Yang paling bisa dilakukan anak-anak di Kampung 1001 Malam adalah mengemis dan mengamen. Biasanya mereka beroperasi di di traffic light, warung, toko, dan rumah yang bisa dijangkau dari rumahnya.
***
Tidak ada penanggalan pasti kapan mereka menghuni dan "meresmikan" Kampung 1001 Malam itu. Keterangan dari mulut ke mulut penghuni di sana, keberadaan mereka sudah ada sebelum Tol Dupak dibangun.
Jika merunut tahunnya, Tol Dupak yang menjadi bagian Jalan Tol Surabaya-Gempol, mulai dioperasikan pada 26 Juli 1986. Tercatat sebagai jalan bebas hambatan yang pertama kali dibangun di wilayah Jawa Timur.
Awalnya, para penghuni Kampung 1001 Malam tidak banyak. Hanya beberapa gelintir orang saja. Mereka sengaja menempati tanah yang miliknya itu agar bisa bertahan dan mencari penghasilan di Kota Pahlawan.
Di lahan itu, mereka menggunakan kayu dan tenda plastik seadanya untuk berteduh. Untuk tidur mereka menggunakan tukar lipat. Lamat tapi pasti, bukan hanya dipakai tidur, mereka juga memasak di sana.
Merasa aman-aman saja, satu demi satu keluarga dan koleganya diberitahu dan diajak melakukan hal serupa. Kemudian mereka mendirikan bangunan-bangunan yang di lahan tersebut. Lalu menjamurlah gubuk-gubuk itu.
Modus dan pola tersebut hampir sama dengan fenomena merebaknya bangunan liar (bangli) di Surabaya. Seperti bangli di di stren kali dan lahan tidur, baik yang dimiliki pemerintah, perusahaan, maupun perorangan.
Bahkan kejadian di stren kali dan lahan tidur jauh lebih parah. Di sana menjamur bangunan permanen. Tak sedikit rumah yang dibangun lantai. Bahkan di lokasinya juga dibangun tempat ibadah dan posko.
Ketika ada penertiban, mereka pun melakukan perlawanan. Mereka telah memiliki hak karena telah menempati lahan itu bertahun-tahun. Kalau dipaksa, mereka juga meminta ganti rugi yang nilainya relatif besar.