Pada tahun 1892, Eyang Suro ditugaskan menjadi pegawai pengawas di Bandung, Jawa Barat, dan kemudian mempelajari ilmu pencak dari Cimande, Cikalong, Ciampea, Cibaduyut, Cipetir, Cilamaya, Sumedang, dan sebagainya. Setahun kemudian Eyang Suro pindah ke Jakarta dan mempelajari silat aliran Betawen, Kwitang, Monyetan, dan permainan toya.
Setahun kemudian Eyang Suro harus pindah kerja lagi ke Bengkulu selama 6 bulan, lalu ke Padang, Sumatera Barat. Di daerah ini Eyang Suro mempelajari ilmu silat dari Pariaman, Padangpanjang, Padangalai, Alanglaweh, Solok, Singkarak, Taralak, Lintau, Fort de Kock, Sipai, Airbangis, dan sebagainya. Salah satu guru beliau bergelar Datoek Radjo Batoeah.
Setelah menambah kekayaan ilmu pencak silat dan ilmu kebatinan di daerah Sumatera Barat, pada tahun 1898 Eyang Suro berhenti dari pekerjaannya dan melanjutkan perantauannya ke Sumatera Utara dan Aceh. Di daerah ini Eyang Suro mempelajari ilmu silat dari Tengkoe Achmad Moelia Ibrahim. Ilmu silat yang dipelajari yaitu silat dari Binjai, Langsa, Tarutung, Padangsidempuan, dan sebagainya. Di samping belajar silat, Eyang Suro juga mendapatkan wejangan kebatinan dari Njoman Ida Gempol dan Tjik Bedojo.
Pada tahun 1902 Eyang Suro kembali ke Surabaya dan bekerja sebagai anggota polisi dengan pangkat mayor polisi. Pada tahun 1903 di Surabaya inilah, di daerah Tambakgringsing, Eyang Suro mendirikan sebuah perkumpulan persaudaraan dengan nama Sedoeloer Toenggal Ketjer. Pada tahun 1915 Eyang Suro pindah bekerja ke bengkel kereta api di Madiun dan tetap mengajarkan pencak silat, kemudian pada tahun 1917 nama persaudaraannya dirubah menjadi Setia Hati yang disingkat SH. Eyang Suro wafat pada tahun 1944 dan dimakamkan di daerah Kelurahan Winongo, Kota Madiun.
Pada tanggal 22 Mei 1932 di Semarang, Jawa Tengah, atas prakarsa Moenandar Hardjowijoto dari Ngrambe, Ngawi, Jawa Timur, yang merupakan murid dari Eyang Suro yang telah mencapai trap ketiga, didirikanlah organisasi yang merupakan perwujudan ikrar bersama sejumlah kadang Setia Hati dari Semarang, Magelang, Solo, Yogyakarta, dan sebagainya. Karena terdiri dari sejumlah kadang Setia Hati, maka disebut dengan nama Setia Hati Organisasi atau disingkat SHO, yang bermaksud orang-orang Setia Hati yang berorganisasi. Pada waktu itu hadir 50 saudara Setia Hati dan utusan-utusan, antara lain Soewignjo, Soekandar, Soemitro, Kasah, Karsiman, Soeripno, Soetardi, Hartadi, dan Sajoeti Melok.
Pada kongres ke-13 di Yogyakarta tahun 1972, ditetapkan keputusan dengan kesepakatan bahwa nama Setia Hati Organisasi berubah menjadi Persaudaraan Setia Hati. Perubahan nama tersebut merupakan pernyataan ketua umum kongres, Moenandar Hardjowijoto, yang menyatakan bahwa para kadang persaudaraan Setia Hati Organisasi tidak lagi mengenal garis pemisah antar kadang serumpun Setia Hati, dan persaudaraan SHO menjadi SH saja tanpa O (organisasi), kembali ke sumber.
Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang pada awalnya bernama Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC) didirikan pada tahun 1922 di daerah Pilangbango, Madiun, Jawa Timur, oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, murid Ki Ngabehi Soerodiwirjo pencipta Pencak Setia Hati.
Pada tahun tersebut Ki Hadjar Hardjo Oetomo juga bergabung dengan Sarekat Islam untuk berjuang bersama-sama menentang penjajahan Belanda. Sebagai pendekar pencak, Ki Hadjar berkeinginan luhur untuk mendarmakan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Namun pelatihan pencak di dalam SH Pencak Sport Club kemudian diketahui oleh penjajah Belanda sehingga dilarang dan dibubarkan.
Untuk mengelabuhi penjajah Belanda, SH Pencak Sport Club yang dibubarkan Belanda diam-diam dirintis kembali dengan siasat menghilangkan kata Pencak sehingga menjadi SH Sport Club. Murid-murid Ki Hadjar pun kian bertambah hingga tersebar sampai Kertosono, Jombang, Ngantang, Lamongan, Solo, dan Yogyakarta. Kesempatan ini digunakan oleh Ki Hadjar guna memperkokoh perlawanannya dalam menentang penjajah Belanda.
Pada tahun 1925 penjajah Belanda menangkap Ki Hadjar yang kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Madiun. Karena di dalam penjara Ki Hadjar berusaha membujuk rekan-rekan tahanan lainnya untuk mengadakan pemberontakan kepada penjajah Belanda, maka Ki Hadjar dipindah ke penjara Cipinang, dan kemudian dipindah lagi ke penjara Padangpanjang di Sumatera. Setelah lima tahun mendekam di penjara, Ki Hadjar kembali ke kampung halamannya di Pilangbango, Madiun.