Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Segar Pilihan

Tambah Keterampilan, Target Garap Riset Bisnis

15 April 2021   21:00 Diperbarui: 15 April 2021   21:07 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto: askattest.com

Saya bersyukur melakoni profesi sebagai jurnalis. Meski awalnya bukan cita-cita saya. Tapi begitulah hidup yang penuh misteri. Tak ada yang pernah tahu kenyataan yang akan terjadi. Pengendaraan yang gila dan tidak ada yang menjamin. Mengalir bak air bah yang menggulung bumi.

Tiba-tiba saya merasa di titik yang cukup jauh dan harus terus melanjutkannya. Ketika pada tahun 1993, belajar ilmu jurnalistik. Dari sebuah pelatihan yang diadakan di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya. Tepat di bulan Ramadan. Kebetulan, dua teman karib saya menjadi panitia pelatihan tersebut.

Kala itu, saya belum kuliah. Selepas lulus SMA tahun 1990, saya tak ikut tes masuk perguruan tinggi-- waktu itu  Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN)-- karena faktor ekonomi. Ibu tak punya uang untuk biaya kuliah. Ibu bilang, jika mau kuliah, saya harus bekerja. Cari duit sendiri. 

Saya kemudian bekerja serabutan. Yang hasilnya tak seberapa. Saya pernah membantu tukang dinamo, menjaga gudang di perusahaan rekanan di Ajinomoto Mojokerto, sales buku, mengecat trotoar, dan masih banyak lagi.

Lha, pas nganggur itu, saya diajak ikut pelatihan jurnalistik. Bukan sebagai peserta, tapi golongan romli alias rombongan liar, hehe.. Jadinya, saya duduk paling belakang. Materi-materi dari narasumber saya dapatkan setelah acara selesai. Jika ada yang tersisa, saya bawa pulang. Jika tidak ada, saya pinjam materi dari panitia untuk saya fotokopi.

Dari secuil ketrampilan itu, saya memberanikan diri menulis. Koran pertama yang memuat tulisan saya adalah Surabaya Post. Setelah beberapa artikel yang saya tulis ditolak. Honor pertama yang saya terima Rp 15 ribu. Masa itu, uang segitu cukup untuk mentraktir nasi bebek 7 orang.

Saya makin keranjingan menulis. Topiknya beragam. Politik, sosial, budaya, dan pendidikan. Bekal pengetahuan menulis saya dapatkan dari membaca koran. Juga berdiskusi dengan teman-teman yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Saban pagi, saya membaca 3-4 koran. Saya memanfaatkan kebaikan teman yang berlanggan koran dan membolehkan saya membacanya. Kadang juga saya membacanya di lobi hotel bila sedang mengikuti acara seminar, diskusi, dan lainnya .

Saya juga makin aktif membaca buku. Buku apa saja. Yang terbanyak saya pinjam dari seorang teman bernama Rosdiansyah. Dia peneliti Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP). Alumni Institute of Social Studies (ISS), Den Haag, Belanda. Dari dia, saya dikenalkan pemikiran Michel Foucault, Jurgen Habermas, Asghar Ali Engineer, Erich Fromm, dan masih banyak lagi.

Kala itu, saya tergiang cerita Fariz RM, penyanyi dan komposer hebat. Dia mengaku melahap banyak buku dari berbagai kategori untuk bisa menciptakan lagu-lagu yang hits. Lagu-lagu karya Fariz RM pun abadi, di antaranya. Sakura, Barcelona, Nada Kasih, Hasrat & Cinta, Kurnia dan Pesona, Diantara Kata, dan Interlokal.  

Dari proses belajar itu, saya bersyukur tulisan-tulisan saya bisa dimuat beberapa media, di antaranya di Jawa Pos, Surya, Radar Surabaya, Memorandum, Suara Indonesia, Suara Muhammadiyah, Suara Hidayatullah, dan Majalah Mimbar.

Dari ketrampilan menulis itu, saya bisa membiayai kuliah. Tahun 1994, saya masuk Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Surabaya.   

Dari ketrampilan menulis itu juga saya bisa diterima sebagai jurnalis di koran Suara Indonesia, tahun 1997. Koran itu kemudian berubah nama menjadi Radar Surabaya. Ketika itu, saya tidak memakai ijazah. Karena memang masih kuliah. Hanya menyerahkan CV dan foto kopi tulisan-tulisan saya yang dimuat di media massa. Saya melakoni 1,5 tahun berstatus karyawan kontrak, sebelum diangkat menjadi pegawai. Hingga saya resign tahun 2012.

***

Ilustrasi foto:contentwriters.com
Ilustrasi foto:contentwriters.com

Saya beruntung bisa menjalankan tantangan baru setelah 15 tahun bekerja di koran. Bergabung di MediatrustPR, perusahaan public relation yang berkantor di Jakarta. Owner-nya, Luthfi Subagio, sahabat karib yang pertama kali mengajak saya ikut pelatihan jurnalistik. Dia juga pernah bersama saya menjadi jurnalis di Radar Surabaya. Ketika resign, kami sama-sama menempati posisi pemimpin redaksi.  

Di MediatrusPR saya juga hanya diminta mengirimkan CV, nomer rekening bank, dan foto kopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Lutfi tidak pernah meminta ijazah saya. Dia hanya menjelaskan soal mekanisme penggajian, alur kerja, dan positioning. Soal tambahan SDM, saya dipersilakan memilih sendiri.   

Saya sama sekali tak punya background sebagai public relation. Saya belajar secara otodidak. Belajar sekaligus praktik. Beruntung, saya punya pengalaman bekerja di media. Karena hal itu membuat saya tidak kelewat lama untuk beradaptasi.   

Klien MediatrusPR lumayan banyak. Dari perusahaan BUMN sampai perusahaan sawit. Pekerjaannya menyiapkan event seminar, pelatihan, dan press conference, dan sejenisnya.  

Belum genap setahun di MediatrusPR, saya mendapat tantangan baru lagi. Kali ini, saya diminta membantu Pahlawan Ekonomi. Program pemberdayaan ekonomi perempuan yang diinisiasi Tri Rismaharini (kini menjabat Menteri Sosial RI). Saya mendapat tugas menjadi mentor digital marketing sekaligus menjadi public relation.  Saya mendapat kelonggaran waktu karena aktivitasnya dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu.

Saya merasakan betul betapa berat tugas sebagai PR. Yang harus menjaga kepercayaan, integritas, dan selalu tampil di depan saat terjadi masalah. Saya membantu mengerek brand Pahlawan Ekonomi dengan mengerakkan segala kemampuan dan ketrampilan. Dari menulis profile, berita reguler, memviralkan di media massa, dan sebagainya.

Semula, banyak orang tidak mengenal Pahlawan Ekonomi. Berikut siapa saja para pelaku usahanya. Saya berusaha membalik pandangan jika berita UMKM memang tidak kelewat seksi bagi media. Saya menuliskan kisah-kisah mereka. Perjuangan mereka dari keterpurukan hingga mampu bangkit hingga mendulang rupiah.

Lamat tapi pasti, media pun mulai melirik aktivitas Pahlawan Ekonomi. Dua tahun kemudian, perhatian media terhadap kiprah pelaku UMKM sangat tinggi. Media bahkan bersikap proaktif dengan menggali cerita-cerita tentang pelaku usaha.  

***

Ilustrasi foto:id.techinasia.com
Ilustrasi foto:id.techinasia.com

Ramadan tahun ini, saya mendapat berkah karena masih bisa bekerja di Enciety Business Consult (EBC). Perusahaan yang bergelut di bidang riset, konsultan, dan training. Di tempat tersebut, mayoritas personelnya lulusan Statistik ITS.

Saya menemukan rumah dan pengalaman baru. Saya berkolaborasi dengan para statistician melakukan riset. Saya mendapat pelajaran langsung dari Kresnayana Yahya (kini sudah almarhum). Pria yang mendapat julukan  Bapak Statistika Indonesia.

Terkait riset ini, saya punya pengalaman di Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).  Menjadi peneliti dalam Program Dukungan Penguatan Peran Media untuk Transparansi dan Advokasi Anggaran terlaksana atas kerjasama JPIP dan Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD).

Lima provinsi yang menjadi locus dari program ini, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Papua Barat.

Selama 11 hari yang berada di Papua. Melakukan rapid assessment, memetakan dan menilai kondisi di lapangan untuk mendapatkan gambaran akurat. Ada empat wilayah pendampingan, yakni, Provinsi Papua, Kabupaten Keerom, Kabupaten Supirori, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Merauke.

Salah satu hasilnya, masalah transparansi dan advokasi anggaran sangat dibutuhkan di Papua. Mereka tak bisa mengandalkan peran wakil rakyat. Selain kelewat tumpul jika menyoroti anggaran, mayoritas di antara mereka sulit sekali ditemui.

Di EBC, riset yang ditangani berbeda dengan JPIP. Ada Customer Satisfaction and Loyalty, Customer Lifetime Value Measurement, Mystery Shopping, Market Research, Dipstick Survey, dan lainnya.

Saya berharap bisa terus belajar riset bisnis di EBC. Saya juga terlibat beberapa pekerjaan. Saya belajar membaca data, menganalisis data, dan menuliskannya.

Tahun ini, saya berkeinginan bisa melakukan riset bisnis sendiri. Terkait perkembangan bisnis di Kota Pahlawan. Beberapa teman sudah siap membantu. Semoga bisa segera terwujud. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun