Kampung 1001 Malam. Begitu banyak orang menyebutnya. Kampung yang berada di bawah kolong Jembatan Tol Dupak. Tepatnya terletak di Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan. Berada di kawasan Surabaya Utara.
Entah siapa yang kali pertama menamai kampung tersebut. Kayak kisah Aladin, Alibaba, Simbad, sastra epik dari Timur Tengah yang lahir pada Abad Pertengahan.
Pemilihan nama itu barang kali bisa ditafsirkan lantaran lokasinya yang bernuansa gelap. Tidak dijangkau oleh sinar matahari. Karena diselimuti bangunan-bangunan beton. Pagi dan siang nyaris tak ada bedanya.
Di Kampung 1001 Malam ini hidup beberapa keluarga. Mereka membangun gubuk-gubuk yang disekat-sekat. Bangunannya semipermanen dari bahan tripek dan kayu bekas.
Gubung-gubuk itu difungsikan sebagai tempat tinggal mereka. Tak heran bila di masing-masing gubung ada tempat tidur, almari, peralatan memasak, dan lainnya. Bahkan beberapa keluarga yang memiliki televisi. Ada penerangan listriknya juga.
Para penghuni Kampung 1001 Malam rata-rata kaum pemulung barang rongsokan. Sebagian lagi menjadi pengamen dan pengemis. Saban hari, mereka harus menyeberang dengan perahu tambahan lantaran berada persis di pinggiran bibir sungai yang bermuara di Bozem Morokrembangan.
Ada jalan lain sebenarnya yang bia diakses, yakni melewati Jalan Lasem. Di sana ada pintu masuk yang berada di bawah jalan tol. Banyak orang menyebut Terowongan Mina. Lagi-lagi, entah siapa kali pertama menamainya, sampai sekarang tidak jelas.
Kenapa disebut Terowongan Mina? Karena orang yang melewati terowongan tersebut harus menundukkan kepala, kalau tidak kepala akan terbentur beton.
Terowongan Mina tersebut panjangnya 50 meter. Pintu gerbangnya lebarnya 2 meter lebih sedikit. Kalau pakai kendaraan bermotor harus dituntun.
Anak-anak yang tinggal di Kampung 1001 malam rata-rata tidak ada yang sekolah. Sejak kecil, para orang tua untuk mencari duit, bukan menuntut ilmu. Karena dengan uang bagi mereka bisa untuk bertahan hidup.Â
Yang paling bisa dilakukan anak-anak di Kampung 1001 Malam adalah mengemis dan mengamen. Biasanya mereka beroperasi di di traffic light, warung, toko, dan rumah yang bisa dijangkau dari rumahnya.
***
Tidak ada penanggalan pasti kapan mereka menghuni dan "meresmikan" Kampung 1001 Malam itu. Keterangan dari mulut ke mulut penghuni di sana, keberadaan mereka sudah ada sebelum Tol Dupak dibangun.
Jika merunut tahunnya, Tol Dupak yang menjadi bagian Jalan Tol Surabaya-Gempol, mulai dioperasikan pada 26 Juli 1986. Tercatat sebagai jalan bebas hambatan yang pertama kali dibangun di wilayah Jawa Timur.
Awalnya, para penghuni Kampung 1001 Malam tidak banyak. Hanya beberapa gelintir orang saja. Mereka sengaja menempati tanah yang miliknya itu agar bisa bertahan dan mencari penghasilan di Kota Pahlawan.
Di lahan itu, mereka menggunakan kayu dan tenda plastik seadanya untuk berteduh. Untuk tidur mereka menggunakan tukar lipat. Lamat tapi pasti, bukan hanya dipakai tidur, mereka juga memasak di sana.
Merasa aman-aman saja, satu demi satu keluarga dan koleganya diberitahu dan diajak melakukan hal serupa. Kemudian mereka mendirikan bangunan-bangunan yang di lahan tersebut. Lalu menjamurlah gubuk-gubuk itu.
Modus dan pola tersebut hampir sama dengan fenomena merebaknya bangunan liar (bangli) di Surabaya. Seperti bangli di di stren kali dan lahan tidur, baik yang dimiliki pemerintah, perusahaan, maupun perorangan.
Bahkan kejadian di stren kali dan lahan tidur jauh lebih parah. Di sana menjamur bangunan permanen. Tak sedikit rumah yang dibangun lantai. Bahkan di lokasinya juga dibangun tempat ibadah dan posko.
Ketika ada penertiban, mereka pun melakukan perlawanan. Mereka telah memiliki hak karena telah menempati lahan itu bertahun-tahun. Kalau dipaksa, mereka juga meminta ganti rugi yang nilainya relatif besar.
Suatu ketika, ada kejadian lucu saat saya menugasi wartawan meliput kasus pembongkaran bangli di kawasan Surabaya Utara. Dia dan rekan wartawan lain mewawancara salah seorang penghuni liar ngotot bahwa dia punya hak menempati lahan tersebut.
Wartawan tersebut lalu bertanya, "Apa buktinya Bapak yang memiliki lahan ini?"
"Apa Bapak punya sertifikat?"
"Ada," jawabnya. Namun dia tak bisa menunjukkan bukti legalitasnya itu.
"Kan orang itu (menunjuk seorang pengusaha) punya sertifikat, berarti lahan ini miliknya," timpal wartawan.
"Lha, tanah ini saya yang punya. Kalau dia ngaku punya sertifikat mungkin tanah yang di bawahnya," jawab penghuni liar itu.
Spontan, para wartawan terkekeh-kekeh. Mereka pun segera mengakhiri wawancara. Dan puluhan bangli itu pun akhirnya diratakan dengan tanah alias dibongkar dengan alat berat.
***
Pada 18 Oktober 2022, Pemerintah Kota Surabaya melakukan pembersihan Kampung 1001 Malam. Semua gubuk-gubuk dibongkar. Lahan di bawah kolong jembatan tol tersebut harus benar-benar kosong.
Agak mengagetkan, dari data Dinas Sosial Kota Surabaya, ada 146 kepala keluarga (KK) yang hidup di Kampung 1001 Malam. Jumlah itu cukup untuk mendirikan tiga rukun tetangga (RT) sesuai ketentuan yang berlaku.
Para penghuni Kampung 1001 Malam itu selanjutnya dipindahkan ke rumah susun sewa sederhana (Rusunawa) Sumur Welut. Lokasinya di kawasan Surabaya Barat. Pemindahannya dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awal ada 16 KK.
Mereka yang dipindah itu juga dijanjikan bakal diberi fasilitas pekerjaan, sekolah, pelayanan administrasi kependudukan (adminduk) dan sebagainya.
Khawatir muncul hunian liar lagi, Jasa Marga bakal menutup lokasi ini secara permanen. Setelah itu, kawasan tersebut digunakan untuk sepadan sungai dan dibangun rumah pompa.
Ada beberapa catatan yang bisa ditelaah dari kasus Kampung 1001 Malam yang mungkin juga terjadi di daerah lain di Indonesia.
Pertama, munculnya kasus Kampung 1001 Malam ini bukanlah fenomena baru. Penyebabnya, adanya keluarga yang tergusur oleh penduduk asli dan kontrakan yang tak terbiayai, sehingga kolong jembatan jadi pilihan terakhir untuk sekadar tempat berlindung.
Jangan salah, banyak kasus jika mereka yang tinggal di kolong jembatan ini tidaklah gratis. Ada yang membayar kepada koordinatornya. Tentu saja nilainya jauh lebih murah dibandingkan nilai sewa atau kontrakan.
Kedua, lemahnya pengawasan aparat. Kampung 1001 Malam sudah ada sejak lama. Sampai empat kali pergantian wali kota Surabaya, kampung itu belum ditertibkan.
Yang memprihatinkan, keberadaan Kampung 1001 Malam itu acap kali jadi isu negatif dan terkait ketidakberdayaan atau lemahnya pemimpin daerah. Tak salah bila di pilkada, kampung itu selalu jadi salah satu contoh buruk penanganan masyarakat atas ketidakadilan.
Ketiga, aparat daerah belum bisa melihat masalah secara holistik. Penyelesaian memindah mereka ke rusunawa hanya sesaat. Karena ingin segera membersihkan lahan itu dari bangunan liar. Tidak ada jaminan mereka akan menetap di sana selamanya.
Padahal yang paling urgen dibutuhkan mereka sekarang adalah lapangan pekerjaan yang bisa menghidupi keluarganya, menyekolahkan anak-anaknya, dan lain sebagainya.
Keempat, pemerintah wajib hadir untuk membantu orang-orang miskin. Itu sebagaimana maksud dijelaskan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
Dalam pasal ini, yang dimaksud dengan fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
Orang-orang di kolong jembatan itu adalah kaum papa yang butuh penanganan esktra. Mereka butuh tempat berlindung yang layak, butuh penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Jika hak mereka belum terpenuhi, berarti amanat undang-undang itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. (agus wahyudi) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H