Yayuk mengakui, awalnya tak berpikir untuk membuka usaha yang memproduksi ecoprint. Karena dia sama sekali tak punya skill untuk mengkreasikannya.
Ceritanya, tahun 2019, ada event Surabaya Smart City (SSC). Event tahunan yang diadakan Pemerintah Kota Surabaya. Sebagai istri ketua RW, Yayuk berpikir untuk menampilkan produk unggulan di lomba tersebut.
Lalu, tercetuslah ide untuk membuat ecoprint. Yang dianggap punya nilai jual. Tidak sulit mendapat bahan bakunya. Seperti kain, daun-daunan, serta pewarna alam.
Proses produksi ecoprint juga tidak diperlukan modal yang besar. Tidak membutuhkan teknologi yang sulit. Kalau produksinya bagus dan berkualitas, pasti bisa dijual.
Yayuk belajar dari nol. Dia lantas berangkat ke Jogjakarta. Ikut pelatihan ecoprint. Dia belajar berbagai teknik pembuatan ecoprint.
Hasil pelatihan di Jogja belum membuat dirinya puas. Yayuk kemudian mendatangkan trainer ecoprint dari Bandung. Dia belajar berbagai teknik-teknik terbaru, sekaligus cara-cara yang tepat untuk mengembangkannya.
Yayuk juga melakukan browsing di internet. Memanfaatkan berbagai pelatihan online. Salah satunya, pelatihan online di Instagram. Pengasuhnya pakar ecoprint dari Belanda. Namanya, Irid Dulman.
Saat mencoba memproduksi ecoprint, Yayuk tak lagsung bisa. Hasilnya kurang bagus. Jauh dari sempurna. Yang paling sering warnanya tidak keluar alias pudar.
Yayuk terus mencoba. Berkali-kali. Pelajaran berharga yang dia petik dari pelatihan adalah tidak ada produk ecoprint yang sia-sia. “Bila gagal produksi, kainnya masih bisa dipakai lagi," cetusnya.
Dari usaha itu, Yayuk bisa melibatkan ibu-ibu di kampungnya. Mereka bisa mendapat tambahan penghasilan. Mereka juga bisa ikut melakukan penataan lingkungan.