Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Buka Sekolah Lagi, Bikin Polling Wali Murid

18 Juli 2020   19:22 Diperbarui: 20 Juli 2020   14:14 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: ANTARA/MaulanaSurya 

Saya disodori selembar kertas. Saat mengambil rapor. Isinya tentang polling wali murid. Terkait rencana dimulainya belajar mengajar dengan tatap muka setelah vakum hampir empat bulan akibat pandemi Covid-19. Hanya tiga pertanyaan. Jawabannya cukup dicentang saja.

Sebelumnya, anak saya menyampaikan ada pengumuman akan segera masuk sekolah lagi. Dia girang banget lantaran segera mengakhiri kegiatan belajar mengajar secara daring di rumah. Dia juga senang karena bisa terlibat dalam kepanitiaan kegiatan Fortasi (Forum Ta'aruf dan Orientasi) sekolah. Segala persiapan sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Tinggal pelaksanaan saja.

Dalam ketentuan yang dijadikan opsi, pembukaan sekolah hars dilakukan dengan persyaratan protokol kesehatan yang ketat. Mengenakan masker, penyediaan sarana cuci tangan menggunakan air dan sabun atau hand sanitizer, pembersihan ruangan dan lingkungan sekolah secara rutin (minimal 1 kali sehari) dengan desinfektan, jaga jarak 1,5 meter, tidak melakukan kontak fisik, dan lain sebagainya.

Dalam polling tersebut, sekolah akan dibuka pada Juli 2020. Dari tiga pertanyaan, sikap saya tegas: tidak setuju. Saya juga sampaikan hal itu secara lisan kepada guru yang juga wali murid anak saya itu.

"Ini belum ditetapkan, kan? Saya jelas menolak."

"Belum, Pak. Kami mau meminta pendapat orang tua dulu."

Lembar polling saya serahkan setelah saya  tanda tangani. Saya sempat melihat lembar isian lembar polling wali murid lainnya. Isinya sebagian tidak sependapat jika sekolah dibuka kembali untuk sementara waktu.

Bagi saya, kelewat berisiko melakukan aktivitas bersama di masa pandemi ini. Menggelar kegiatan belajar secara tatap muka di sekolah. Terlebih Surabaya masih menyandang status zona merah atau risiko tinggi penyebaran Covid-19. Juga lima daerah lain di Jawa Timur, yakni Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, dan Kabupaten Bojonegoro.

Jumlah kasus Covid-19 di Surabaya, seperti laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur, masih tinggi. Meski belakangan jumlah pasien sembuh juga terus meningkat. Melebih pasien positif Covid-19 yang dirawat.

***

Saya cukup banyak memotret aktivitas di Surabaya, kurun waktu terakhir. Di masa pandemi Covid-19. Sebelumnya, saya sempat melihat kondisi Hotel Asrama Haji (HAH) Surabaya. Saat mengantar istri yang bertugas jaga malam di sana.

Di HAH dibagi tiga zona, yakni zona hijau, abu-abu, dan merah. Masing-masing zona dipisahkan oleh barikade.  Berikut disediakan pos penjagaan. Petugasnya dari Satpol PP dan Bakesbang Linmas. Di tempat tersebut dipakai untuk isolasi pasien Covid-19 tanpa gejala. Sebagian besar pasien yang dirawat di HAH sana kaum perempuan.     

HAH sanggup menampung pasien sekitar 350 orang. Ketika Surabaya melakukan rapid test dan swab test masal, beberapa waktu lalu, HAH overload. Puluhan pasien baru harus harus mengantre dirawat di HAH seraya menunggu pasien yang lain sembuh dan dipulangkan.

Fakta masih tingginya penyebaran Covid di Surabaya itu tak lepas dari mobilitas warga yang tinggi. Surabaya sebagai kota jasa dan perdagangan jadi jujugan banyak orang. Jumlah penduduk Surabaya yang terdata sekitar Rp 3,1 juta. Namun di siang hari, jumlahnya bertambah menjadi 4,5-5 juta orang.

Pakar Statistik Kresnayana Surabaya menyebut jika Surabaya telah bertransformasi menjadi mega urban dan bersinergis dengan kota-kota yang ada  sekitarnya. Hal ini dipicu makin terbukanya sarana transportasi dari dan menuju Surabaya.

Kata dia, sepuluh tahun lalu, APBD Kota Surabaya hanya Rp 1 triliun. Namun sekarang di atas Rp 10 triliun lebih. Belum lagi nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang kini nilainya Rp 500-600 triliun. Rata-rata pertumbuhan perekonomian Surabaya mulai 2011-2017 sebesar 6,73 persen dengan rata-rata perputaran uang Rp 3 triliun per hari.

Tak hanya itu, Chairperson Enciety Business Consult itu juga menyebut kalau Surabaya juga merupakan kota belajar bagi 400 ribu orang. Sekitar 40 persen mahasiswa yang belajar di kampus Surabaya bukan warga asli Surabaya. Dampaknya, begitu para mahasiswa ini lulus, kultur asli Surabaya ini dapat terbawa sampai ke segala penjuru Indonesia. Ini yang membuat Kota Surabaya bisa makin terkenal dan makin besar.

Jadi, bisa dibayangkan, ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB diberlakukan hingga 30 hari, warga seperti dalam kungkungan. Ruang geraknya mencari penghidupan menjadi terbatas. Sementara tidak ada kompensasi living cost jika mereka memutuskan tidak beraktivitas di luar rumah. Di sisi lain, kebutuhan hidup harus tercukupi. Dapur harus ngebul.   

Fakta inilah yang kemudian memicu ketidakikhlasan. Hingga kemudian melebar pada ketidakpatuhan masyarakat. Semakin dilarang seseorang justru semakian melawan. Dan PSBB pun implementasinya menjadi tidak efektif.

***

Bulan ini, sekolah-sekolah di Surabaya akan buka lagi? Sangat gegabah jika hal itu benar-benar direalisasikan. Masa new normal yang kemudian diganti dengan kebiasaan baru, istilah yang digunakan selama pandemi, belum memberikan jaminan apa pun jika pagebluk Covid-19 ini sudah mereda!

Sikap itu jelas bisa dilihat dari kecemasan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Hari-hari ini, dia kerap kali naik motor sampai jalan kaki masuk- keluar kampung, blusukan ke pasar-pasar, warung makanan untuk menginspeksi warga agar mematuhi protokol kesehatan.   

Wali Kota Risma juga menerbitkan perwali baru. Yang mewajibkan pekerja yang berasal dari luar daerah Surabaya menunjukkan hasil pemeriksaan rapid test dengan hasil non reaktif atau swab dengan hasil negatif yang dikeluarkan dokter rumah sakit atau puskesmas. Hasil tersebut berlaku selama 14 hari.

Di masa krisis sekarang, sepantasnya kita tetap mawas diri. Kita mahfum, hidup dalam serba pembatasan memang tidak mudah. Tidak mengenakkan. Namun, sikap nekat tanpa perhitungan dan melihat realitas adalah kecerobohan. Butuh kesadaran kolektif untuk tetap dalam semangat bersama segera mengakhiri pandemi ini. Karena ujian dan cobaan ini pasti akan ada ujungnya. (agus wahyudi)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun