Karsini mengerutkan dahi. "Ah, bilang saja ke Bu Zulaichah kalau tahunya sudah habis. Dia kan belum datang-datang. Belum bayar juga, kan? Aku yang lebih butuh sekarang, Yai!"
"Saya lebihi harganya!"
Dengan tenang, Yai Usman menjawab, "Maaf, Bu. Amanah harus saya jaga. Kalau panjenengan mau, besok saya siapkan tahu lebih untuk panjenengan."
Bu Karsini menghela napas. Dia lalu ngeloyor pergi, diselimuti rona penuh kekecewaan.
Melihat itu, Yai Usman tetap tersenyum sambil merekatkan kedua telapak tangannya di dada. "Maaf nggih, Bu," ucap Yai Usman.
Ketika Bu Zulaichah datang beberapa saat kemudian, Yai Usman terlihat lega saat menyerahkan tahu pesanannya. Bu Zulaichah mengambil uang. Dia sengaja memberi lebih sebagai hadiah. Namun, Yai Usman dengan halus menolaknya.
"Ini saja, Bu, sesuai harganya. Matur nuwun."
***
Setelah semua urusan di pasar selesai, Yai Usman pulang dengan hati tenang. Malam hari, seperti biasa, Yai Usman menghitung keuangan usahanya. Yai Usman sengaja tak menaruh uangnya sepeser pun di bank. Terkesan konvensional memang, tapi dia merasa tenang bisa menyimpan uangnya sendiri.
Yai Usman memiliki sebuah kotak kayu kecil yang sudah bertahun-tahun setia menjadi tempat penyimpanan uangnya. Kotak itu diletakkan di sudut kamar, di bawah lemari tua yang sudah agak miring. Setiap malam, setelah menghitung hasil usahanya, Yai Usman menyelipkan lembaran-lembaran uang itu dengan hati-hati ke dalam kotak, sambil berdoa agar rezekinya selalu berkah.
Baginya, uang bukan sekadar alat tukar, tapi juga titipan yang harus dikelola dengan amanah. Meski sederhana, Yai Usman memiliki aturan yang ketat dalam mengelola keuangannya. Sepertiga untuk kebutuhan keluarga, sepertiga untuk modal usaha, dan sepertiga lagi ia sisihkan untuk sedekah.