Saya memiliki kebiasaan 'menjelajah' masjid. Tidak tahu pasti kapan kebiasaan ini dimulai. Tapi yang jelas, saya sudah cukup sering melakukannya. Entah itu mengunjungi masjid bersejarah, masjid kampus, atau bahkan masjid-masjid kecil di kampung-kampung.
Bagi saya, ada kegembiraan tersendiri saat mengunjungi masjid. Rasanya seperti memuaskan dahaga spiritual, sekaligus menjadi tempat yang ideal untuk mengendapkan pikiran dan batin. Meski beberapa kali saya merasa tak enak hati, karena ketika salat di beberapa masjid, ketika pergi, langsung dibersihkan oleh marbot.
Jumat (3/1/2025), saya kembali melakukan perjalanan ke salah satu masjid yang menarik perhatian saya: Masjid Al Falah. Terletak di Jalan Raya Darmo, Surabaya. Masjid ini berada di kawasan yang cukup strategis, berdekatan dengan Kebun Binatang Surabaya (KBS) dan Museum Mpu Tantular yang kini berubah menjadi perpustakaan Bank Indonesia.Â
Kawasan tersebut sudah lama menjadi pusat aktivitas masyarakat Surabaya, dan Masjid Al Falah turut menyumbangkan sejarah panjang keislaman di Surabaya.
Kendati Masjid Al Falah tidak tercatat sebagai bangunan cagar budaya, jejak sejarah dan peranannya dalam kegiatan keagamaan di Surabaya tak dapat dipandang sebelah mata.Â
Masjid Al Falah diresmikan pada 27 September 1973. Â Berdiri di atas lahan seluas 3.206 meter persegi, Masjid Al Falah memiliki ruang yang luas dan nyaman bagi jamaahnya.
Pada masa awal berdirinya, Prof. KH. M. Syafi'i Abdulkarim, seorang ulama terkemuka, dipercaya menjadi imam pertama masjid ini. Tanda dimulainya sejarah Masjid Al Falah adalah dengan dilaksanakannya salat tarawih pada malam pertama Ramadan, dan dilanjutkan dengan pelaksanaan salat Jumat keesokan harinya. Ini menandai dimulainya kontribusi besar masjid dalam kegiatan keagamaan di Surabaya.
Keberadaan Masjid Al Falah tidak terlepas dari peran Yayasan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (YPTDI) Jawa Timur. Yayasan ini ikut membangun sarana ibadah yang juga mendukung kegiatan pendidikan agama di Surabaya.
Sebagai bagian dari sejarah panjang kehidupan keislaman di Surabaya, Masjid Al Falah bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol semangat dakwah dan kebersamaan umat. Masjid ini menjadi saksi berbagai peristiwa penting yang menggambarkan semangat umat Islam di Kota Pahlawan untuk membangun kehidupan yang harmonis dan penuh makna.
Selain menjadi tempat salat berjamaah, banyak aktivitas lain di Masjid Al Falah. Ada pengajian, kajian keislaman, pelatihan keterampilan, dan kegiatan sosial yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar. Masjid ini juga dikenal sebagai tempat bertemunya berbagai generasi, di mana para tokoh agama, pemuda, dan masyarakat umum saling berbagi ilmu dan pengalaman.
Tidak hanya itu, arsitektur Masjid Al Falah yang megah dan modern mencerminkan semangat pembaruan dalam Islam tanpa melupakan nilai-nilai tradisional.Â
Salah satu yang paling saya kagumi adalah desain ruang tengahnya yang begitu luas dan terbuka, tanpa adanya satu pun pilar penyangga di tengahnya.Â
Hal ini tidak hanya memberikan kesan lega dan lapang bagi para jamaah, tetapi juga menunjukkan kemahiran para arsitek dalam memadukan seni dan teknologi konstruksi modern.
Ketiadaan pilar di ruang tengah ini tidak hanya menciptakan suasana yang nyaman bagi jamaah, tetapi juga memberikan fleksibilitas bagi berbagai kegiatan lain, seperti kajian keagamaan, acara besar, dan bahkan kegiatan sosial. Keberhasilan desain ini menjadi simbol bagaimana Islam mampu mengintegrasikan nilai spiritual dengan inovasi teknologi yang progresif.
Kombinasi antara kaca-kaca besar yang memaksimalkan cahaya alami dan ventilasi yang dirancang dengan baik menambah kenyamanan dan kesakralan suasana di dalam masjid. Semua elemen ini berpadu harmonis, menciptakan suasana yang tidak hanya estetis tetapi juga penuh khidmat.
Keunggulan arsitektur Masjid Al Falah ini mencerminkan filosofi Islam yang mengedepankan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara modernitas dan tradisi.Â
Masjid ini menjadi contoh nyata bagaimana sebuah tempat ibadah dapat menjadi ruang yang ramah, fungsional, sekaligus memancarkan nilai-nilai luhur Islam.Â
Bagi saya, keunikan ruang tanpa pilar ini juga menjadi pengingat bahwa Islam selalu memiliki cara untuk menyatukan umat dalam keindahan, kesederhanaan, dan kedamaian.
Menjelajahi Masjid Al Falah, saya merasakan kedamaian yang tak ternilai. Seolah-olah masjid ini membawa saya lebih dekat kepada Allah SWT. Juga memberikan ruang untuk merefleksikan diri dalam kesibukan dunia. Setiap sudut masjid terasa memancarkan ketenangan, mulai dari aroma yang khas dalam masjid hingga gemericik air dari tempat wudu yang sejuk dan bersih.
Tak hanya itu, suasana hening yang tercipta di dalam ruang salat, meski berada di tengah hiruk-pikuk kota Surabaya, menjadi pengingat bahwa kedekatan dengan Sang Pencipta dapat diraih di mana pun, bahkan di tengah keramaian sekalipun.
Saat duduk di ruang utama, saya merasa seakan terbebas dari segala beban. Langit-langit yang tinggi membawa pandangan saya ke atas, mengingatkan saya akan keagungan Allah dan luasnya rahmat-Nya. Juga ruang untuk menemukan kembali kedamaian hati, menguatkan iman, dan memperbarui semangat hidup.
Yang membuat saya semakin tersentuh adalah suasana kehangatan dan inklusivitas di masjid ini. Jamaah dari berbagai latar belakang berkumpul tanpa sekat.Â
Seolah-olah melambangkan persatuan umat Islam yang sejati. Tidak ada perbedaan yang terasa. Semua menyatu dalam ibadah, dalam doa, dan dalam harapan untuk menjadi hamba yang lebih baik.
***
Saya punya kenangan panjang dengan Masjid Al Falah yang saat ini sedang direnovasi. Ini karena rumah orangtua saya berada di Jalan Darmokali, lokasinya sekitar 350 meter dari masjid tersebut. Baru pada usia 27 tahun saya pindah rumah, dan rumah orangtua saya tersebut sampai sekarang masih ada.
Pada tahun 90-an, aktivitas di Masjid Al Falah cukup padat. Masjid itu menjadi tujuan jamaah dari berbagai kalangan. Setiap waktu salat, masjid ini selalu penuh dengan jamaah, terutama saat salat Jumat dan salat Tarawih di bulan Ramadan.
Saya masih ingat, suasana Ramadan di sana selalu semarak. Terlebih waktu berbuka, ribuan orang berkerumun untuk mempersiapkan diri menyambut waktu magrib. Setelah salat, panitia masjid membagikan nasi bungkus. Jamaah tampak guyub saat berbuka bersama.
Selain itu, masjid ini kerap menjadi tempat berbagai kajian ilmu. Ada pengajian umum yang mengundang para ustaz terkenal, kegiatan belajar Al-Qur'an untuk anak-anak, hingga diskusi-diskusi keislaman. Saya pernah berlinang air mata saat mendengarkan Muammar ZA, qari terkemuka, melantunkan kalam ilahi di masjid tersebut.
Masjid Al Falah juga sebagai pusat pendidikan agama dan pengembangan masyarakat. Saya masih ingat bagaimana masjid ini menjadi tempat pertama saya mendengar ceramah yang begitu menggugah, yang sering kali memberi saya inspirasi dan motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Beberapa penceramah yang saya tahu di antaranya: KH. Abdurrahim Nor, KH. Misbach, H. Bey Arifin, KH. Muamal Hamidy, KH. Munawar Thohir, Prof. Roem Rowi, H. Kholid Abri, KH. Syakur Thawil, dr. H. Kabat, H. Muhammad Muqoddas, KH. Sunan Karwalib, Prof. Fuad Amsyari, dan H. Muhammad Taufiq AB. Kala itu, Ketua Takmir Masjid Al Falah masih dijabat H. Syamsuri Mertoyoso.
Nama Remaja Masjid Al Falah (RMA) dulu juga sangat dikenal. Banyak sekali kegiatan digelar, dari skala lokal, nasional, maupun internasional. Nama-nama tokoh RMA yang dulu saya kenal seperti Hasan Syadzili, Nur Hidayat, Herry Mohammad, Achmad Zuhdi DH, Yasin Tatisina, Masrukin, Imam Hambali, dan lainnya.
Pada akhir dekade 1980-an, Masjid Al Falah punya acara pengajian umum bulanan oleh Cendekiawan Muslim Al Falah yang dimotori Prof Fuad Amsyary (kini sudah almarhum) dengan mendatangkan penceramah dan tokoh nasional.Â
Dari kegiatan tersebut kemudian menjadi episetrum gerakan kaum cendekiawan berbasis kampus yag bergeliat saat itu, lalu bermuara pada berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Iniversitas Brawijaya Malang, pada 7 Desember 1990.
Yang unik dari Masjid Al Falah, bias di kota lain aktivitas gerakan kaum cendekiawan berpusat di masjid kampus, seperti Masjid Salman di ITB atau Masjid Salahuddin di UGM. Di Surabaya tidak di masjid Unair, ITS, IAIN, atau lainnya, tapi di Masjid Al Falah. Ini membuktikan bahwa Masjid Al Falah berwatak inklusif, sebagaimana ditunjukkan pada ruang utama yang terbuka tanpa pilar-pilar pemisah.
Kesan lain yang masih melekat di ingatan saya adalah suasana ukhuwah yang begitu terasa di masjid ini. Setelah salat berjamaah, para jamaah sering berbincang-bincang, berbagi cerita, atau sekadar bertanya kabar. Ada kehangatan yang jarang saya temukan di tempat lain.
Kenangan itu terus hidup dalam ingatan saya. Meskipun kini saya sudah tidak lagi tinggal di dekat masjid tersebut, namun setiap kali saya melewati Jalan Darmokali atau mendengar nama Masjid Al Falah, perasaan nostalgia itu kembali menyeruak. Masjid ini bukan hanya menjadi bagian dari sejarah hidup saya, tetapi juga menjadi saksi perjalanan spiritual saya yang terus berlanjut hingga hari ini.
***
Azan dikumandangkan, usai khatib naik mimbar lalu mengucapkan salam. Para marbot masih sibuk mengatur shaf. Jamaah yang baru hadir dipersilakan memenuhi tempat yang masih kosong. Suasana Masjid Al Falah nampak khusyuk. Beberapa anak kecil tampak duduk di barisan belakang, ditemani orang tua mereka.
Saya berada di shaf bagian tengah, duduk rapi bersama jamaah lainnya, mendengarkan khotbah Jumat yang saat itu disampaikan Prof. Dr. Ir. H. Abdullah Shahab, M.Sc. Beliau seorang Guru Besar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Surabaya.
Saya mengenal Abdullah Shahab bukan hanya dari ceramahnya, tetapi juga karya tulisnya. Terutama karya tulisnya yang banyak membahas nilai-nilai Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dalam khotbahnya kali ini, Prof. Abdullah Shahab membahas tema "Meningkatkan Kualitas Hidup Berbasis Ilmu". Kata-kata beliau terasa begitu mendalam dan menggugah hati.Â
Saya mencatat poin-poin ceramahnya dalam smartphone. Salah satu pernyataan yang beliau sampaikan: "Kesombongan bukanlah sifat yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang diberikan ilmu oleh Allah. Makanya, kalau ada manusia sombong, berarti dia tidak tahu eksistensinya."
Beliau juga menyampaikan, dalam Islam, ilmu mendapat tempat yang sangat tinggi. Meskipun seorang ilmuwan telah meninggal, ilmu yang ditinggalkannya akan tetap dikenang dan bermanfaat bagi generasi berikutnya.
Khotbah Abdullah Shahab mengalir seperti aliran air, jernih, dan menyegarkan pikiran. Saya merasa, di tengah keramaian kota yang sering kali melupakan nilai-nilai ini, pesan beliau adalah pengingat yang penting.
Pesan yang disampaikan Abdullah Shahab berasa menggema di hati saya, mengingatkan bahwa hidup ini bukan sekadar tentang pencapaian duniawi, tetapi tentang bagaimana kita memanfaatkan ilmu untuk memberikan manfaat yang lebih luas.
Setelah doa, suasana masjid menjadi hening. Jamaah bersiap melaksanakan salat Jumat. Imam memimpin dengan bacaan yang begitu merdu, menghadirkan ketenangan dan keikhlasan.
Selesai salat, saya melihat para jamaah berzikir dan melanjutkan salat sunnah. Saat saya melangkah keluar, sebuah rasa syukur memenuhi hati saya.
Langit siang itu cerah, seolah menyertai semangat baru yang terbit dalam hati. Saya melangkah pergi dengan doa kecil dalam hati, berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik, rendah hati, haus ilmu, dan memberi manfaat bagi sesama. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H