Ketiga, pendidikan tidak menyempit kepada sekolah atau lembaga pengajaran. Pendidikan tidak hanya belajar di kelas. Kini, untuk memperoleh ilmu dengan belajar tidak perlu lagi bertatap muka. Cukup dengan kecanggihan teknologi seperti gadget.Â
Kita berada di era informasi sekali sentuh. Semua informasi bisa diakses secara digital. Kita tak harus berubah untuk mengikuti, tapi beradaptasi dengan mempelajarinya. Jangan berpandangan yang sempit terhadap keberadaan digital. Seperti pemakaian gadget yang membantu murid mempelajari ilmu pengetahuan.
Yang harus diimbangi adalah dari sisi user atau manusianya. Karena teknologi hanya sebagai jalan dan manusia yang harus memegang kendali. Kecanggihan teknologi tidak harus membuat seseorang jadi dan bertambah malas. Malah sebaliknya, harus lebih berkreasi dan bersemangat.
Di era digital yang diajarkan di sekolah hanya sebatas passive learning. Sedangkan untuk active learning harus di desain bersama dengan orang tua, guru dan lingkungan tumbuh kembang dari anak tersebut.
Keempat, pendidikan jangan diartikan hanya bagi anak-anak yang berseragam sekolah. Ini karena setiap manusia hidup harus belajar. Manfaatkan teknologi sebagai pembelajaran. Mobile learning di kalangan pendidik atau guru pengajar sangat atraktif dan bisa dipakai untuk mengajarkan ke siswanya. Di YouTube misalnya, banyak pangajaran yang bagus dan bisa diajarkan secara sederhana kepada anak-anak.
Multimedia dapat merangkum pendidikan dan sumber segala ilmu. Ada proses pendalaman pembelajaran agar para anak-anak dapat mengetahui pelajaran. Jadikan anak-anak untuk belajar dan hal tersebut membutuhkan suatu proses, dan ukuran keberhasilannya adalah tindakan yang benar. Apa pun bentuknya, multimedia yang dipakai seorang guru di kelas, ilmu yang diajarkan harus dapat dipahami oleh murid-muridnya.
Yang harus diingat, penggunaan teknologi harus diimbangi kesadaran individu itu sendiri. Jangan sampai sosialisasi kepada tetangga atau masyarakat akan hilang akibat lebih asyik main gadget atau terlalu silau dengan kecanggihan teknologi.
Kelima, banyak masyarakat memiliki persepsi keliru terkait pendidikan. Salah satunya terkait masalah kompetisi dan kompetensi. Banyak anak patah hati dan rusak hati akibat dibanding-bandingkan dengan kawannya, kakaknya, adiknya, dan orang-orang sekitarnya. Padahal, dalam konsep pendidikan tidak mengajarkan kompetisi. Itu pola pikir masyarakat yang masih terbilang primitif.
Anak tidak bisa lagi diarahkan untuk berpikir untuk jadi dokter, insinyur, akuntan, pegawai negeri dan lain sebagainya. Jangan menuntut anak untuk bisa mencapai cita-cita orang tua. Mereka ini punya cita-cita sendiri. Sesuai dengan zaman yang sekarang mereka lalui.
Keenam, siswa yang cerdas atau pandai tidak lagi dapat diukur dengan nilai yang didapat, melainkan karya kreatif atau prestasi yang dapat mereka capai. Karena kita sudah banyak dihadapkan pada kenyataan, jika siswa yang memiliki nilai tinggi belum tentu dapat sukses di kemudian hari