itu lembaga ini memfokuskan kegiatannya pada keilmuan beladiri tenaga dalam dengan nama Lembaga Pengembangan Ilmu Beladiri Tenaga Dalam Kalimasada. Tetapi pada 25 Oktober 1992 orientasi pelatihan lebih dititikberatkan pada terapi untuk kesehatan. Berkaitan dengan itu nama lembaga disesuaikan menjadi Lembaga Pengembangan Ilmu Terapi Tenaga Dalam Kalimasada. Selanjutnya pada ulang tahun ke-3 Kalimasada di Gedung Go Skate Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1994 diresmikan nama baru Kalimasada menjadi Lembaga Pengembangan Ilmu Terapi Tenaga Dalam Kalimasada atau disingkat LPI Tetada Kalimasada.
Pada suatu pertemuan, K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau yang biasa dipanggil Gus Mus bercerita kepada Dr. K.H. Suharbillah tentang semakin surutnya dunia persilatan di halaman pesantren. Hal ini ditandai dengan hilangnya peran pesantren sebagai padepokan pencak silat. Sejak jaman walisongo, kyai-kyai pesantren adalah juga pendekar yang mengajarkan ilmu pencak silat di pesantrennya masing-masing. Namun seiring waktu, kenyataan tersebut mulai hilang. Terutama disebabkan semakin padatnya jadwal pendidikan pesantren karena orientasi penerapan standar pendidikan modern.
Di luar pesantren, aneka ragam perguruan pencak silat tumbuh semakin menjamur dengan misi pengembangan agama dan kepercayaan dengan menggunakan pencak silat untuk menarik minatnya. Selain itu perguruan-perguruan tersebut sering merasa kelompoknya yang terkuat dan memunculkan permusuhan yang menyebabkan bentrokan dan tawuran. Karena prihatin atas hal tersebut, K.H. Ahmad Mustofa Bisri kemudian menyarankan Dr. K.H. Suharbillah untuk menemui K.H. Maksum Jauhari di Kediri untuk membahas persoalan tersebut.
K.H. Maksum Jauhari atau yang biasa dipanggil Gus Maksum adalah pendiri Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia atau disingkat GASMI pada tanggal 11 Januari 1966 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. GASMI merupakan hasil penyatuan dari training-training pencak silat yang dilakukan oleh Gus Maksum kepada masyarakat untuk bekal dalam menghadapi teror Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sebagai tandingan atas berkembangnya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang berafiliasi ke PKI. Salah satu kegiatan GASMI adalah mengadakan Pencak Dor, yaitu pertandingan tarung bebas di panggung terbuka sebagai sarana silaturahmi sesama pendekar dan media dakwah pemuda. Konon, gerakan pelatihan pencak silat di Lirboyo cikal bakal GASMI ini sudah dirintis sejak sekitar tahun 1915 oleh kakeknya Gus Maksum, yaitu K.H. Abdul Karim atau dikenal juga dengan Mbah Manab.
Kegelisahan serupa juga dirasakan oleh K.H. Syansuri Badawi di Tebuireng, Jombang. Beliau menyayangkan maraknya tawuran antar anggota perguruan pencak silat yang meresahkan masyarakat, terutama di kawasan Kabupaten Jombang dan sekitarnya. Kemudian Kyai Syansuri berinisiatif menemui Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang pada waktu itu diketuai oleh K.H. Hasyim Latif untuk menyampaikan hal tersebut. Selanjutnya K.H. Hasyim Latif mengutus Sekretaris PWNU Jawa Timur K.H. Ghofar Rahman, bersama K.H. Ahmad Buchori Susanto dan Dr. K.H. Suharbillah, untuk menemui K.H. Maksum Jauhari di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Dalam pertemuan ini disepakati untuk membentuk sebuah wadah pencak silat yang menaungi seluruh perguruan pencak silat di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Gus Maksum kemudian mulai merangkul beberapa perguruan pencak silat di Karesidenan Kediri, di antaranya yaitu Jiwa Suci di Kediri, Garuda Loncat di Blitar, dan Asta Dahana di Kediri.
Pertemuan berikutnya untuk menggodok konsep wadah pencak silat NU tersebut berlangsung di Pondok Pesantren Tebuireng pada tanggal 27 September 1985. Pertemuan ini dihadiri oleh beberapa pengasuh pondok pesantren dan para pendekar dari berbagai perguruan pencak silat, di antaranya yaitu K.H. Maksum Jauhari dari Lirboyo, K.H. Abdurrahman Utsman dari Jombang, K.H. Muhajir dari Kediri, H. Athoillah dari Surabaya, Drs. Lamro Asyhari dari Ponorogo, Timbul Jaya dari Lumajang, K.H. Ahmad Buchori Susanto, Dr. K.H. Suharbillah, dan beberapa pendekar lainnya dari Cirebon, Kalimantan, Pasuruan, dan Nganjuk. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang salah satunya adalah dibentuknya suatu ikatan bersama untuk mempersatukan berbagai perguruan pencak silat di bawah naungan Nahdlatul Ulama.
Mengacu kepada surat keputusan resmi pembentukan tim persiapan pendirian ikatan pencak silat NU, maka diadakanlah pertemuan lanjutan di Pondok Pesantren Lirboyo pada tanggal 3 Januari 1986. Pertemuan itu dihadiri oleh pendekar-pendekar dari Ponorogo, Jombang, Kediri, Nganjuk, Pasuruan, Lumajang, Cirebon, dan Kalimantan, serta beberapa perwakilan PWNU Jawa Timur. Musyawarah di Pondok Pesantren Lirboyo ini sekaligus menandai lahirnya Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa atau disingkat IPSNU Pagar Nusa. Nama itu diciptakan oleh K.H. Mujib Ridlwan dari Surabaya, putra K.H. Ridlwan Abdullah pencipta lambang Nahdlatul Ulama. Pagar Nusa merupakan akronim dari pagarnya NU dan bangsa.
Wadah organisasi ini tetap membuka keanekaragaman dan memberi keleluasaan kepada masing-masing perguruan pencak silat untuk mengembangkan diri dan mempertahankan ciri khasnya masing-masing, termasuk di antaranya yaitu GASMI, Batara Perkasa, Satria Perkasa Sejati, Nurul Huda Perkasya, Cimande, Sakera, Tegal Istighfar, Bintang Sembilan, Sapu Jagad, dan sebagainya. Pada pertemuan ini juga disusun kepengurusan awal dengan mengangkat K.H. Maksum Jauhari sebagai Ketua Umum IPSNU Pagar Nusa.
Pada saat Muktamar Nahdlatul Ulama ke-31 tahun 2004 di Boyolali, IPSNU Pagar Nusa dijadikan sebagai salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama yang membidangi pengembangan seni beladiri. Berdasarkan hasil Kongres Pagar Nusa ke-2 tahun 2012 di Pondok Pesantren Sunan Drajat di Lamongan, nama organisasi ini dirubah menjadi Pencak Silat NU Pagar Nusa atau disingkat PSNU Pagar Nusa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H