Tahapan yang paling tidak disukai sekaligus diharapkan penulis adalah kritik orang lain. Selama ini tabu rasanya memberi kritik pada puisi seseorang apalagi dalam segi tata bahasa. padahal kesalahan dapat dijadikan promosi di masa modern ini. Contohnya celana blu jean ada yang bagian lututnya sengaja disobek-sobek bahkan bolong, ada juga blu jean yang utuh malah dipotong, celana itu tetap di pakai dan katanya malah menambah keren bagi pemakainya. Lalu ada juga baju tambalan, kini malah tambah ngetrend, baju batik tambalan, baju batik dengan perpaduan kain polos warna-warni yang membuat batik pada baju itu semakin menyala.
Keberanian menoreh kata yang jarang disentuh orang sangat perlu agar menjadi yang pertama dan utama. Doeloe pada masa pujangga sampai angkatan '66 penyair kita piawai menggunakan bahasa nusantara indah seperti 'bak (seperti) , 'nan (yang), 'duhai , 'adinda, 'laksana , dsb. Penyair modern kadang merindukan masa lalu, sedangkan bahasa terus berkembang, khasanah bahasa Indonesia semakin menebalkan kamus bahasa. Sangat penting artinya untuk mengikuti perkembangan puisi kita. Karena itu kritikus tidak harus melihat segi isi pesan muatan puisi, tetapi bagaimana penyair membawa puisi menjadi hidup.
Tentu ini akan banyak dibantah, manakala justru sekarang puisi yang enak didengar (ketika pembacaan puisi) adalah puisi -puisi dengan bahasa yang dapat dicerna pendengar dengan mudah, contohnya dalam puisi-puisi yang dibacakan di roadshow PMK justru puisi yang cepat dipahami pemirsa yang mendapat apresiasi tinggi. (rg bagus warsono)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H