Suatu siang, saya memarkir motor di sebuah pelataran pertokoan di Surabaya. Sedikitnya lebih 50 motor kendaraan roda dua parkir di situ. Motor-motor tersebut ditata rapi. Bukan hanya di pelataran toko, tapi juga meluber di badan jalan.
Tiap pengguna jasa parkir yang datang selalu disambut dengan juru parkir (jukir), yang dalam pengamatan saya ada tiga orang. Motor yang parkir diminta tidak dikunci setir.
Bisa ditebak kalau hal Itu sengaja dilakukan agar mereka bisa cepat memindah motor bila ada yang keluar-masuk.
Untuk bayar parkirnya, jukir meminta ketika kendaraan mau keluar. Di genggaman tangan ada karcisnya resmi dari dinas perhubungan dan beberapa lembar uang pecahan Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, Rp 10 ribu, dan Rp 2.000.
Nah, ketika akan keluar, jukir meminta saya membayar uang parkir. Saya lalu menyodorkan lembaran uang Rp 2.000. Saya sengaja tak beranjak dulu karena belum mendapat karcis parkir.
Setelah saya minta, jukir akhirnya menyobek karcis parkir itu kemudian diberikan kepada saya tanpa berucap sepatah kata pun.
Saya agak puas mendapat karcis parkir dengan nominal yang sama seperti yang tertera di karcis parkir.
Saya tak tahu, apakah banyak orang melakukan seperti saya: berani minta karcis parkir kepada jukir. Yang saya tahu, banyak yang tak kelewat memperkarakan. Alasannya sederhana, mereka tak ingin ribet apalagi ribut.
Hanya soal uang dua ribuan harus bersitegang dengan jukir. Harus eyel-eyelan. Maka, pilihannya hanya diam. Membiarkan tindakan jukir yang tak memberi karcis kepadanya.
Sementara praktik di lapangan, masalah parkir ini kerap tak terkontrol. Banyak jukir bersikap ugal-ugalan. Bukan hanya masalah karcis, tapi juga menarik uang jasa parkir melebihi ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku.