Jejak Dahlan Iskan di dunia jurnalistik sangat panjang. Karir pria yang lahir di Desa Kebun Dalam Tegalarum, Kecamatan Bando, Magetan, Jatim, 17 Agustus 1951 itu, dimulai sebagai calon reporter Mimbar Masyarakat, surat kabar kecil di Samarinda, Kaltim, 1975.Â
Dahlan datang ke Samarinda pada 1969, menyusul kakaknya yang menjadi guru di sana. Iskan di belakang namanya diambil dari nama ayahnya, yakni Mohamad Iskan yang menikahi Siti Khalisnah. Dahlan merupakan anak ketiga. Dua kakaknya, Chomsyatun, Sofiwati (almarhum), dan adiknya, Zainuddin.
Dahlan sempat kuliah di Untag dan IAIN (sekarang STAIN) Samarinda. Tapi, di kedua universitas itu, Dahlan tak menyelesaikannya. Dahlan memilih menggeluti dunia jurnalistik.
Di awal kariernya, Dahlan banyak dibantu Yunani Prawiranegara (kini sudah almarhum), sahabat sekaligus gurunya. "Dalam jurnalistik, Yunani itu guru saya. Dia juga mendorong saya untuk menjadi wartawan," cetus Dahlan. Yunani dulunya adalah wartawan freelance di Samarinda. Dia kemudian pindah ke Surabaya, lalu bergabung dengan Surabaya Post, koran terbesar di Jatim, saat itu. Pada 2006, Yunani memutuskan keluar dari Surabaya Post.
Kali pertama menulis, Dahlan berpolemik seru dengan Yunani soal razia rambut gondrong yang saat itu gencar-gencarnya digalakkan pemerintah Orde Baru. Yunani mendukung razia itu dengan menulis di mingguan BS Jaya. Sedang Dahlan menulis di Mimbar Masyarakat. Sejak itu Dahlan mulai getol menulis dan ia mulai ogah-ogahan kuliah. Selain pemberani, Dahlan dikenal punya analisis tajam.
Pada 1976, Dahlan pernah mengalami kejadian yang tak mungkin dilupakan. Ketika  ada serombongan warga mengusung keranda berisi jenazah di Jl Diponegoro, menuju ke pemakaman Kuburan Muslimin, di Jl KH Abu Hasan, Samarinda. Zikir dari masa yang mengusung keranda terdengan tiada habisnya.
Dahlan yang saat itu berusia 26 tahun, datang mengayuh sepeda dari arah berlawanan. Dahlan baru liputan di Balai Kota. Dia amat tergesa-gesa agar bisa segera tiba kantornya Mimbar Masyarakat di Jalan Yos Sudarso, yang terletak di bibir Sungai Mahakam.
Saat itu Dahlan agak melamun. Dia memikirkan membuat lead berita yang bagus. Jadinya, tanpa sadar ia sudah sangat dekat rombongan warga yang mengusung keranda. Seorang warga sontak mengejar Dahlan, kemudian memepetnya ke pinggir jalan. "Minggir-minggir..," teriak dia dengan suara keras. Dahlan terkaget-kaget. Dia kehilangan keseimbangan di atas sepeda. Lantas, brukkk.. Dahlan terjerembab ke dalam parit bersama sepedanya.
Kesal, tentu saja. "Tapi saya tidak marah. Saya malah gembira jadi gembira dengan kejadian itu. Saya memeroleh ilham untuk menulis. Ketika itu, saya lagi sumpek dan sama sekali belum punya bahan menulis tajuk rencana."
Dahlan kala itu menjabat redaktur pelaksana Mimbar Masyarakat. Lewat inspirasi keranda mayat, dia menulis mengenai pentingnya pemerintah daerah memikirkan mobil jenazah. "Sudah saatnya pemda memiliki mobil jenazah agar masyarakat bisa memanfaatkannya dan tidak lagi mengusung keranda jenazah berjalan kaki di tengah keramaian lalu lintas," tulis Dahlan.
Dahlan kemudian menjadi koresponden Majalah Tempo di Kaltim, 1976. Dia  ditugaskan oleh Tempo ke Surabaya untuk menjadi kepala biro Jatim, 1978. ia minta sahabatnya, Aan R Gustam untuk menggantikannya sebagai koresponden Tempo di Kaltim.