Tri Rismaharini dan Khofifah Indar Parawansa. Kedua sosok ini yang lebih berpeluang masuk bursa calon  wakil presiden (Wapres) Perempuan.
Tanpa bermaksud memandang sebelah mata dan mengecilkan kandidat lainnya yang juga disebut-sebut layak menjadi wapres. Seperti Yenny Wahid, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, dan lainnya.
Pilihan Risma dan Khofifah juga bukan lantaran keduanya orang Jawa Timur dan cukup lama tinggal di Surabaya.
Kenapa? Ada beberapa alasan yang melatar belakangi dan sangat pantas untuk dipakai sebagai pertimbangan.
Pertama, Risma dan Khofifah punya basis konstituen yang jelas dan memadai. Risma didukung partai pemenang pemilu: PDI Perjuangan.
Risma sekarang juga masih menjabat salah satu ketua DPP PDIP. Dia dikenal orang dekat Megawati Soekarnoputri.
Pun dengan Khofifah. Perempuan yang punya basis dukungan besar dari suara nahdliyin, khususnya kalangan perempuan. Dia menjabat Ketua Muslimat PP NU. Pernah menjadi fungsionaris Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Menariknya, Khofifah punya kedekatan dengan Jokowi, Presiden RI. Dalam Pemilu 2019, Khofifah secara terbuka menyatakan dukungan kepada pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Â
Kedua, Risma dan Khofifah sama-sama ditempa dalam kompetisi politik yang ketat dan berat. Mereka boleh disebut sebagai petarung yang tangguh. Fakta itu jelas-jelas sulit untuk dibantah.
Sebelum menjabat wali kota periode pertama ((2010-2015), Risma yang waktu itu menjabat kepala Bappeko, harus bersaing dengan Arif Afandi (waktu itu menjabat wakil wali kota Surabaya).
Awal survei, posisi Risma masih jauh di bawah Arif Afandi. Namun, setelah dia dipastikan menjadi calon wali kota. survei Risma naik siginifikan. Hasil akhirnya bisa membalikkan keadaan saat pemilihan wali kota Surabaya.
Kota Surabaya berasa kinclong di tangan Risma. Taman-taman tumbuh bak jamur di musim penghujan. Pembangunan infrastruktur jalan berjalan masif hingga mengurai problem kemacetan yang selalu mendera Kota Surabaya.
Hasilnya pun gemilang. Periode kedua (2015-2020), popularitas Risma terus meroket. Dia meraup suara 83 persen lebih. Jika tak ada batasan aturan, Risma bisa saja terpilih untuk ketiga kalinya.
Khofifah lain lagi. Dia harus melakoni tiga kontestasi pemilihan gubernur (pilgub). Pada Pilgub 2008, berpangan dengan Brigjen TNI Mudjiono, kemudian pada Pilgub 2013 berpasangan dengan Herman Suryadi Sumawiredja.
Dalam dua Pilgub 2008, Khofifah bertarung sengit dengan Soekarwo. Hingga  terjadi "babak perpanjangan waktu". Karena sebelum hasil akhir diumumkan, masih terjadi pemungutan suara ulang di beberapa daerah di Jatim.
Bahkan dari serangkaian pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia, Jatim seru. Karena menjadi satu-satunya provinsi yang melangsungkan Pilkada hingga tiga kali coblosan.
Khofifah akhirnya memenangi kontestasi yang ketiga, tahun 2018. Ketika dia berpasangan dengan wakilnya, Emil Elestianto Dardak. Emil sebelumnya menjabat bupati Trenggalek. Mereka mengalahkan pasangan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Puti Guntur Soekarno.
Ketiga, Risma dan Khofifah bisa dibilang paket komplet. Ya birokrat, ya politisi. Keduanya layak disebut administrator pembangunan.
Uniknya lagi, keduanya sama-sama pernah menjabat Menteri Sosial RI. Sebelum masa jabatan wali kota berakhir, Risma dipilih Jokowi untuk menjadi Menteri Sosial, menggantikan Juliani Batubara yang tersandung kasus korupsi bansos.
Khofifah juga demikian. Dia pernah menjabat Menteri Sosial era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menjabat kurang lebih empat tahun. Tepatnya dari tanggal 27 Oktober 2014 hingga 17 Januari 2018.
Hingga kemudian Khofifah mengundurkan diri setelah dirinya memastikan ikut menjadi kontestan Pilgub Jatim 2018.
Keempat, Risma dan Khofifah merupakan sosok pemimpin perempuan yang populis dengan style yang berbeda.
Dalam berkomunikasi, Risma dikenal tanpa blak-blakan. Bicaranya tanpa tedeng aling-aling. Kesan keluguannya acap kali muncul hingga banyak dijadikan meme dan mewarnai jagat media sosial kita. Â
Bahkan tindakan Risma di lapangan juga kerap membuat publik terperangah. Risma orangnya spontan. Dia bisa seketika marah jika bila ada ketidakberesan dan ketimpangan.
Mungkin publik belum lupa, Risma pernah ngamuk di Mal Pelayanan Publik Siola lantaran pengurusan KTP yang berbelit-belit hingga membuat antrean panjang dan merugikan warga Kota Pahlawan.
Juga dengan perusahaan yang menggelar event bagi-bagi es krim gratis hingga berdampak berat terhadap rusaknya taman-taman di Surabaya.
Sementara Khofifah, terlihat mampu mentransformasikan diri dari pemimpin organisasi massa perempuan menjadi seorang teknokrat.
Dalam memberikan informasi, baik di pidato maupun keterangan pers, Khofifah cukup lancar menjelaskan angka-angka statistik yang sulit. Dia bisa menjelaskan lumayan detail apa yang terjadi di balik angka-angka itu.
Dalam setiap ceramahnya, Khofifah selalu menyelipkan data. Mulai data pendidikan, pertumbuhan ekonomi, kesehatan, infrasruktur, angka pertumbuhan penduduk, kemiskinan, dan lainnya.
Sekarang, bola ada di partai politik. Ini seiring dengan makin dekatnya hari "H" pendaftaran capres-cawapres peserta Pemilu 2024 yang sudah ditetapkan KPU pada 19 Oktober 2023. Â
Partai politik yang mengusung pasangan capres-cawapres harus berpikir keras dalam pesta demokrasi lima tahunan ini. Menghitung dan memainkan strategi yang jitu sebelum penetapan pasangan capres-cawapres adalah pilihan mutlak yang harus dilakukan.
Bagaimanapun juga, parpol harus selalu siap dengan sumber daya manusia yang akan diproyeksikan untuk menjadi pemimpin. Ini dibutuhkan untuk menjaga momentum pencapaian tujuan akhirnya.
Karenanya, Pilpres 2024 menjadi momentum penting untuk menjaga kelangsungan hidup partai politik. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H