Senang dan bahagia. Begitulah yang saya rasakan setelah Kompasiana membuat topik pilihan "Bantu UMKM Ciptakan Keluarga Tangguh". Topik yang sangat relevan dengan kondisi masa kini. Di saat pandemi covid-19 yang memorak-porandakan sendi-sendi kehidupan. Tak terkecuali di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).Â
Saya juga mengapreasi semua artikel, baik berupa opini, pengalaman, dan kisah yang telah memenuhi ruang perbincangan di ruang publik. Menjadikan UMKM sebagai isu publik yang seksi. Hingga memantik perhatian pemegang kekuasaan.
Saya terlibat di Pahlawan Ekonomi Surabaya, program pemberdayaan ekonomi keluarga, sejak 2012. Program itu diinisiasi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Tahun ini, genap sepuluh tahun program tersebut dijalankan, setelah dilaunching pada 2010. Anggotanya sudah 12 ribu orang lebih.
Program ini awalnya difokuskan untuk kaum perempuan. Yang diorientasikan untuk menghidupakan "mesin kedua" ekonomi keluarga. Namun belakangan berkembang dengan kehadiran peserta dari kaum Adam. Lantaran usaha istrinya terus berkembang, sang suami akhirnya ikut terjun membantu. Bahkan, tak sedikit suami yang resign dari pekerjaaannya, kemudian fokus berbisnis.
 Tak hanya itu, pada tahun 2016, Pahlawan Ekonomi telah "berdiaspora" dengan melahirkan Pejuang Muda. Program ini menyasar komunitas anak muda usia 20-39 tahun di setiap kampung yang tidak bekerja di sektor formal.
Ketika pandemi mendera, sekira Maret 2010, semua pelatihan yang kami gelar setiap Sabtu dan Minggu, berhenti total. Begitu pun event periodik yang telah terjadwal, seperti road show di 31 kecamatan di Surabaya, Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan, akhirnya ditiadakan.
Saya masih ingat benar, kala itu, banyak pelaku usaha yang sempoyongan. Mereka benar-benar meradang. Cemas dan gelisah. Betapa tidak, omzetnya tiba-tiba melorot drastis. Tak sedikit yang "njedok", istilah yang lazim dipakai untuk menyebut tidak ada produk yang laku.
Dua bulan masa pandemi, belum ada tanda-tanda bakal sirna. Krisis ekonomi masih berlangsung. Bahkan bertambah parah. Para pelaku usaha yang berharap besar ada bantuan dari pemerintah, ternyata tak jua terealisasi.
Yang agak menolong waktu itu, Pemerintah Kota Surabaya mendistribusikan makanan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selain sembako, juga pengadaan abon dan kering tempe. Kedua makanan tersebut dianggap cocok di masa krisis dan kaya protein.
Penyediaan abon dan kering tempe tersebut mengerahkan 38 pelaku usaha. Hingga sekarang sudah menghasilkan lebih lima ton abon dan kering tempe. Penerima makanan itu pekerja migran terdampak pandemi covid-19. Antara lain, pembantu rumah tangga (PRT) yang bekerja paro waktu untuk mencuci dan bersih-bersih rumah, tukang sampah lingkungan, tukang becak, tukang parkir dan penjaga masjid.