Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mercon Bumbung, Kopling, dan Keusilan Saat Ramadan

19 April 2021   19:12 Diperbarui: 21 April 2021   06:26 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: goodnewsfromindonesia.id

Nakal dan "brutal". Begitulah mungkin cap yang melekat dalam diri saya dan teman-teman saat masa kecil. Sekawanan yang selalu bikin heboh. Punya nyali tinggi. Berani menjajal hal baru. Modalnya, bondo nekat (bonek). Cocok dengan karekter Arek-Arek Suroboyo.

Masa itu, kami terbiasa mbonek. Seperti kalau ada pertandingan sepak bola Persebaya di Stadion Gelora 10 Nopember Tambaksari, Surabaya, kami acap nggandol truk. Meski yang kita nunuti mobil pikap, tapi kita tetap menyebut truk.  Kalau dihitung jarak rumah saya ke stadion legendaris tersebut, jaraknya kira-kira 10 kilometer.

Kami nekat nggandol truk itu karena uang untuk beli tiket ngepres (pas-pasan). Kalau pun ada sisa sedikit bisa beli lumpia yang biasa dijual sejumlah pedagang di dalam stadion. Kalau ada sisa duit untuk beli air mineral yang diminum ramai-ramai.  

Sedikit cerita tentang lumpia stadion, begitu sebutannya, rasanya sih biasa-biasa saja. Hanya, lantaran dalam keadaan lapar, rasanya gak nolak, hehe.. Belakangan, setelah kami dewasa dan nonton di stadion Tambaksari, membeli lumpia itu seperti kerinduan. Ada yang ngangeni bila tak beli lumpia saat nonton bola.   

Lha, kalau uangnya untuk beli tiket kurang, kami biasanya pergi ke belakang stadion. Di pintu masuk belakang yang bersebelahan dengan Lapangan Karanggayam dan Mess Persebaya, ada saja petugas penjaga pintu masuk yang mau "membantu". Tentunya dengan imbalan uang yang kita miliki. Hanya, dia bisa meloloskan setelah pertandingan baru dimulai. Ya, kira-kira 5-10 menit lah.

Bukan hanya nonton bola, kalau ada konser musik di Taman Remaja dan  Taman Hiburan Rakyat (THR)---kedua tempat itu kini sudah dibongkar-- kami juga acap kali nggandol truk. Bahkan pernah nonton konser musik di Tambaksari pulangnya jalan kaki. Karena waktu sudah larut dan tak ada truk yang lewat.

Sewaktu Bu Risma (Tri Rismaharini) menjabat wali kota Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya terjun menyisir anak-anak dan suporter sepak bola yang keleleran di jalanan. Bu Risma mengerahkan puluhan truk  Satpol PP dan Limas serta truk milik Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Baik saat berangkat maupun saat pulang.

Rute angkutnya dibuat banyak arah. Ada yang dari Tambaksari ke Bundaran Waru, Tambaksari-Perak, Tambaksari-Rungkut, Tambaksari-Benowo, dan lain sebagainya. Truk-truk milik Pemerintah Kota Surabaya itu bekerja hingga larut malam untuk menyisir para suporter yang masih berada di jalanan.

***

Ilustrasi foto:matakota.id
Ilustrasi foto:matakota.id

Begitu pun ketika Ramadan, kami punya gaya sendiri membangunkan warga untuk sahur. Bukan dengan kotekan, main gitar, angklung, drum, dan lainnya. Atau mengajak sahur melalui loudspeaker masjid. Agar warga bangun untuk sahur, Kami menyalakan mercon bumbung.

Yang banyak dipahami orang, mercon bumbung itu permainan berjenis petasan. Menggunakan bambu sebagai alat utamanya. Agar suara ledakan menggelegar, bambu dilubangi terlebih dahulu di ujung pangkalnya. Kemudian dituangi minyak tanah secukupnya sebagai bahan bakar.

Setelah dirasa cukup, lubang kecil yang ada di ujung pangkal bambu disulut api. Udara panas hasil dari minyak tanah yang memuai di dalam bambu kemudian menghasilkan letupan keras.

Yang kami buat agak sedikit berbeda. Kami membuat gundukan. Dibuat dari pasir yang disemen. Berdiameter sekitar 1 m x 500 cm. Di depan gundukan diberi lubang. Di atasnya diberi lubang kecil. Kami membuat penutup lubang dari sumpalan kain yang dililit tali. Panjangnya kira-kira 3 meter.

Sebelum meledakkan mercon bumbung itu, kami memasang karbit untuk bahan bakar. Saya tak ingat berapa komposisi karbit dan bahan-bahan lain. Yang jago meracik saat itu namanya Pikukuh Budi, salah seorang teman saya. Sekolahnya biasanya-biasa saja, tapi akale akeh (akalnya banyak).

Setelah bahan bakar dimasukkan, kemudian disumpal dengan kain yang dililit tali. Beberapa saat kemudian, lubang kecil di atas gundukan disulut api. Seperti menyalakan meriam, anak-anak meledakkan mercon bumbung itu, blarrr....

Biasanya kami menyalakan mencon bumbung tersebut pada dini hari.  Sekira 1,5 jam sebelum adzan Subuh. Kadang jelang berbuka puasa, kami juga menyalakan mercon bumbung.

Tidak semua orang suka dan permisif dengan aksi kami. Tak sedikit warga yang terganggu, lalu mengadu ke pengurus RT. Suatu ketika, saya tak bisa ngempet tawa saat diberitahu ada warga yang saking kagetnya mendengar ledakan mencon bumbung, kepalanya terbentur bentur atap kamar kecil. Bahkan mood buang hajatnya mandek di tengah jalan.

Lantaran dianggap bikin gerah dan menganggu warga, kami pun dilarang menyalakan lagi mencon bumbung tersebut. Larangan itu belum membuat kami berhenti. Mencon bumbung masih kami nyalakan dengan sembunyi-sembunyi.  Hanya intensitasnya lebih sedikit. Biasanya bisa 5-6 kali, kali ini hanya 1-2 kali. Setelah menyalakan mencon bumbung, kami lari berhamburan "menyelamatkan diri". Takut diomeli warga.

Tak perlu menunggu waktu lama, pengurus RT bertindak. Kali ini, bukan hanya melarang, mercon bumbung yang kami buat dibongkar habis. Kami hanya senyum-senyum kecut melihatnya.

***

Ilustrasi foto: foxnews
Ilustrasi foto: foxnews

Ramadan juga membuat kami lebih dekat dengan masjid. Banyak aktivitas yang kami lakukan di masjid. Membantu bersih-bersih, membersihkan keramik tempat wudlu, menjemur karpet, menata perpustakaan, dan lainnya.   

Usai Subuh, kalau tidak ada ceramah, saya melanjutkan membaca Alquran. Saat masih duduk kelas 6 SD (sekolah dasar), saya sudah menamatkan membaca Alquran. Di usia itu, saya juga diajari oleh para ustad untuk adzan.   

Sebelum adzan Maghrib, saya membantu menyiapkan takjil dan buka puasa. Biasanya, saya menerima kiriman makanan dan minuman dari warga. Kolak, teh manis, es sirup, es buah, dan lainnya. Juga menu gorengan, pisang goreng, ote-ote, tahu isi, plus nasi bungkus. Menu-menu tersebut juga disisihkan untuk tadarus.

Ketika Ramadan, saya juga sering tidur di masjid. Bukan di ruang utama, tapi bangunan di sampingnya yang biasa dipakai untuk mengaji. Aktivitas itu juga dilakukan banyak anak-anak seusia saya dan juga orang dewasa. Setelah Tarawih, lalu dilanjutkan tadarus, malam hari tidur di masjid beralas karpet.

Lha, ketika tidur di masjid itu, keinsengan dan kejahilan teman-teman saya muncul. Mengerjai teman-temannya yang sudah tidur. Modelnya kami sebut "kopling". Entah siapa dan dari mana nama itu muncul. Yang jelas, kalau sudah kena kopling pasti gibras-gibras.

Kopling ini dilakukan dengan membakar kayu kecil pada korek api. Hasilnya pembakarannya kemudian ditempelkan di sela-sela jari kaki. Setelah itu dibakar. Seperti sumbu bom, lamat tapi pasti, pembakaran merambat. Hingga akhirnya menyentuh kulit. Rasanya, duhh, menyengat, panasss...

Mereka yang kena kopling pasti bangun dan mengibas-ngibaskan kakinya. Jika demikian, anak-anak yang ngerjai pada pura-pura tidur biar tidak dituding yang meng-kopling. Padahal dalam kepura-puraan tidurnya mereka tertawa cekikikan.

Kenakalan itu kami ceritakan ketika sudah dewasa. Terutama saat sama-sama kembali ke kampung saat Lebaran. Kami pun membongkar rahasia, siapa yang kena kopling dan siapa melakukan. Termasuk aksi menyalakan mercon bumbung. Nostalgia itu benar-benar membuat hati kami bahagia. (agus wahyudi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun